Belakangan, jagat media sosial ramai dengan cerita seorang tokoh publik yang memarahi seorang pedagang dengan kata "goblok" hanya karena pedagang itu menawarkan dagangannya. Kejadian ini mengundang banyak reaksi, dari yang mengecam hingga yang membela. Tapi satu hal yang seharusnya kita refleksikan bersama: pantaskah kata kasar seperti itu terucap dari mulut seorang yang dianggap terpandang? Bukankah seharusnya mereka yang berada di posisi atas menjadi contoh bagaimana memperlakukan sesama dengan hormat dan manusiawi?
Mari kita telaah lebih jauh. Sejak sekolah dasar, kita diajarkan nilai-nilai Pancasila, termasuk sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Frasa ini sederhana namun bermakna dalam. Ia mengajarkan kita untuk memanusiakan manusia, menghormati martabat orang lain, dan bersikap adil terhadap siapa pun tanpa melihat status sosial, pekerjaan, atau latar belakang mereka. Sayangnya, sering kali nilai-nilai ini hanya menjadi hafalan tanpa implementasi nyata dalam kehidupan.
Siapa yang Lebih "Goblok"?
Kata "goblok" itu sendiri adalah penghinaan yang tidak hanya merendahkan harga diri seseorang, tapi juga mencerminkan ketidaksensitifan si pengucap terhadap konteks sosial. Pedagang yang menawarkan dagangannya bukanlah tindakan memaksa atau mengganggu, melainkan usaha mencari rezeki dengan cara halal. Bukankah lebih mulia menghormati usaha seseorang daripada merendahkannya?
Jika kita renungkan, siapa sebenarnya yang "goblok" di sini? Pedagang yang berjuang untuk menyambung hidup, atau tokoh yang tak mampu mengontrol ucapan dan emosinya di depan umum? Seorang tokoh publik seharusnya menyadari bahwa setiap tindakannya menjadi sorotan dan berpotensi memengaruhi cara orang lain bersikap. Kata kasar dari seorang figur publik bisa menjadi pembenaran bagi orang lain untuk berperilaku serupa.
Memahami Hidup dari Kacamata Pedagang
Pedagang kecil, khususnya yang berjuang di tengah keterbatasan, adalah cermin kehidupan rakyat kecil di Indonesia. Mereka bangun pagi, menata dagangan, dan berharap ada pembeli yang mampir. Mereka tidak meminta belas kasihan, hanya kesempatan untuk berdagang secara jujur. Apakah salah jika mereka menawarkan dagangannya kepada orang yang mereka pikir mampu membeli? Itu bukan tindakan memaksa, tapi sebuah usaha.
Mungkin si tokoh yang melontarkan hinaan tidak pernah merasakan betapa sulitnya hidup di bawah garis kemiskinan. Baginya, segelas minuman yang tidak terjual hanyalah angka kecil. Tapi bagi pedagang itu, segelas minuman yang laku bisa berarti makan malam untuk keluarga. Pernahkah kita berpikir, di balik dagangan yang tidak laku itu ada anak-anak yang menunggu di rumah, berharap bapaknya membawa pulang rezeki?
Bicara Kemanusiaan, Tapi Lupa Berperilaku Manusiawi
Ironisnya, sering kali mereka yang lantang berbicara soal kemanusiaan di atas panggung, lupa untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ceramah soal moral dan etika terdengar kosong jika tidak diiringi dengan tindakan nyata. Mengolok-olok seseorang di depan umum, apalagi dari kalangan kecil, bukan hanya mencederai harga diri korban, tapi juga mempermalukan si pelaku. Bagaimana kita bisa menganggap seseorang bermoral tinggi jika ucapannya sendiri jauh dari nilai-nilai manusiawi?
Sebagai manusia, kita tidak sempurna, tapi setidaknya kita bisa berusaha untuk tidak menyakiti orang lain. Jika tidak bisa membantu, jangan menghina. Jika tidak bisa memuji, jangan mencemooh. Tidak sulit untuk bersikap baik, apalagi jika kita sadar bahwa setiap orang sedang berjuang dalam caranya masing-masing.
Pelajaran dari Insiden Ini
Kejadian ini seharusnya menjadi pelajaran untuk kita semua. Untuk yang berada di posisi atas, ingatlah bahwa status sosial bukan alasan untuk merendahkan orang lain. Kita semua adalah manusia dengan martabat yang sama. Tidak ada yang berhak merasa lebih tinggi hanya karena memiliki uang, jabatan, atau ketenaran.
Bagi kita yang menyaksikan insiden ini, jadikan ini refleksi. Bagaimana kita bersikap kepada sesama? Apakah kita sudah cukup manusiawi dalam memperlakukan orang-orang di sekitar kita, terutama mereka yang mungkin hidupnya lebih sulit? Nilai-nilai Pancasila dan ajaran agama apa pun sebenarnya sangat jelas soal ini: hormati sesama, bantu mereka yang kesulitan, dan jangan pernah merendahkan.
Manusiawi Itu Keharusan
Kita tidak bisa memilih untuk manusiawi atau tidak. Itu adalah kewajiban kita sebagai manusia yang hidup berdampingan di dunia ini. Kejadian di atas seharusnya menyadarkan kita bahwa ucapan adalah senjata yang tajam, mampu melukai lebih dalam daripada senjata fisik. Jika kita benar-benar peduli pada kemanusiaan, mulailah dengan hal sederhana: hormati mereka yang berbeda status sosial, perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan, dan jadilah contoh kebaikan, bukan penghinaan.
Akhirnya, semoga kejadian ini membuka mata kita semua. Tidak ada salahnya introspeksi. Sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila, mari kita junjung tinggi nilai kemanusiaan. Karena di akhir hari, ukuran sejati seseorang bukan pada apa yang mereka miliki, tapi bagaimana mereka memperlakukan sesamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H