Mohon tunggu...
Eril Sadewa
Eril Sadewa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Analis Sejarah

Selamat datang, tulisan-tulisan disini adalah hasil pembacaan saya atas Sejarah Nusantara yang begitu kaya, semoga bisa menjadi jembatan untuk menyelami kekayaan sejarah negeri kita yang indah ini.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bengkulu Mirip Jawa? Ini Dia Alasannya

9 Januari 2024   22:44 Diperbarui: 17 April 2024   07:41 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Klik Warta.

Berhubung saya keturunan Bengkulu, dan saya sering pulang kampung ke Bengkulu, dan ternyata saya datang kesana juga kagak Sumatra banget suasananya. Malah saya serasa di pedalaman Jawa Tengah atau Jawa Timur. Lho kok bisa? Iyalah disana yang dominan malah Bahasa Jawa dan kakek nenek juga dipanggil mbah yang merupakan panggilan Jawa. Bahkan Bahasa Melayu Bengkulu pun kagak jauh beda dengan Bahasa Jawa Suroboyoan.  

Di artikel ini saya akan coba bahas sejarahnya, ada hubungan apa antara Pulau Sumatra dan Jawa di masa lalu yang membuat kebudayaan Jawa menyebar ke Sumatra. Dan mengapa logat Jawa Timur malah memengaruhi logat di Pulau Sumatra yang jaraknya berkilo-kilo meter? Yuk, kita mulai aja.

Jadi, pada 1275 M, Raja Kertanegara dari Singasari mengirim pasukan dibawah Mahisa Anabrang ke Negeri Melayu. Nah, alasan mengapa Kertanegara ini sampai mengekspansi Negeri Melayu? DR.Slamet Muljana menjelaskan bahwasannya alasan ekspansi ini untuk membendung ekspansi Bangsa Mongol dibawah Kaisar Kubilai Khan yang kala itu sedang jaya-jayanya. Penyerangan ke Melayu ini juga dicatat dalam naskah kuno Majapahit yaitu Pararaton, Pararaton mencatat bahwa saat itulah terjadi pemberontakan Jaya Katong ( Jayakatwang) terhadap Kertanegara.

Mengapa harus Negeri Melayu yang jadi sasaran? Mungkinkah Bangsa Mongol mengekspansi Nusantara melalui Negeri Melayu? Sejarawan John Mann mencatat, pada 1279 M, Mongol berhasil menguasai seluruh Tiongkok Selatan, dibawah Komando Kaisar Kubilai Khan. Armada Mongol juga mulai menjamah Jepang , meski ekspansi ini terhalang oleh dahsyatnya badai. Tidak mustahil Armada Mongol mencoba mencaplok Negeri-negeri Melayu seperti Sumatra dan Malaysia, serta kemudian mencoba menginvasi Jawa, dan hal ini tentu saja mengancam Kerajaan Singasari yang berkedudukan di Jawa Timur.

Yuan Shi, Kronik Dinasti Yuan ( Dinasti Mongol di Tiongkok) mencatat bahwa pada 1293 M, Tentara Mongol ( Dinasti Yuan) yang hendak menyerang Jawa terlebih dahulu berkumpul di Pulau Goulan untuk merencanakan penyerangan. 

Groeneveldt menafsirkan bahwa yang dimaksud Pulau Goulan barangkali adalah Belitung. Ini menunjukkan bahwa Negeri Melayu bukan sembarang negeri, melainkan negeri yang sangat strategis. Bisa jadi, Kertanegara pun menyadari, jika Negeri-negeri Melayu dikuasai oleh Mongol, maka Jawa yang menjadi pusat Singasari pun akan jatuh ke tangan Kekaisaran Tiongkok-Mongol tersebut. Lebih lanjutnya mengenai Invasi Mongol ke Jawa, Insya Allah akan saya bahas secara khusus di artikel saya selanjutnya.

Jadi, disini jelas ya apa tujuan Kertanegara melakukan serangan ke Daerah Melayu. Nyatanya, politik Kertanegara dilanjutkan oleh negara penerus Singasari yaitu Kemaharajaan Majapahit.

Kakawin Negarakertagama mencatat bahwa Majapahit berhasil menundukkan sejumlah Negeri Melayu diantaranya Lampung, Minangkabau, Palembang, dan Mandailing. Raja bawahan Majapahit di Sumatra antara lain adalah Adityawarman yang dalam Prasasti Saruaso  1 dicatat telah membangun saliran irigasi di daerah tersebut.

Menurut Sejarawan Christine Dobbin, Adityawarman mendirikan kerajaan nya di sekitar Bukit Gombak dan Suruaso. Pada 1347 M, Adityawarman melepaskan diri dari Kekuasaan Majapahit dan memerintah secara independen. Adityawarman merupakan orang yang menciptakan budaya baru yang merupakan sintesis antara Jawa dan Melayu. Hal ini lantaran Adityawarman adalah keturunan Jawa Sumatra yang dibesarkan di Istana Majapahit yang jelas terletak di Jawa Timur.

Jadi, darisini ada sinkretisme antara budaya Jawa dan Sumatra,tepatnya di Minangkabau. Prasasti Saruaso 2 mencatat penerus Adityawarman yaitu Ananggawarman yang sebelum menjadi raja memerintah sebuah daerah kecil sebagai putra mahkota.

Ok, sekarang kita akan fokus ke Bengkulu nya ya, karena tadi kita sudah membahas pertemuan dua budaya ini secara global. Nah, Bengkulu sendiri, yang mayoritas dihuni Orang Rejang, menurut catatan William Marsden, penduduknya tinggal di dusun-dusun yang masing-masingnya dipimpin seorang Dupati. Para Dupati berada dibawah kekuasaan seorang Pangeran. Ini gambaran umum ya tentang masyarakat Bengkulu di masa lalu.

