FB juga punya Atlas yang punya teknologi Click Purchase Path Analysis yang dapat menelusuri perilaku orang setelah melihat iklan medsos. Yang paling fenomenal adalah ketika FB membeli  aplikasi pengiriman pesan instan Whatssapp (WA) seharga 19 miliar US$  dan aplikasi berbagi gambar Instagram senilai 1 miliar US$.
Di sinilah prinsip big data (mahadata) berlaku. Aplikasi dan data yang dihasilkan saling terkoneksi. Mereka memanen dan menghasilkan raw data (data mentah) yang bisa dianalisa lebih lanjut sesuai pisau kepentingan. Â Mulai dari data psikometrik, pola konsumsi sampai preferensi politik.
Itu sebabnya tak jarang ada pemberitahuan di FB bahwa A memiliki akun instagram dengan nama A1. Â WA yang tersambung dengan akun Google dapat memberitahu seseorang sedang berada di Denpasar, Surabaya atau Jakarta. Bahkan ketika di lautan dan tak ada signal, Google atau media sosial dapat merekam rute yang kita lalui.
Prinsip kerja big data sebenarnya bukan hal tabu di dunia digital. Banyak provider yang memanfaatkan data, diolah dan dijual kepada pihak-pihak yang butuh. Jika ke mall, kita menerima penawaran diskon pizza atau kafe kesayangan. Pemerintah banyak memanfaatkan prinsip big data baik untuk kepentingan inteligen maupun keuangan semisal pajak.
Di sisi lain, kepekaan dan kemampuan literasi digital bangsa kita masih sangat minim. Sering dijumpai  cara berfikir konvensional untuk logika-logika digital, seperti pengemudi online yang berusaha mengakali sistem dengan berbagai cara. Banyak yang tak paham pemanfaatan fitur-fitur sederhana dan penting. Juga pengenalan sisi gelap logika agloritma berupa filter bubble, sehingga banyak yang terjebak pada propaganda politik yang sadis. Medsos yang semula diharapkan dapat membawa angin segar berupa transparansi dan akuntabilitas, menjadi melenceng dari seharusnya.
Skandal besar FB sebenarnya adalah momentum evaluasi. Kita harus cerdas dan skeptis terhadap apa yang disodorkan medsos sehingga mereka tak sempat mengambil terlalu banyak hal dari kita.
Selanjutnya bagaimana kita menempatkan diri baik sebagai pribadi maupun bangsa besar di  dunia digital yang berjalan sangat cepat? Apakah kita bisa memanfaatkannya sebagai pihak produktif dan berdaya saing tinggi atau hanya santai sebagai konsumen ?  Jika tak peduli dan santai, kita akan tergilas.
Indonesia bangsa yang sangat besar. Jika tak besar, untuk apa sekelas Jack Ma mau berinvestasi sampai Rp 14,7 triliun untuk sebuah toko online asal Indonesia? Jika tak besar, untuk apa data pengguna FB Indonesia "dicuri" oleh Cambridge Analytica? Percayalah, tak ada makan siang yang gratis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H