Mohon tunggu...
Ririe aiko
Ririe aiko Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Pengajar dan Ghost Writer

Penulis Poem, Eduparenting, Trip, dan Ghost Story. Sangat Menyukai Traveling dan Dunia Literasi Contact person : erikae940@gmail.com Follow Me : Instagram : Ririe_aiko

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tantangan Menjadi Penulis di Negara dengan Budaya Literasi Rendah

23 Oktober 2024   07:21 Diperbarui: 23 Oktober 2024   07:27 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : galeri pribadi

Menjadi penulis adalah profesi yang penuh tantangan di negara dengan budaya literasi rendah. Di Indonesia, meskipun minat terhadap dunia literasi terus tumbuh, kenyataannya masih banyak penulis yang menghadapi berbagai kendala dalam menekuni profesinya. Salah satunya bisa kita lihat bahwa penulis lebih dijadikan sampingan daripada pekerjaan utama, karena minimnya apresiasi terhadap hasil karya penulis Indonesia yang membuat sebagian memilih untuk beralih profesi atau menjadikan menulis sebagai hobi sampingan. 

Selain itu faktor eksternal pun turut mempengaruhi minimnya honor para penulis, antara lain adalah karena rendahnya minat membaca para generasi muda bangsa. Fenomena nyata yang terjadi di sekitar kita, bahwa generasi muda bangsa lebih tertarik scroll tik tok dan bermain games dibandingkan membaca buku atau artikel yang bermanfaat. Fenomena ini sangat miris, karena fakta semakin rendahnya minat membaca bisa mempengaruhi tingkat kecerdasan seseorang. Seperti peribahasa buku adalah jendela dunia, dengan buku kita bisa mengubah dunia, namun jika asupan generasi bangsa saat ini lebih banyak "seputar joget-joget" bagaimana bisa menghasilkan generasi muda bangsa yang pintar, kritis, cerdas dan berkompeten?

Mari kita tinjau lebih jauh tentang beberapa hal yang melatarbelakangi rendahnya apresiasi terhadap profesi penulis : 

1. Minimnya Kebiasaan Membaca

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi penulis di Indonesia adalah rendahnya kebiasaan membaca masyarakat. Menurut data UNESCO pada 2016, indeks minat baca Indonesia berada pada level 0,001, yang berarti dari 1.000 penduduk, hanya satu orang yang membaca buku secara serius. Hal ini menjadi cerminan nyata betapa rendahnya tingkat minat baca di Indonesia, yang tentu berdampak langsung pada jumlah pembaca karya sastra dan literatur lainnya.

Penulis menghadapi situasi di mana karya-karya mereka tidak mendapatkan apresiasi yang seharusnya karena rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya membaca. Ini menyebabkan pasar buku menjadi kecil, sehingga penulis harus berusaha ekstra keras untuk mendapatkan pembaca yang loyal.

2. Distribusi dan Akses Terbatas terhadap Buku

Tantangan berikutnya adalah keterbatasan distribusi buku, terutama di daerah-daerah terpencil. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kendala geografis yang kompleks, yang berpengaruh pada akses masyarakat terhadap buku. Menurut survei yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada 2020, masih terdapat kesenjangan akses terhadap literatur di banyak wilayah di luar Pulau Jawa.

Penulis yang karyanya diterbitkan secara konvensional sering kali hanya dapat menjangkau pasar di kota-kota besar, sementara masyarakat di daerah terpencil tidak memiliki akses yang memadai untuk mendapatkan buku-buku baru. Hal ini juga berdampak pada potensi pemasaran dan distribusi karya literasi yang dihasilkan oleh penulis Indonesia.

3. Kurangnya Dukungan Pemerintah dan Kebijakan Literasi

Meskipun telah ada beberapa inisiatif dari pemerintah untuk meningkatkan budaya literasi, dukungan yang diberikan kepada penulis masih jauh dari memadai. Program-program seperti Gerakan Literasi Nasional (GLN) sudah mulai menunjukkan hasil, tetapi tantangan besar masih ada di bidang pembinaan penulis dan penerbitan.

Tidak banyak insentif atau kebijakan khusus yang mendukung perkembangan penulis lokal. Sebagian besar penulis harus membiayai penerbitan karya mereka secara mandiri atau melalui penerbit independen yang juga memiliki keterbatasan dalam hal promosi dan distribusi. Selain itu, sedikitnya penghargaan atau kompetisi bergengsi yang dapat memberikan pengakuan dan dorongan bagi penulis membuat profesi ini kurang diminati oleh generasi muda.

4. Persaingan dengan Media Digital

Perkembangan teknologi dan digitalisasi membawa perubahan besar pada dunia literasi. Banyak masyarakat, terutama generasi muda, lebih memilih media digital seperti media sosial, video, dan platform streaming sebagai sumber informasi dan hiburan, ketimbang membaca buku atau karya sastra. Data yang dirilis oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa pada tahun 2021, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 202,6 juta orang, dengan mayoritas menggunakan internet untuk media sosial.

Persaingan dengan media digital ini menambah tantangan bagi penulis dalam menarik minat pembaca. Banyak orang merasa bahwa membaca buku membutuhkan waktu dan konsentrasi yang lebih besar dibandingkan dengan mengakses konten instan yang tersedia di internet. Fenomena ini menyebabkan penurunan daya saing karya sastra dan literatur di kalangan masyarakat umum.

5. Kurangnya Pembinaan bagi Penulis Pemula

Penulis pemula di Indonesia sering kali mengalami kesulitan dalam memulai kariernya. Tidak banyak wadah atau komunitas yang aktif dalam membantu mereka mengembangkan keterampilan menulis, mengedit, dan mempublikasikan karya. Beberapa penulis muda akhirnya memilih jalur self-publishing yang lebih mudah diakses, namun tantangannya tetap besar karena keterbatasan dalam hal promosi dan distribusi.

Menurut sebuah studi yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa dan Sastra Indonesia, hanya 20% penulis baru yang berhasil mempublikasikan karya mereka melalui penerbit besar. Sisanya, terpaksa mengandalkan penerbit kecil atau platform digital dengan potensi pembaca yang masih terbatas.

Meskipun tantangan yang dihadapi penulis di negara dengan budaya literasi rendah seperti Indonesia cukup besar, ada beberapa solusi yang dapat diambil untuk meningkatkan apresiasi terhadap dunia literasi. Pertama, pemerintah perlu meningkatkan program literasi di sekolah-sekolah dan memperluas akses terhadap buku, terutama di daerah-daerah terpencil. Selain itu, dukungan terhadap penulis lokal harus ditingkatkan melalui insentif, pelatihan, dan kompetisi yang dapat mendorong produktivitas mereka.

Kedua, penulis juga perlu beradaptasi dengan perkembangan teknologi dengan memanfaatkan platform digital untuk memperluas jangkauan karya mereka. Dengan memanfaatkan blog, e-book, dan media sosial, penulis dapat menciptakan konten yang lebih mudah diakses dan lebih menarik bagi generasi muda.

Pada akhirnya, masa depan literasi Indonesia tergantung pada kerja sama antara pemerintah, penulis, penerbit, dan masyarakat. Dengan dukungan yang tepat dan perubahan kebijakan yang lebih inklusif, diharapkan profesi penulis dapat terus berkembang dan mendapat tempat yang layak di tengah masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun