Mohon tunggu...
Ririe aiko
Ririe aiko Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Pengajar dan Ghost Writer

Pemenang Sayembara Penulisan FTV Indosiar, Penulis Buku Antalogi KKN (Kuliah Kerja Ngonten) Elex Media, Penulis Eduparenting, Penulis Cerpen Horor @roli.telkomsel dan penggiat puisi esai di Bandung Contact person : erikae940@gmail.com Follow Me : Instagram : Ririe_aiko

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kontroversi "Sad Food" pada Makanan Bergizi Gratis

9 Januari 2025   07:48 Diperbarui: 9 Januari 2025   16:28 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sad Food dan Kontroversi Makanan Bergizi Gratis: Perspektif Sosial dan Estetika

Baru-baru ini, media sosial diramaikan oleh perbincangan mengenai program makanan bergizi gratis yang mulai direalisasikan pemerintah. Inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan asupan gizi anak-anak, terutama di sekolah, dengan harapan mendukung kesehatan dan kemampuan belajar mereka. Namun, tak lama setelah program ini diluncurkan, muncul istilah "Sad Food" yang digunakan oleh sejumlah siswa untuk menggambarkan makanan tersebut. Mengapa istilah ini muncul, dan apa maknanya?

Sebenarnya apa Itu Sad Food?

Secara harfiah, "Sad Food" mengacu pada makanan yang dianggap "sedih," biasanya karena penampilannya yang kurang menarik, penyajiannya yang sederhana, atau bahan-bahannya yang tidak memenuhi ekspektasi visual dan rasa. Istilah ini awalnya populer di media sosial, terutama di kalangan generasi muda yang sering membandingkan makanan berdasarkan estetikanya. Tren ini berakar dari budaya digital, di mana visual makanan yang menggugah selera menjadi prioritas, terutama di platform seperti Instagram atau TikTok.

Sad Food mulai dikenal luas dalam konteks kehidupan sehari-hari sekitar satu dekade terakhir, seiring dengan berkembangnya media sosial sebagai tempat berbagi pengalaman makan. Istilah ini sering digunakan untuk mengejek makanan yang dianggap "tidak memadai," baik dari segi estetika maupun rasa. Namun, dalam kasus makanan gratis yang disediakan pemerintah, istilah ini menimbulkan dilema karena makanan tersebut sebenarnya sudah dirancang dengan kandungan gizi yang mencukupi.

Mengapa Makanan Gratis Disebut Sad Food?

Ada beberapa alasan mengapa menu makanan bergizi gratis ini disebut "Sad Food," meskipun dari sisi gizi sudah memenuhi standar.

1. Tampilan yang Kurang Menarik
Visual adalah faktor utama dalam persepsi makanan. Banyak anak-anak sekolah, terutama yang terbiasa dengan makanan cepat saji seperti pizza, burger, atau ayam goreng krispi, merasa bahwa makanan gratis ini kurang menggugah selera. Penyajian yang sederhana, tanpa warna mencolok atau dekorasi menarik, seringkali menjadi alasan utama mereka menyebutnya "Sad Food."

2. Kebiasaan Konsumsi Anak-Anak
Anak-anak, terutama dari kalangan menengah ke atas, biasanya sudah terbiasa dengan makanan yang memiliki rasa kuat dan penyajian yang lebih modern. Ketika dihadapkan dengan makanan gratis yang mungkin terdiri dari nasi, ayam rebus, dan sayur bening, mereka cenderung merasa "tidak puas." Selera anak-anak ini juga dipengaruhi oleh makanan olahan atau cepat saji yang sering mereka konsumsi di luar rumah.

3. Kualitas dan Tekstur Makanan
Keluhan seperti ayam yang terasa keras, sayur yang kurang matang, atau nasi yang kering sering muncul dalam diskusi online. Meski bahan-bahan makanan ini telah memenuhi standar gizi, cara pengolahannya yang kurang maksimal membuat anak-anak merasa tidak menikmati makanan tersebut.

