Mohon tunggu...
erika avalokita
erika avalokita Mohon Tunggu... Freelancer - ibu rumah tangga

suka nulis dan silat

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Media Sosial dan Momentum Evaluasi

1 Mei 2018   20:21 Diperbarui: 2 Mei 2018   02:41 2381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika masyarakat internasional gempar soal  data Facebook (FB) terkait Cambridge Analytica, ternyata tidak mengubah loyalitas masyarakat Indonesia terhadap platform media sosial (medsos) populer itu. Di sisi lain, Pemerintah Indonesia justru bereaksi keras karena dua hal; kebocoran data sekitar satu juta pengguna FB kita pada kasus itu dan kekuatiran pemerintah kita atas keterlibatan FB atas ujaran kebencian di Myanmar bisa terjadi di Indonesia. Menkominfo menyarankan agar masyarakat puasa bermedsos untuk sementara.

Menurut riset Hootsuite dan We Are Social tahun 2017, Indonesia menduduki peringkat keempat pengguna aktif FB dunia. Pertama adalah Amerika Serikat (AS) yaitu 219 juta. Diikuti India dengan 213 juta, Brasil 123 juta dan Indonesia dengan 111 juta pengguna.

Di Indonesia, masih sedikit orang bermedsos untuk brand atau bisnis, tapi memakainya untuk keperluan pribadi (silaturahmi, relaksasi dll). Sebuah akun personal bisa memiliki 4000-5000 teman dengan fitur terbuka. Orang Indonesia yang ramah dan bersahabat cenderung menerima pertemanan dari siapapun bahkan dari orang yang tak mereka kenal. Bandingkan akun personal beberapa negara maju yang rerata hanya memiliki 100- 500 teman dengan fitur terkunci. Bahkan banyak diantara mereka yang hanya punya LinkedId.

Kita terkesan santai bahkan tak peduli terhadap peristiwa kebocoran data yang memukul telak FB, karena dua soal. Pertama, masyarakat tahu tapi tidak peduli karena "kaitannya jauh". Pemilihan presiden Donald Trump yang menjadi obyek survey itu dianggap tak ada kaitan dengan masyarakat kita.  

Kedua, banyak dari kita yang terlanjur terpikat dengan platform ini, disamping Instagram dan Youtube. Banyak dari kita yang merasa puas dan gembira memasang foto anak menjadi juara pidato bahasa Inggris, yang dengan cepat menuai pujian dan mendapat jempol dari teman-teman. Kita senang ketika orang memuji pencapaian kita di kantor atau membagi testimoni setelah menyantap sushi di restoran A atau B. Banyak orang bereaksi ketika kita menulis pengalaman sedih atau marah.

Di benak pengguna, tak ada hal yang dirasa "dicuri"  oleh FB karena kita tak kehilangan apapun. Justru pengguna mendapat sesuatu yaitu rasa bahagia, puas, dan dukungan batin; meski beberapa alami kecewa. Bahkan banyak orang akhirnya mengetahui orientasi politik dan kehidupan sosial teman-teman lama mereka dari media sosial.  Pada dasarnya orang senang berbagi dan ini diakomodir dengan baik. Itulah yang mengalahkan hal-hal negatif media sosial yang mengintai.

Reaksi pemerintah Indonesia terhadap FB  harusnya membawa masyarakat sadar bahwa persoalan ini sangat serius. Seperti halnya pemerintah Jerman yang menetapkan regulasi ketat kepada pihak FB karena ujaran kebencian. Karena jika dibiarkan, media sosial jadi hal yang terlalu besar untuk dikendalikan.

Data media sosial sangat powerfull karena menaruh kehidupan kita ke platform itu dengan detil. FB merekam rasa sedih dan gembira sampai teman-teman terbaik di masa lalu dan kini. Ketika berlibur ke Lombok dan mengunjungi Pantai Senggigi, berbelanja mutiara, berfoto di Sembalun dan makan siang sebelum kembali ke Bali. Foto dan menandai tempat (geo-tagging) kegiatan ini diposting di media sosial. Jutaan orang juga melakukan ini.

