[caption caption="Ayah dan ibuku semasa muda"][/caption]
Aku lahir dari keluarga sederhana. Sangat jauh dari kemewahan. Di suatu desa terisolir, yang hampir tak pernah tersentuh pembangunan. Nama desaku, Desa Padang Kunik, Pangean, Provinsi Riau, salah satu desa yang dulu berkali-kali masuk daftar Inpres Desa Tertinggal (IDT).
Kendati kami orang rendahan, orang pinggiran, tapi alhamdulillah, kedua orang tuaku sangat concern (perhatian) dengan masalah pendidikan. Kedua orang tuaku rela tidak punya apa-apa, asal anak-anaknya bisa sekolah.
Setamat SD (kami dulu belum mengenal TK apalagi Play Group), aku harus melanjutkan sekolah ke jenjang SLTP yang letaknya lumayan jauh dari desa kami. Tepatnya di dekat Pasar Baru Pangean. Ya, berjarak belasan kilometer. Untuk mencapai sekolah itu, satu-satunya cara adalah dengan bersepeda.
Masih segar dalam ingatan, bagaimana saya dan beberapa kawan-kawan setiap hari harus bangun sejak jam empat pagi kalau tidak ingin terlambat sampai di sekolah. Dan, tahun-tahun itu, saya merasakan betul bagaimana besarnya peran Ibu demi kesuksesanku dalam bersekolah.
Setiap hari, sebelum jam empat pagi, ibuku sudah bangun menyiapkan sarapan untukku. Tentu saat itu, kami belum mengenal yang namanya kompor untuk memasak. Layaknya orang kampung, ibuku memasak dengan kayu pakai tungku tanah. Usai menyiapkan sarapan, sekitar pukul empat, ibu membangunkanku dan mengajakku mandi ke Sungai Kuantan.
Ketika itu, kami juga belum mengenal sumur sebagai tempat mandi atau sumber air bersih, apalagi punya kamar mandi khusus. Semua kebutuhan air diambil dari Sungai Kuantan. Kami minum dari Sungai Kuantan, mandi di Sungai Kuantan dan (maaf) BAB juga di Sungai Kuantan. Tapi alhamdulillah, kami dan seluruh masyarakat tidak pernah terserang penyakit macam-macam, misalnya muntaber atau lainnya secara massif. (Sekarang di era modern, Sungai Kuantan tinggal kenangan. Karena ulah tangan manusia baik karena meracun ikan atau melakukan praktek tambang emas, air Sungai Kuantan kini sudah sangat tercemar..!)
Jarak antara rumahku dengan Sungai Kuantan mungkin kurang setengah kilometer. Karena anak bungsu dari lima bersaudara, walau sudah duduk di bangku SLTP, aku masih tidur dengan ibu. Jadinya, setiap jam empat pagi, di saat dunia masih gelap-gulita, ibuku sudah mengiringiku ke Sungai Kuantan sembari menenteng atau membawa pelita (lampu sumbu pakai minyak tanah).
Ketika itu, kami juga belum mengenal yang namanya listrik. Untuk penerangan di malam hari, orang kampung kami hanya menggunakan pelita. Persoalan menjadi repot, manakala di musim hujan. Karena angin yang bertiup kencang, pelita seringkali mati. Ibuku biasanya dengan sigap menyalakan kembali pakai korek api.
Suatu hari, kejadian ini saya tidak akan pernah lupa. Air Sungai Kuantan sedang meluap. Hampir naik ke daratan atau rumah penduduk. Kalau air lagi besar begini, segala macam benda biasanya turut hanyut di Sungai Kuantan, terutama kayu-kayu. Tentu saja jadi menyeramkan. Apalagi di pagi buta yang masih gelap-gulita.
Sungai Kuantan bukanlah seperti Kali Ciliwung yang ukurannya relatif kecil. Sungai Kuantan mungkin delapan kali Sungai Ciliwung luas atau lebarnya. Ketika itu, saya dan ibu sudah berada di tangga/jenjang tempat mandi (untuk mandi ke sungai, dibuat tangga/jenjang yang biasanya terbuat dari bambu). Biasanya ibu menunggui saya di jenjang paling atas sambil memegang pelita di tangan untuk penerangan. Tapi kali ini, karena air lagi besar, meluap, saya ketakutan, dan meminta ibu untuk ikut turun ke bawah. Mungkin karena tangganya sudah lapuk, begitu ibu ingin bergeser ke bawah, tangga yang dipijak ibu ternyata patah dua. Jadilah ibu ku tercinta jatuh ke sungai, pelita yang di tangannya pun terlempar entah kemana...Hari itu menjadi hari kelabu yang tak mungkin saya lupakan. Tapi ibu, tidak pernah kapok atau berhenti menemaniku, sampai aku benar-benar lulus dari SLTP.
Begitu lulus SLTP, bapakku mengirimku untuk bersekolah ke Bukit Tinggi. Ketika itu, Bukit Tinggi rasanya sangatlah jauh dari kampungku karena moda transportasi dan infrastruktur jalan belumlah bagus seperti sekarang.
Sebagai anak bungsu, ibuku sebenarnya sulit atau tidak tega membiarkan aku jauh. Pertama aku berangkat dari rumah, tiga hari tiga malam ibuku tidak keluar rumah. Hanya menangis memikirkan aku yang memang belum bisa apa-apa. Tapi alhamdulillah seiring berjalan waktu, berkat doa kedua orang tua, semua berjalan dengan baik.
Selanjutnya, antara aku dan orang tua, bapak dan ibu, hanya berkomunikasi melalui surat. Kecuali kalau musim libur tiba, tentu aku segera pulang kampung, melepas rindu ke orang tua. Apalagi saat melanjutkan ke jenjang kuliah, aku juga memilih ke Jakarta. Lebih jauh lagi dari kampungku. Walau di Jakarta aku juga tidak punya siapa-siapa kecuali tekad yang membaja.
Hingga akhirnya aku lulus kuliah dan bekerja, bahkan kini juga sudah punya anak dan istri. Begitu besar pengorbanan orang tua dalam kehidupan kita, yang telah mengantarkan kita hingga bisa seperti sekarang. Apalagi ibu yang sudah melahirkan kita. Tapi sampai detik ini, ibu saya belum pernah meminta apapun dari saya. Bahkan kalau saya menelepon beliau, yang keluar dari mulut beliau justru kata-kata atau kalimat, dimana beliau masih saja mengkhawatirkan saya sebagai anaknya. Sungguh kasih ibu sepanjang jalan. Memang benar, kasih sayang ibu layaknya matahari, yang tak pernah berhenti menyinari. Ibu, cintamu begitu suci, kasih sayangmu sangatlah tulus. Jasa-jasamu tak mungkin terbalaskan. Terima kasih Ibu...
Â
Selamat Hari Ibu, 22 Desember 2015
Untuk kedua orang tuaku, Ayahanda tercinta Alm. H. Yahya Kana dan Ibunda tercinta Hj. Daimah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H