Mohon tunggu...
erisman yahya
erisman yahya Mohon Tunggu... Administrasi - Menulislah, maka kamu ada...

Masyarakat biasa...proletar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibuku Yang Tak Pernah Menuntut Balas

22 Desember 2015   19:07 Diperbarui: 22 Desember 2015   19:07 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ayah dan ibuku semasa muda"][/caption]

Aku lahir dari keluarga sederhana. Sangat jauh dari kemewahan. Di suatu desa terisolir, yang hampir tak pernah tersentuh pembangunan. Nama desaku, Desa Padang Kunik, Pangean, Provinsi Riau, salah satu desa yang dulu berkali-kali masuk daftar Inpres Desa Tertinggal (IDT).

Kendati kami orang rendahan, orang pinggiran, tapi alhamdulillah, kedua orang tuaku sangat concern (perhatian) dengan masalah pendidikan. Kedua orang tuaku rela tidak punya apa-apa, asal anak-anaknya bisa sekolah.

Setamat SD (kami dulu belum mengenal TK apalagi Play Group), aku harus melanjutkan sekolah ke jenjang SLTP yang letaknya lumayan jauh dari desa kami. Tepatnya di dekat Pasar Baru Pangean. Ya, berjarak belasan kilometer. Untuk mencapai sekolah itu, satu-satunya cara adalah dengan bersepeda.

Masih segar dalam ingatan, bagaimana saya dan beberapa kawan-kawan setiap hari harus bangun sejak jam empat pagi kalau tidak ingin terlambat sampai di sekolah. Dan, tahun-tahun itu, saya merasakan betul bagaimana besarnya peran Ibu demi kesuksesanku dalam bersekolah.

Setiap hari, sebelum jam empat pagi, ibuku sudah bangun menyiapkan sarapan untukku. Tentu saat itu, kami belum mengenal yang namanya kompor untuk memasak. Layaknya orang kampung, ibuku memasak dengan kayu pakai tungku tanah. Usai menyiapkan sarapan, sekitar pukul empat, ibu membangunkanku dan mengajakku mandi ke Sungai Kuantan.

Ketika itu, kami juga belum mengenal sumur sebagai tempat mandi atau sumber air bersih, apalagi punya kamar mandi khusus. Semua kebutuhan air diambil dari Sungai Kuantan. Kami minum dari Sungai Kuantan, mandi di Sungai Kuantan dan (maaf) BAB juga di Sungai Kuantan. Tapi alhamdulillah, kami dan seluruh masyarakat tidak pernah terserang penyakit macam-macam, misalnya muntaber atau lainnya secara massif. (Sekarang di era modern, Sungai Kuantan tinggal kenangan. Karena ulah tangan manusia baik karena meracun ikan atau melakukan praktek tambang emas, air Sungai Kuantan kini sudah sangat tercemar..!)

Jarak antara rumahku dengan Sungai Kuantan mungkin kurang setengah kilometer. Karena anak bungsu dari lima bersaudara, walau sudah duduk di bangku SLTP, aku masih tidur dengan ibu. Jadinya, setiap jam empat pagi, di saat dunia masih gelap-gulita, ibuku sudah mengiringiku ke Sungai Kuantan sembari menenteng atau membawa pelita (lampu sumbu pakai minyak tanah).

Ketika itu, kami juga belum mengenal yang namanya listrik. Untuk penerangan di malam hari, orang kampung kami hanya menggunakan pelita. Persoalan menjadi repot, manakala di musim hujan. Karena angin yang bertiup kencang, pelita seringkali mati. Ibuku biasanya dengan sigap menyalakan kembali pakai korek api.

Suatu hari, kejadian ini saya tidak akan pernah lupa. Air Sungai Kuantan sedang meluap. Hampir naik ke daratan atau rumah penduduk. Kalau air lagi besar begini, segala macam benda biasanya turut hanyut di Sungai Kuantan, terutama kayu-kayu. Tentu saja jadi menyeramkan. Apalagi di pagi buta yang masih gelap-gulita.

Sungai Kuantan bukanlah seperti Kali Ciliwung yang ukurannya relatif kecil. Sungai Kuantan mungkin delapan kali Sungai Ciliwung luas atau lebarnya. Ketika itu, saya dan ibu sudah berada di tangga/jenjang tempat mandi (untuk mandi ke sungai, dibuat tangga/jenjang yang biasanya terbuat dari bambu). Biasanya ibu menunggui saya di jenjang paling atas sambil memegang pelita di tangan untuk penerangan. Tapi kali ini, karena air lagi besar, meluap, saya ketakutan, dan meminta ibu untuk ikut turun ke bawah. Mungkin karena tangganya sudah lapuk, begitu ibu ingin bergeser ke bawah, tangga yang dipijak ibu ternyata patah dua. Jadilah ibu ku tercinta jatuh ke sungai, pelita yang di tangannya pun terlempar entah kemana...Hari itu menjadi hari kelabu yang tak mungkin saya lupakan. Tapi ibu, tidak pernah kapok atau berhenti menemaniku, sampai aku benar-benar lulus dari SLTP.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun