Mohon tunggu...
Ririe aiko
Ririe aiko Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Pengajar dan Ghost Writer

Pemenang Sayembara Penulisan FTV Indosiar, Penulis Buku Antalogi KKN (Kuliah Kerja Ngonten) Elex Media, Penulis Eduparenting, Penulis Cerpen Horor @roli.telkomsel dan penggiat puisi esai di Bandung Contact person : erikae940@gmail.com Follow Me : Instagram : Ririe_aiko

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Cianjur dan Bubur di Pagi itu

22 Oktober 2024   13:25 Diperbarui: 22 Oktober 2024   14:02 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Langit masih berbalut kelam ketika aku memutar kunci motor, dan mesin itu berdengung pelan. Sebuah perjalanan melintas di benakku, seperti janji yang telah lama terucap pada diri sendiri: Cianjur. 

Pagi itu, sebelum fajar menyibak gelapnya malam, aku menjejakkan pedal gas dan memulai perjalanan ini. Suara mesin seakan-akan bercengkerama dengan angin, seperti sahabat lama yang sudah mengerti ritme percakapan. Jalanan lengang, hanya bayang-bayang lampu jalan yang menari di aspal, seolah mengantarku menuju petualangan yang telah lama dinanti.


Aku menyusuri jalan-jalan sepi dengan motor yang melaju stabil. Udara dingin menampar wajah, namun tak ada yang lebih memikat dari keindahan yang mulai tergambar di cakrawala. 

Perlahan, kilau keemasan mulai merambati langit. