Mungkinkah Indonesia memiliki Rumah Sakit Internasional setara dengan Rumah-rumah Sakit di Malaysia dan Singapura?
Pernah dengar Bali International Hospital? Katanya rumah sakit yang dibangun dalam Kawasan Ekonomi Khusus Kesehatan ini bekerja sama dengan Mayo Clinic.
Tujuan pendirian rumah sakit ini agar devisa yang mendekati 100 trilyun rupiah pertahun tidak dibelanjakan orang Indonesia ke rumah-rumah sakit di Malaysia ataupun Singapura.
Sungguh suatu projek yang prestisius dan mudah-mudahan bisa cepat terwujud.
Ijinkanlah kami selaku Dokter Intenet yang memiliki hobi dan kerjaan berkunjung ke beberapa RS di Asia dan Eropa, sedikit memberi masukan.
Sejak tahun 1990an, Dokter rajin berkunjung ke beberapa RS di Malaysia, Singapore, Taiwan, Korsel, Guangzhou hingga Lepzieg, dll. Ada hal yang Dokter perhatikan yang mungkin bisa membantu pemerintah mewujudkan RS tersebut.
Adapun yang Dokter maksud:
1. Hendaknya dipisahkan antara layanan untuk VVIP (sebut saja begitu) dengan layanan cost effective dan cost efficient (cece) / kelas standard
2. Kalau pemerintah merasa ada project bagus, jalankan dulu di Instusti Pemerintah (sebagai lab), jika berhasil bisa ditawarkan ke pihak swasta. Â
3. Kalau memang merasa bahwa pendirian RS VVIP itu baik dan bermanfaat bagi Indonesia, hendaknya di-support penuh dan bikin aturan resmi agar bisa segera dimultiplikasi.
1. Pemisahan layanan
Salah satu yang bisa menentukan keberhasilan RS yang menargetkan pada pasien kelas atas adalah mengelola RS tanpa dibebani dengan prosentase tempat tidur bagi layanan cece.
Yang datang ke RS tersebut adalah orang yang mampu membayar. Dan menurut Dokter pelayanannya tidak bisa dicampur. Tenaga dokter dan perawat adalah orang yang memiliki keterbatasan kemampuan. Dalam melayani tidak mudah bisa dengan cepat men-switch, oh ini pasien cece dan yang ini bukan.
Contohnya salah seorang Tiktokersnya, Pak Kemal, bercerita mengenai perbedaan pelayanan yang dialaminya dari dokter Indonesia dengan  dokter di Malaysia.
Menurutnya, dokter Malaysia (tentu yang dikunjungi RS Internasional) sangat teliti, lab diperiksa lengkap berbeda dengan dokter di Indonesia.
Menurut Dokter, kenapa hal ini bisa terjadi, karena ybs mengunjungi 2 RS yang sifat layanan atau segmen pasar berbeda. Â Dokter-dokter di Indonesia karena keadaan harus melayani pasien secara efektif dan efisien. Masing-masing cara tentu ada keuntungan dan kekurangannya. Ada pasien yang senang diperiksa lebih teliti di pihak lain ada dokter yang mengeluh tidak bisa bebas dan harus bekerja dengan keterbatasan karena dihimbau management maupun karena jumlah pasien yang banyak.
Karena itu sejak awal (sdh 20an th yl.), Dokter berprinsip kalau mau membuka RS dengan layanan VVIP (yang sama dengan RS di Singapura dan Malaysia), Â RS di Indonesia tersebut harus dibebaskan dari keharusan melayani pasien cece. Termasuk dokter-dokternya tidak berpraktik di RS yang melayani target market pasien yang layanan kesehatannya efisien dan efektif.
Kontribusi investor bisa dalam bentuk lain, bukan plek dengan prosentase jumlah tempat tidur. Sayangnya sampai saat ini, sepengetahuan Dokter belum ada RS yang bisa bebas dari kewajiban ini. Mau lokal, nasional bahkan Internasional sekali pun di Indonesia. Aturannya begitu.
2. Jalankan dulu di pemerintah
Salah satu hal yang cukup unik yang Dokter lihat di RS Pemerintah di Malaysia. Kalau memiliki program yang menurut mereka bagus, umumnya mereka mengaplikasikan dulu di RS Pemerintah. Jika hasilnya baik, baru diajak RS Swasta untuk mengikutinya dengan memperlihatkan keuntungan-keuntungannya.
Pertanyaannya, siapakah pemilik BIH? Pemerintah atau Swasta. Kalau swasta kenapa ybs memperoleh keistimewaan tersebut? Bagaimana jika ada investor lain yang ingin melakukan hal yang sama?
(Sekedar info saja, saat ini ada beberapa program yang dianggap baik oleh Pemerintah langsung dijalankan (meskipun belum matang dan teruji) bersama swasta. Kalau gagal, swastanya kan menderita. Jadi pihak swasta dijadikan lab uji cobanya sambil perbaikan). Pemerintah dengan segenap sumber dayanya, hendaknya meng-support swasta, jangan dibalik.
3. Full Support
Pernah dengar Citayam Fashion Week? Suatu acara yang sempat menghebohkan jagad maya. Diliput berbagai media baik online maupun konvensional. Berapa banyak yang nyiyir dan sebel dengan kepopuleran acara tersebut. Bayangkan berapa banyak talent2 yang sudah berlatih berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, tidak memperoleh liputan sebaik CFW.
Lalu ada yang berharap CFW bisa sepopuler budaya Korea. Sayangnya sesuatu yang datang secara tiba2 tidak bisa awet. Agar bisa awet harus di-create. Melalui proses yang panjang. Sepengetahuan Dokter, pemerintah Korea lah yang bersusah payah meng-create sehingga budayanya bisa mendunia. Bukan tiba2 karena ada satu atau dua group K-Pop yang bagus, dll.
Begitu pula jika project RS VVIP ingin sukses, harus didukung semua pihak. Aturan pun harus jelas sehingga terbuka kesempatan bagi siapapun. Sebaiknya aturan dibuat tidak menabrak aturan lainnya atau kalau memang perlu, aturan direvisi atau diskresi.
Jika ingin RS VVIP sukses, pemerintah harus membuat kebijakan yang mendukung hal ini. Jangan dibiarkan pengurusnya berjuang sendiri.
Dokter masih ingat betapa gigihnya pemerintah Malaysia mempopulerkan health tourism mereka. Target mereka adalah melewati Singapore. Dokter pernah ketemu orang yang sangat giat  mendekati dokter-dokter Indonesia menawarkan kerjasama rujukan. Dokter kemudian tanya dari mana, dari Pemerintah Malaysia.
Begitu juga Dokter pernah dengar kelompok RS di India melakukan hal yang sama.
Hal yang lain, untuk meningkatkan kunjungan RS VVIP tsb., bisa dibuat semacam program second home untuk para pensiunan di sekitar tempat didirikannya RS VVIP tersebut. Permudah proses administrasinya. Latih penduduk sekitar lokasi untuk berbahasa Inggris atau bahasa lainnya yang sesuai dengan target market.
Dirikan pusat jajanan/oleh2, hotel/apartment untuk keluarga pasien.
Jadi jika ingin sukses, harus dilakukan secara bersamaan dan berkelanjutan. Pandangannya harus komprehensif.
Bukan hanya mendirikan RS semata.
Demikian pendapat sederhana kami, semoga bermanfaat.
Dr. Erik Tapan, MHA
Dokter Internet Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H