TIGA PUISI DALAM KOTAK KADO IBU
Oleh: H******l K*****h (Erka Ray)
"TENTANG KAMU"
Siang ini aku disidang paksa soal perasaan yang tidak tahu malu
Membenci layaknya api yang pada akhirnya menyatakan cinta lewat abu
Tapi beberapa kali aku mendamba
Kayaknya awan yang menjadi jelata di hadapan langit
Matamu,Â
Aku tahu di sana ada perasaan yang tidak berkesudahan
Ingin mengalahkan air saat mengalir
Juga mengalahkan pipiku yang seringkali basah dengan penuntutan
Di telinga,
Saat aku bergibah mengenai kertas kosong yang jarang kutulis namamu
Hingga doa jahatku yang tak ditemukan namamu juga
Hingga untuk akhir kisah,
Aku adalah awan yang tetap berusaha putih saat menangis
Saat pagi hari,
Bahkan matahari kalah pagi dari wajahmuÂ
Menabur senyum pada hidangan ringanÂ
Mengalahkan manis pada kopiÂ
Yang ampasnya sering mengoceh benci pada kisah ini
Ibu,
Inti dari awan yang rendahan saat beradu dengan matamu
Aku juga rendah dan tak layak di matamu
Kado awan hari ini hanya hujan
Meski setetes pun tak bisa lebih suci dari lidahmu
Sumenep, 20 Desember 2022
"KISAH KECIL DARI MULUTMU"
Malam sepertigamu basah kemarin
Saat aku yang hendak menabur beberapa bunga
Sebagai wewangian kisah
Langit roboh keangkuhannya di pangkuanmu
Meski untuk paginya,
Fajar pun kalah cepat dengan matamu untuk bangun
Meski tubuh beberapa kali dipeluk angin
Mulutmu tak pernah kasar merutukinya
Aku tahu,
Kata-kata ini hanya rongsokan saat kuucapkan
Meski putih melati tidak bisa ditukar merahnya mawar
Ataupun birunya langit
Yang beberapa kali disakiti hujan
Aku rindu dekapanmu, Bu
Saat malam-malam yang dikungkung cerita Kancil dan Buaya
Hingga mataku dulu menyerah
Dan berjumpa dengan mimpi di satu jam kemudian
Aku berpuisi untuk kerinduan
Layaknya minuman anggur,
Ini semua candu yang baru bagiku
Bu, bisa kurehatkan sejenak dirimu di pundakku
Biarkan aku yang memulai cerita kali ini
Meski kancil dan Buaya yang ceritanya hanya itu-itu saja
Sumenep, 20 Desember 2022
"BU, AKU TIDAK SEKUAT DIRIMU"
Bu, jika kakimu lesu karenaku
Apa bisa diganti dengan kakiku
Jika pipimu basah
Bisa kutukar mata ini sebagai penggantinya
Jangan berlinang lama karena namaku yang lusuh
Aku tidak punya tissue untuk menghapusnya
Bu, Punggungmu mulai bungkuk karena permintaanku
Apa punggungku bisa menyamaimu
Tulang-tulang yang resah belakangan ini
Linu-linu yang membuat lidahmu berkelit
Ada aku yang mulai resah ingin bertanggungjawab
Bu,
Aku tidak punya tangan yang lebar
Tidak punya pundak yang kokoh untuk tidak lagi memaki diriku
Sebab, berulangkali aku gagal menjadikan tubuh ini rumah
Aku pun tak cukup mampu memotretmu dengan mataku
Jika lagi-lagi matamu tidak bisa kuganti untuk menangis
Sumenep, 20 Desember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H