Sehingga seringkali muncul kuis usil dan lucu dimana FB bisa menebak teman-teman akrab kita, apa saja yang disukai, apa yang kita benci. Apa pekerjaan yang cocok, bagaimana orientasi sosial bahkan politik. Kuis yang terkesan main-main dan untuk lucu-lucuan itu tidak ngawur  karena semuanya berbasis data yang  direkam FB. Tidak semua presisi, namun sekitar 30-50 persen menggambarkan kenyataan.  

Gratis tapi Tidak

Media sosial bekerja keras untuk rasa puas kita itu. Upaya mereka tak sederhana dan beberapa diantaranya, mahal. FB melengkapi diri dengan berbagai aplikasi premium yang memberi banyak pelayanan dan gratis dimanfaatkan oleh pengguna FB (milik FB atau kerjasama).  Aplikasi Onavo dipakai untuk mengurangi biaya pengelolaan data saat pengguna mengakses FB.  Aplikasi Face.com mampu mengenali garis wajah sehingga kuis tebak wajah duapuluh tahun ke depan dapat kita nikmati dengan tawa lepas.  

FB juga punya Atlas yang punya teknologi Click Purchase Path Analysis yang dapat menelusuri perilaku orang setelah melihat iklan medsos. Yang paling fenomenal adalah ketika FB membeli  aplikasi pengiriman pesan instan Whatssapp (WA) seharga 19 miliar US$  dan aplikasi berbagi gambar Instagram senilai 1 miliar US$.

Di sinilah prinsip big data (mahadata) berlaku. Aplikasi dan data yang dihasilkan saling terkoneksi. Mereka memanen dan menghasilkan raw data (data mentah) yang bisa dianalisa lebih lanjut sesuai pisau kepentingan.  Mulai dari data psikometrik, pola konsumsi sampai preferensi politik.

Itu sebabnya tak jarang ada pemberitahuan di FB bahwa A memiliki akun instagram dengan nama A1.  WA yang tersambung dengan akun Google dapat memberitahu seseorang sedang berada di Denpasar, Surabaya atau Jakarta. Bahkan ketika di lautan dan tak ada signal, Google atau media sosial dapat merekam rute yang kita lalui.

Prinsip kerja big data sebenarnya bukan hal tabu di dunia digital. Banyak provider yang memanfaatkan data, diolah dan dijual kepada pihak-pihak yang butuh. Jika ke mall, kita menerima penawaran diskon pizza atau kafe kesayangan. Pemerintah banyak memanfaatkan prinsip big data baik untuk kepentingan inteligen maupun keuangan semisal pajak.

Di sisi lain, kepekaan dan kemampuan literasi digital bangsa kita masih sangat minim. Sering dijumpai  cara berfikir konvensional untuk logika-logika digital, seperti pengemudi online yang berusaha mengakali sistem dengan berbagai cara. Banyak yang tak paham pemanfaatan fitur-fitur sederhana dan penting. Juga pengenalan sisi gelap logika agloritma berupa filter bubble, sehingga banyak yang terjebak pada propaganda politik yang sadis. Medsos yang semula diharapkan dapat membawa angin segar berupa transparansi dan akuntabilitas, menjadi melenceng dari seharusnya.

Skandal besar FB sebenarnya adalah momentum evaluasi. Kita harus cerdas dan skeptis terhadap apa yang disodorkan medsos sehingga mereka tak sempat mengambil terlalu banyak hal dari kita.

Selanjutnya bagaimana kita menempatkan diri baik sebagai pribadi maupun bangsa besar di  dunia digital yang berjalan sangat cepat? Apakah kita bisa memanfaatkannya sebagai pihak produktif dan berdaya saing tinggi atau hanya santai sebagai konsumen ?  Jika tak peduli dan santai, kita akan tergilas.

Indonesia bangsa yang sangat besar. Jika tak besar, untuk apa sekelas Jack Ma mau berinvestasi sampai Rp 14,7 triliun untuk sebuah toko online asal Indonesia? Jika tak besar, untuk apa data pengguna FB Indonesia "dicuri" oleh Cambridge Analytica? Percayalah, tak ada makan siang yang gratis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun