Tujuh puluh tujuh
Angka yang indah
Saat mula-mula mawar layu dari tangkai
Air surut dari genangan
Yang cekung jadi rata
Tujuh puluh tujuh
Tangan-tangan bengis ingin tangguh
Setelah begitu lamanya diam tak bergerak
Nyaman di tempat peraduan yang menyanyikan lagu tidur
Dulu, raga-raga hanya bercengkrama dengan darah
Mendambakan bebas
Mencintai tanah lapang yang direnggut mahkotanya
Tangis jadi sesajen di malam hari
Tangan kanan rela rakat demi menggenggam belati
Saat mata tidak hanya berfungsi untuk tangis
Dia rela jadi pemburu yang bertuan asing
Juga lutut rela bercumbu dengan harapan yang makin dalam dipijak
Tujuh puluh tujuh tahun
Kata 'ingin' telah merangkak
Meski beberapa tahun terakhir ada yang diam-diam mencintai
Hingga tawanya tukar dengan tangis
Selang-selang melilit tubuh
Tabung oksigen bahkan bilang, aku bersamamu
Tujuh puluh tujuh
Setelah kita renggang satu meter
Sekarang kita berdempetan
Dengan merah yang jadi darah
Putih yang jadi selimut
Tujuh puluh tujuh tahun,
Dirgahayu haus untuk diucapkan mulut berulang kali
Rindu didengar telinga yang sudah tidak berfungsi
Kata 'Merdeka' juga tidak kalah cemburu untuk diucap dengan fasih lagi
Sumenep, 17 Agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H