Ok, kita akan coba mundur ke Sejarah Bengkulunya terlebih dulu, jadi sebelum 1685 M, di Bengkulu itu ada sebuah kerajaan bernama Sungai Serut yang dipimpin Ratu Agung dan Kerajaan Serut ini berperang melawan Invasi Pasukan Aceh. Pasukan Aceh berhasil dikalahkan dan berdirilah Kerajaan Bengkulu yang independen.

Sekarang coba kita analisis dulu, Aceh biasanya mengekspansi wilayah-wilayah Sumatra seperti Batak dan Aru. Bahkan menurut Mendez Pinto, seorang Penjelajah Portugis, penaklukkan Aceh atas Batak berlangsung dengan sengitnya pertempuran yang menurut Pinto, menyebabkan banyaknya korban jiwa dari pihak Aceh maupun Batak. Mendez Pito memperkirakan korban jiwa dari kedua pihak mencapai 4000 jiwa. Ok, sekarang kita lihat wilayah-wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Aceh adalah wilayah yang sangat  kental budaya Melayu  nya dan Islam disana pun kuat. 

Sejarawan Anthony Reid mencatat bahwa wilayah Batak pada abad ke-20 M, tepatnya Sumatra Timur, diperintah Kesultanan-kesultanan Melayu seperti Langkat dan Deli, serta Serdang. Bahkan, pada masa itu para kepala suku Batak Karo pun menyatakan diri sebagai Orang  Muslim Melayu dan membangun istana-istana bergaya Melayu. Sementara, Bengkulu yang terbebas dari invasi Kesultanan Aceh akhirnya berganti-ganti diperintah oleh Penjajah Inggris sekitar 1685-1824 M dan kemudian Penjajah Belanda sekitar 1824-1941 M, pada masa Penjajah Belanda inilah, pengaruh Jawa akhirnya memasuki Bengkulu.

Pada 1831 M, Belanda mengirim pasukan ke Sumatra untuk menuntaskan Perang Padri. Di antara Pasukan Belanda, bergabung Sentot Ali Basyah, seorang panglima Jawa asal Madiun, anak dari Bupati Madiun yaitu Raden Ronggo Prawiradirjo, sebelumnya  Sentot merupakan  Pasukan Diponegoro yang  kemudian telah menyerah pada Belanda.  Ali Basyah membawa serta para prajuritnya yang berasal dari etnik Jawa. Karena berpihak pada musuh Belanda yaitu Kaum Padri, Ali Basyah dan pasukannya diasingkan ke sebuah perkampungan kecil ke Bengkulu oleh Belanda.

Gagalnya invasi Kesultanan Aceh ditambah masuknya prajurit-prajurit dari Jawa, semakin menguatkan budaya Jawa di Bengkulu. Maka, tidak heran apabila budaya Bengkulu sekarang sangat mirip dengan budaya di Pedesaan Jawa. Jika dulu Jawa dan Melayu terpisah, maka Bengkulu menjadi bukti, berbeda, bukan berarti tidak bisa bersatu. Marilah kita bijak menyikapi perbedaan dan membuang segala permusuhan. Marilah kita saling menghargai satu sama lain. Sejarah mengajarkan kita bahwasannya saling menghargai dan menerima, adalah sarana menuju masyarakat yang damai dan tenteram.

Refrensi:
Marsden, William: Sejarah Sumatra, Penerbit Komunitas Bambu Jakarta, 2013 M.

Muljana, Prof.DR.Slamet: Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit, Penerbit LKIS, 2012 M.

Dobbin, Christine: Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam,dan Gerakan Padri, Penerbit Komunitas Bambu,  Depok, 2008 M.

Reid, Anthony: Sumatra: Revolusi Dan Elit Tradisional, Penerbit Komunitas Bambu, Jakarta, 2012 M.

Prasetyo, Aji: Ingat Ronggo, Ingat Sentot, Ingat Peter Carey,dalam Antologi Urip Iku Urub  Penerbit Buku Kompas, 2021 M.

Mann, John: Jenghis Khan, Legenda Sang Penakluk Dari Mongolia, Penerbit Alvabet, 2019 M.

Prapanca, Mpu: Kakawin Nagarakretagama, Pustaka Gratis 78, tanpa tahun.

Hardjowardo, Pitono: Pararaton, Penerbit Bhratara, 1965 M.

Wuryandari, Nurni Wahyu: Hubungan Bilateral Yuan-Singhasari Dari Naskah Klasik Cina Masa Dinasti Yuan, Prosiding Seminar Nasional Naskah Nusantara, Volume 1,Februari, 2023 M.

Anggraini, Rika dan Arifin, Nurhayati Hadi Susilo: Studi Potensi Lanskap Bersejarah Untuk Pengembangan Wisata Sejarah Di Kota Bengkulu, Jurnal Lanskap Indonesia Vol.3 No.1, 2011 M.

Soedewo, Ery:Strategi Kerajaan Batak ( Tamiang) Menghadapi Serangan Kesultanan Aceh Di Abad Ke-16 M, dalam Berkala Arkeologi Sangkhakala, Vol.22, No.1 , Mei 2019 M.

Prasasti Saruaso I, Prasasti yang Ditinggalkan Adityawarman (kompas.com), diakses 9 Januari 2024 M, Pukul 22: 29 WIB.

Prasasti Saruaso II - Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat (kemdikbud.go.id), diakses 9 Januari 2024 M, Pukul 22: 29 WIB.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun