Mohon tunggu...
Erland Hendyayoga
Erland Hendyayoga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang Mahasiswa Teknik Sipil

Hidup adalah Petualangan yang menakjubkan!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pemerintahan, Pancasila atau Berdasarkan Golongan?

1 Desember 2018   14:16 Diperbarui: 1 Desember 2018   14:19 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah negara Kesatuan. Negara yang memiliki banyak sekali keberagaman baik agama, ras, dan golongan. Perbedaan tersebut disatukan oleh semboyan "Bhinneka Tunggal Ika", berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Tetapi, keberagaman tersebut dikonotasikan sebagai aspek kehidupan yang positif atau negatif? Keberagaman sebagai satu untuk saling memperkaya dan menjalin solidaritas, atau keberagaman untuk saling menjatuhkan dengan mengatasnamakan SARA? 

Sebuah pemimpin pemerintahan dengan rakyat yang kaya akan perbedaan dan keberagaman; Apakah memiliki kemampuan dan integritas sebagai pemimpin yang menjunjung kesatuan di tengah perbedaan yang ada; atau justru memimpin karena dukungan dari golongan yang sama lalu melatarbelakang kan SARA dan menjadi dukungan kuat tetapi tidak memiliki kemampuan memimpin dengan baik? Bagaimana dengan cara pandang rakyat terhadap pemikiran pemimpin yang melatarbelakang kan SARA sebagai dukungan kuat dan bukan dari kemampuannya dalam memimpin suatu keberagaman?; atau justru terkadang pemerintah sudah menjunjung kesatuan, namun rakyat bersuara bahwa ada ketidakadilan yang disampaikan dengan mengatasnamakan SARA?

Pada artikel mengenai "Pemerintahan, Pancasila / Berdasar Golongan?" kali ini, penulis akan menggaris bawahi beberapa kasus di negara ini, mengenai agama dan golongan, di dalam pemerintahan, terutama dalam masa-masa krusial seperti masa kampanye pemilu, atau ketika pemimpin pemerintahan terjerat suatu kasus dan justru tidak diadili dengan adil, tetapi segalanya mengatasnamakan SARA.

Sebagai dasar negara, di dalam Pembukaan UUD terdapat Pancasila yang isinya: 

Pancasila sebagai sumber dari hukum dan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, telah terlaksana di dalam peraturan perundang-undangan. Segala peraturan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diatur di dalamnya, dan UUD bersumber dari Pancasila, begitu pula pemerintahan di Indonesia. 

steemit.com
steemit.com
Di dalam masa jabatannya, pemerintah yang bersangkutan, berdasar UUD 1945, haruslah menjalankan tugas memimpin dengan adil, jujur dan berbakti pada negara dan rakyatnya, sehingga masyarakat yang dipimpinnya pun juga merasa aman, tentram, dan damai karena kepemimpinan pemerintah yang menjabat dapat memimpin dengan baik. 

Begitulah seorang pemimpin yang memiliki integritas serta kemampuan memimpin dengan baik. Ketika suatu hasil dari pekerjaan telah terbukti baik dan masyarakat puas, maka kesimpulan dari kepemimpinan yang menjabat adalah baik. Etos kerja seorang pemimpin pemerintahan dilihat dari latarbelakang dia memimpin dan selama pemimpin tersebut menjabat dalam pemerintahan, baik dari skala kecil dari, Walikota/Bupati, Gubernur, maupun Presiden.

Bagaimana jika pemimpin rakyat melakukan kesalahan dalam bekerja dan tersangkut suatu kasus dan dituduh mengatasnamakan SARA? Seperti kasus yang belum lama terjadi, mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang dituduh menodai agama. (sumber)


kasus-ahok-1-5c023304c112fe605f27e427.png
kasus-ahok-1-5c023304c112fe605f27e427.png
steemit.com
steemit.com
Suatu kasus yang membabibutakan seorang tokoh pemimpin masyarakat, dimana pada masa kepemimpinannya sebuah etos kerja sorang gubernur telah menjalankan tugasnya dengan baik. Meskipun masih dalam masa jabatannya dan ia masih ingin dapat memimpin Jakarta saat jabatannya dinonaktifkan dan mengajukan banding, rakyat justru semakin memanas karena ingin menjatuhkan seorang tokoh yang dalam 1 kesalahan, segala kerjanya dianggap buruk. Seperti kata pepatah, "Karena nila setitik, rusak susu sebelanga". Begitulah pemikiran masyarakat pada masa itu. Tanpa berfikir logis mengenai etos kerja seorang pemimpin yang tegas dan telah berkarya dengan baik, terkena satu kasus langsung dibabibutakan dan semakin dipersulit peran hakim dalam memutus perkara karena tekanan rakyat yang sungguh benar-benar benci karena dituduh menodai agama (SARA dilebih-lebihkan).

Hakim dalam pengadilan telah memutuskan dengan adil sesuai tingkatan kasus menurut Hukum Penistaan Agama di Indonesia (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_penistaan_agama) 

steemit.com
steemit.com
Tetapi dalam masa-masa pengadilan, dimana Ahok masih ingin terlibat dalam memimpin rakyatnya, masyarakat justru menolak dan semakin memberatkan kasus Ahok, dan ingin supaya hukuman yang diberikan lebih berat dari yang diputuskan karena rakyat merasa dikecewakan karena kepercayaan yang dianut merasa dinodai. Apakah pemikiran seperti ini mencerminkan Pancasila terutama sila Keadilan? Suatu pandangan rakyat perlulah diluruskan dengan tetap saling menghargai dan menghormati agama/golongan lain. Biarkan hukum dan Lembaga Keadilan melaksanakan tugas mereka dengan adil tanpa ada tekanan dari rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun