Emakku yang menjadi single parent telah berhasil mengantarkan delapan putra -putrinya menjadi orang sukses dengan rasa persaudaraan yang kuat, sebab kami ditempa pada kondisi yang sama. Emak tidak pernah memikirkan tentang kebahagiannya selain kebahagiaan putra-putrinya. Namun saya tahu, keinginannya untuk bisa menunaikan ibadah haji begitu besar meski tak pernah dia katakana pada kami anak-anaknya. Terbersit keinginanku untuk bisa menabung dan mendaftarkan emak berhaji meskipun aku dan suami masih sama-sama sebagai tenaga honorer waktu itu.
Berkat doa emak, tahun 1997 suamiku diangkat sebagai pegawai tetap BUMD, dan tahun 2008 aku menjadi CPNS guru. Karena terbiasa hidup sederhana maka kami tidak merubah pola hidup. Atas persetujuan suami, tahun 2009 aku mendaftarkan emak berhaji dengan dana talangan. Emak harus menunggu selama 7 tahun lebih untuk bisa berangkat.Â
Tahun 2014 aku dan suami juga mendaftar haji dengan estimasi 2030. Tahun 2017 emak mendapat panggilan haji di usia 72 tahun. Sementara kondisinya sudah mulai menua dan harus dibantu kursi roda tidak memungkinkan untuk berangkat haji sendiri. Subhanalloh, satu lagi pelajaran yang emak berikan kepadaku memberikan bukti. Aku yang estimasi haji berangkat tahun 2030, berkesempatan mendampingi emak berhaji di tahun 2017. Hanya perlu tiga tahun daftar tungguku berkat emak. Alloh memberiku kesempatan lebih cepat dibandingkan yang lain.
Kini emak telah damai di sisih Alloh SWT, empat bulan setelah menunaikan ibadah haji bersamaku. Namun semua ajaran yang emak berikan, akan tetap hidup pada kami anak-anak emak. Dan akan kami wariskan kepada cucu-cucu, serta buyut-buyut emak. Terimakasih atas semuanya ya, Mak.
Malang, 6 Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H