Mohon tunggu...
erisman yahya
erisman yahya Mohon Tunggu... Administrasi - Menulislah, maka kamu ada...

Masyarakat biasa...proletar

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Memaknai Kekayaan Rp 14 Ribu

22 Juli 2018   15:56 Diperbarui: 24 November 2018   20:50 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: lapakfjbku.com

Suatu sore di pusat Ibukota Jakarta, perut terasa lapar. Refleks, saya mencari-cari warung nasi terdekat. 

Ternyata tidak jauh dari tempat saya berdiri, ada warung nasi yang populer dengan nama Warteg (Warung Tegal). 

Tanpa pikir panjang, saya pun masuk ke Warteg yang persis berada di seberang jalan sebuah hotel berbintang itu.

Tapi offf...jangan berfikir Warteg bisa menyamai atau paling tidak mirip hotel berbintang. Tentu saja kondisi bangunannya sangat-sangat sederhana. 

Mirip "Gubuk Derita" dalam video klip lagu H Mansur S. Saya langsung pesan nasi dengan sayur, plus oreg dan telur goreng bulat. 

Usai makan, saya bersiap membayar. "Berapa Bu," tanya saya ke Ibu Warteg. "Sepuluh Ribu, Mas," jawabnya lirih.

Ya, di Kota Metropolitan sekelas Jakarta, uang sepuluh ribu yang mungkin saja di mata Anda sudah tidak berguna, masih bisa untuk membeli sepiring nasi plus lauk dan sayur sederhana. 

Selesai makan saya pun termenung sejenak. Dalam hati saya bertanya, apa mungkin kondisi seperti ini antara lain yang menjadi parameter atau ukuran bagi Badan Pusat Statistik (BPS) untuk menetapkan bahwa setiap orang yang sudah berpenghasilan lebih dari Rp14 ribu sehari sudah dianggap bukan orang miskin lagi?

Kalau BPS menetapkan orang miskin di Indonesia berpenghasilan di bawah Rp14 ribu, berarti mungkin orang yang berpenghasilan Rp14 ribu (sudah dianggap tidak miskin) bisa menyisihkan sisa uang yang Rp4 ribu lagi untuk sarapan pagi. 

Mungkin bisa sarapan pagi dengan nasi uduk plus tempe atau beli mie instan dan rebus sendiri. 

Lalu, bagaimana untuk makan malam? Mungkin cukup minum air putih saja agar badan sehat, gula darah normal dan kolesterol tidak naik, hehehe...

Saya memang tak habis pikir. Mungkin juga karena kebodohan saya yang orang ndeso. Kok bisa ya, negara dalam hal ini BPS, menetapkan standar kemiskinan itu bagi orang yang berpenghasilan di bawah Rp14 ribu sehari. 

Kalau sudah di atas Rp14 ribu sudah dianggap tidak miskin lagi (tentu kaya dong) dan tidak perlu negara membantunya lagi. Rp.14 ribu..? Oh... no..!

Kalau Rp14 ribu hanya cukup untuk sarapan pagi dan makan siang alakadarnya, lalu untuk biaya transportasi, kesehatan, sekolah anak, ngasih anak makan, ngasih bini makan, beli baju, beli sepatu, beli rumah, beli ini, beli itu..? Ah...sudahlah...makin pening saya.

Pikiran saya pun melayang ke negera-negara yang sudah maju. Kabarnya, di negara-negara itu, sebut saja seperti Australia, orang-orang terlantar dan tidak punya pekerjaan justru ditanggung biaya hidupnya oleh negara. 

Seorang teman yang lama hidup di Negeri Kanguru itu cerita, satu orang ditanggung biaya hidupnya oleh negara kalau dirupiahkan lebih-kurang Rp50 juta per bulan. 

Oh no...Penghasilan orang terlantar itu jauh di atas penghasilan pejabat terhormat di negeri kita.

Tapi sudahlah, dalam Pasal 34 ayat 1 UUD 1945, Negara kita tetap menjamin kehidupan fakir miskin dan orang-orang terlantar. 

Walau mungkin realisasi dari pasal tersebut belum sepenuhnya dapat terlaksana. Hayya...ontalah...            

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun