Malam itu, lelah setelah lembur panjang, aku akhirnya memutuskan pulang meski jarum jam hampir mendekati tengah malam. Udara dingin Bandung merayap di sela-sela jaket, dan hanya sedikit kendaraan yang berseliweran di jalanan. Semuanya terasa normal, sampai aku menyadari bahwa satu-satunya jalan tercepat ke rumah adalah melewati jalan yang terkenal angker.
Jalan itu terletak di pinggiran kota, dikelilingi pepohonan besar yang memayungi aspal tua. Orang-orang sering membicarakan kisah seram tentang jalan itu, dari penampakan, suara-suara aneh, hingga kendaraan yang tiba-tiba mogok tanpa alasan. Aku selalu mengabaikan cerita-cerita itu. Bahkan, aku sering melewati jalan ini, dan tak pernah sekalipun mengalami kejadian mistis.
Namun, malam itu ada sesuatu yang berbeda. Setelah menyalakan motor dan mulai memasuki jalan tersebut, suasana langsung berubah. Hawa dingin yang menusuk, lebih dari sekadar udara malam. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengawasi dari balik pohon-pohon besar, tersembunyi dalam gelap.
Aku terus memacu motorku, mencoba menepis perasaan aneh yang mulai menyelimuti pikiranku. Jalan ini selalu sepi pada malam hari, tapi malam itu sunyinya terasa lain. Tidak ada suara burung malam, jangkrik, atau gemerisik angin. Hanya bunyi mesin motorku yang membelah keheningan.
Tapi tiba-tiba, aku merasa ada yang salah. Jalanan yang seharusnya lurus seakan-akan membawaku berputar-putar. Pohon yang sama muncul lagi, dan lagi, seperti aku berjalan di lingkaran tanpa ujung. Jantungku mulai berdegup kencang. Aku mempercepat laju motor, berharap bisa segera keluar dari jalan terkutuk ini. Namun, semakin cepat aku memacu motor, semakin aneh situasinya. Lampu-lampu jalan yang tadinya menerangi jalan perlahan-lahan padam satu per satu, meninggalkan kegelapan pekat.
"Kok bisa gini?" Aku bergumam panik, berusaha menenangkan diri. Tapi jari-jariku semakin dingin, dan keringat dingin mulai mengalir di pelipisku.
Lalu, mendadak, motor yang kukendarai mati. Suara mesinnya mendadak lenyap, meninggalkan aku dalam keheningan yang memekakkan telinga. Aku mencoba menyalakan mesin lagi, tapi sia-sia. Motor itu seolah-olah mati total, tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Aku memandangi sekeliling. Pepohonan besar di pinggir jalan tampak lebih gelap dan menyeramkan, seakan-akan menutupiku dalam kegelapan. Napasku mulai tersengal. Ini tidak mungkin, pikirku. Aku sering melewati jalan ini dan tidak pernah terjadi apa-apa.
Perlahan, aku turun dari motor, mencoba memahami situasi. Ponselku? Tentu saja. Aku merogoh saku jaketku dan mengangkatnya, tapi sialnya, tidak ada sinyal. Tangan gemetar, aku menatap layar kosong itu. Sinyal lenyap di tengah kota? Mustahil!
Seketika itu juga, aku mendengar sesuatu dari kejauhan. Suara langkah kaki, pelan tapi jelas mendekat. Mataku terbelalak, mencoba mencari sumber suara. Di ujung jalan yang gelap, samar-samar terlihat sesosok bayangan. Semakin lama, sosok itu semakin jelas.
Seorang kakek tua. Dia mengenakan pakaian pangsi, baju tradisional Sunda. Langkahnya lambat, tertatih-tatih. Sekilas, tak ada yang aneh dari sosoknya. Tapi semakin dia mendekat, semakin terasa ada yang tidak beres. Hawa dingin semakin menusuk, hingga rasanya sulit bernapas. Setiap detik, sosok kakek itu mendekat, membuat dadaku semakin sesak.
Kekakuan tubuhku pecah ketika akhirnya aku melihat wajahnya. Wajah itu... tampak rusak. Kulitnya keriput, tetapi ada sesuatu yang lebih mengerikan. Mata kakek itu, besar dan menonjol keluar, berlumuran darah. Bibirnya yang hitam terbuka, seolah-olah dia hendak mengatakan sesuatu, tapi yang keluar hanya erangan lirih, seperti napas terakhir seseorang sebelum mati.
Rasa takut mencekam tubuhku, membuatku tak bisa bergerak. Aku terpaku, hanya bisa menatap kakek itu yang semakin mendekat, tangannya terjulur ke arahku. Dingin yang luar biasa tiba-tiba melingkupi tubuhku, seperti jiwaku direnggut perlahan.
"Tidak... tidak mungkin...," bisikku, nyaris tak bersuara.
Kakiku akhirnya bisa digerakkan. Tanpa berpikir, aku berlari sekencang-kencangnya. Motor yang mogok kutinggalkan begitu saja. Rasa takut itu terlalu nyata, terlalu mengerikan untuk diabaikan. Suara langkah kakiku menggema di jalanan sepi, tapi erangan pelan kakek itu masih terdengar dari belakang, seolah mengejarku. Keringat dingin mengucur deras, sementara tubuhku mulai lemas.
Berapa lama aku berlari, aku tidak tahu. Rasanya seperti berjam-jam, meski kemungkinan hanya beberapa menit. Tiba-tiba, dari kejauhan, aku melihat cahaya. Dua sosok terlihat berdiri di dekat pintu gerbang kompleks perumahan, mengenakan seragam satpam.
Aku langsung menghampiri mereka. "Pak! Tolong, ada sesuatu... ada kakek...," kataku terengah-engah, suaraku gemetar.
Kedua satpam itu saling berpandangan dengan wajah tegang. Salah satu dari mereka meletakkan tangannya di bahuku, berusaha menenangkanku.
"Kamu baru saja melewati jalan itu, ya?" tanya salah satu satpam.
Aku mengangguk. "Iya... motor saya mogok, lalu ada kakek...," kataku, suaraku pecah oleh rasa takut yang belum hilang.
Satpam yang lebih tua menarik napas panjang. "Banyak yang melapor hal serupa. Kakek itu... bukan manusia."
Aku merasa darah di tubuhku berhenti mengalir. "Maksud bapak...?"
"Kakek yang kamu lihat sudah lama meninggal. Dia sering muncul di jalan itu, mengecoh orang. Banyak yang tersesat, seperti kamu. Ada yang bilang dia dulu adalah korban kecelakaan, dan rohnya tidak bisa pergi."
Jantungku semakin berdegup kencang. Aku memeluk diriku sendiri, tubuhku gemetar. "Lalu... motor saya?"
"Biar kami bantu," kata satpam yang satu lagi. Mereka mengajakku kembali ke tempat motorku mogok. Dengan rasa takut yang masih menyelimuti, aku mengikuti mereka.
Kami sampai di tempat motor, dan anehnya, mesin langsung menyala begitu satpam itu memutarnya. Rasanya terlalu aneh untuk dijelaskan, tapi aku tidak punya waktu untuk berpikir panjang.
"Pergilah cepat, jangan sampai terlalu lama di sini," kata satpam itu lagi, dengan tatapan serius.
Aku mengangguk, langsung menaiki motorku dan melaju. Namun, perasaan mencekam belum juga hilang. Ketika aku melihat kaca spion, samar-samar aku melihat sesuatu di kejauhan, sosok kakek tua dengan mata yang menonjol keluar, berdiri diam di pinggir jalan, menatapku.
Malam itu, aku sadar bahwa kakek itu masih mengikutiÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H