4. Budaya Digital dan Ekspektasi
Generasi muda yang tumbuh dengan media sosial sering memprioritaskan estetika di atas fungsi. Mereka terbiasa melihat makanan yang disajikan dengan plating indah, warna-warni, dan foto yang menggiurkan. Ketika makanan gratis tidak sesuai dengan standar estetika ini, mereka cenderung merasa kecewa.

Pro dan Kontra di Media Sosial

Di media sosial, diskusi tentang makanan gratis ini memunculkan berbagai pendapat.

Banyak yang memuji inisiatif pemerintah untuk memberikan makanan bergizi kepada anak-anak, terutama yang berasal dari keluarga kurang mampu. Mereka berpendapat bahwa program ini adalah langkah konkret untuk mengurangi tingkat gizi buruk dan meningkatkan kualitas hidup anak-anak.
Sebagian besar kritik datang dari penyajian makanan yang dianggap kurang menarik. Beberapa juga mempertanyakan efisiensi pengelolaan anggaran dan apakah makanan yang tidak dimakan menjadi tumpukan sampah, sehingga program ini justru kurang efektif.

Solusi untuk Mengatasi "Sad Food"

Agar makanan gratis ini diterima dengan baik oleh anak-anak, beberapa langkah perbaikan dapat dilakukan:

1. Meningkatkan Variasi Menu
Variasi makanan yang lebih beragam bisa membuat program ini lebih menarik. Misalnya, menambahkan variasi seperti nasi goreng sehat, mi pangsit bergizi, atau lauk pauk yang dikreasikan dengan inovasi modern.

2. Melibatkan UKM Profesional
Menggerakkan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang berpengalaman dalam bidang kuliner dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kualitas rasa dan tampilan makanan. UKM lokal juga dapat menciptakan peluang kerja dan mendukung perekonomian daerah.

3. Edukasi tentang Gizi
Anak-anak dan orang tua perlu diedukasi mengenai pentingnya makanan bergizi. Dengan pemahaman yang lebih baik, mereka dapat lebih menerima makanan gratis yang diberikan.

4. Meningkatkan Presentasi Makanan
Penyajian makanan yang lebih estetis dan menarik dapat mengubah persepsi anak-anak terhadap menu yang ada. Misalnya, menambahkan garnish sederhana, menggunakan wadah berwarna cerah, atau menyusun makanan dengan lebih kreatif.

5. Melibatkan Anak-Anak dalam Penyusunan Menu
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan masukan tentang menu yang mereka inginkan dapat membantu menciptakan rasa memiliki terhadap program ini.

Menyelamatkan Tujuan Mulia Program

Label "Sad Food" yang melekat pada makanan bergizi gratis sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh faktor estetika dan preferensi subjektif anak-anak. Padahal, tujuan utama dari program ini adalah untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup generasi muda. Jika persepsi negatif ini tidak segera diatasi, dikhawatirkan makanan yang sudah dipersiapkan dengan baik justru akan terbuang sia-sia.

Ke depan, penting bagi pemerintah untuk mengevaluasi pelaksanaan program ini secara menyeluruh. Dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk ahli gizi, pelaku kuliner, dan masyarakat, program makanan gratis dapat terus ditingkatkan kualitasnya. Selain memenuhi kebutuhan gizi, makanan ini juga diharapkan dapat menarik minat anak-anak, sehingga mereka benar-benar menikmati dan menghargai inisiatif mulia ini.

Akhirnya, istilah "Sad Food" seharusnya menjadi kritik konstruktif, bukan sekadar ejekan. Dengan inovasi dan perhatian lebih terhadap detail, makanan bergizi gratis ini dapat menjadi sumber kebanggaan bagi semua pihak, sekaligus membantu menciptakan generasi yang lebih sehat dan cerdas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun