"Seikhlasnya saja, Nak," jawabnya.Â
"Lah tidak bisa begitu, Pak. Saya kan jadi bingung harus bayar berapa ke bapak."Â
Setelah sedikit percekcokan antara kami soal bayaran tambal ban, bapaknya tetap kekeh minta seikhlasnya. Katanya, jika kita ikhlas atas apapun yang kita kerjakan, tentu akan mendapatkan balasan yang tidak ternilai. Jika balasannya tidak datang sekarang dan bukan berbentuk uang, bisa jadi di lain waktu dan dalam bentuk yang tak terduga.Â
Akhirnya aku memutuskan memberinya tiga puluh ribu. Entah terlalu sedikit atau kebanyakan. Bapaknya tersenyum ramah saat aku berpamitan pergi.Â
Tunggu, aku terlalu panjang bercerita rupanya soal masalah ban kempes tempo lalu. Nasib memang hari ini kempes lagi. Kubawa lagi ke tempat bapak itu.
"Kempes lagi, Pak." Bapaknya tersenyum saat aku datang. Langsung cetakan mengambil peralatan.Â
"Tumben berangkat siang, Nak," tanya bapaknya.Â
"Iya, Pak. Sedang tidak ada pekerjaan di pagi hari. Lagi pula kemarin saya lembur pak. Jadi paginya dapat kompensasi dari bos, boleh berangkat siang," ucapku nyengir.Â
Cuma 15 menit bapaknya sudah selesai. Secepat itu memang.Â
Malam harinya, benar-benar dingin. Siur angin yang pelan, menyelusup disela-sela kemeja kerja. Siluet malam memang tidak pernah gagal menjamu mata. Ditambah dengan bintang yang seakan-akan digantung di atas sana, semakin menambah keindahannya. Ini bukan lebay atau apa, coba tanya saja sama penyuka malam, pasti mereka setuju jika malam ini dikatakan indah. Apalagi kota ini, jika dipotret, maka akan menjadi bingkai yang indah.Â
Sudut Mataku malah menangkap sosok bapak tua itu, di jalan yang selalu membuat banku kempes. Bapaknya membawa sapu seperti sedang memberikan sesuatu. Aku memelankan laju motor. Tidak mungkin kan ada yang yang suka rela menyapu jalanan di jam segini. Ini sudah jam sembilan malam. Aku mengamati bapak itu. Selang lima menit bapak itu selesai menyapu jalanan. Wah baik juga bapak itu nyapu jalanan tempat ban motorku sering kempes.Â