Sebagai seorang anak petani di desa, yang terlahir pada zaman negara ini baru merdeka, emak tak punya kesempatan menyelesaikan pendidikan umum meski hanya setingkat Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar.Â
Emak hanya memiliki kesempatan menuntut ilmu di sebuah Madrasah Ibtidaiyah dan tempat mengaji dekat rumah mbah Kung. Jadilah emakku buta huruf latin namun melek huruf hijaiyah.
Emak pernah bilang bahwa mbah Kung tak suka anaknya sekolah umum karena itu warisan penjajahan Belanda. Yang terpenting anak-anak mbah Kung wajib mematangkan mendidikan agama, sebab menyiapkan bekal untuk kehidupan di akhirat itu lebih penting. Pandangan ini yang ditekankan oleh mbah Kung kepada anak-anaknya, termasuk emakku.
Tidak demikian dengan emak. Meski beliau buta huruf latin, namun pandangan, pemikiran, dan cita-citanya tidak kalah dengan orang-orang yang bersekolah tinggi.Â
Kepandaiannya membaca kitab-kitab yang ditulis dengan huruf arab atau biasa disebut pegon, mampu memberinya kesempatan membuka cakrawala berpikir melalui pengetahuan agama yang dibacanya. Emakku sadar akan pentingnya pendidikan bagi putra putrinya.Â
Meskipun begitu, beliau juga tak mau menghilangkan pengajaran dari mbah Kung. Kami semua wajib memulai pendidikan dasar di madrasah lebih dulu.Â
Padahal di tempat kami, MI/SDI terdekat termasuk sekolah yang biayanya bisa dikatakan mahal dibandingkan dengan sekolah negeri. Tapi kegigihan emak tidak mau bergeser sedikitpun.Â
Keyakinannya pada sesuatu yang dianggapnya benar, begitu besar dan kuat. Jadilah kami sebagai pelanggan tetap rumah pak RT dan RW setiap tahun, untuk meminta surat keterangan tidak mampu agar mendapatkan keringanan bayar ataupun bebas SPP.Â
Sejak menikah, bapak mengajak emak untuk merantau. Keluar dari desa kelahiran dan  mencoba peruntungan di tempat lain. Awalnya bapak dan emak ditampung sementara oleh seorang kerabat yang tinggal di daerah Singosari, Kabupaten Malang Jawa Timur. Untuk selanjutnya tentu saja bapak dan emak harus mandiri. Jadilah kami keluarga (:kontraktor), ngontrak sana ngontrak sini.Â
Saya ingat waktu kecil sering diajak berpindah-pindah rumah dan bertemu dengan teman baru. Saya dan kakak tak selalu bisa bermain seperti mereka. Sepulang sekolah saya harus menjaga adik-adik, sementara kakak membantu emak bekerja membuat aneka gorengan dan cemilan yang akan dititipkan di warung-warung.Â
Bapak yang hanya pedagang es keliling, penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Ditambah lagi hampir tiap dua tahun sekali emak melahirkan anak. Yah, waktu itu, hukum mengikuti program KB kan masih menjadi perdebatan antara pemerintah dan ulama. Jadilah kami keluarga besar yang hidup kekurangan.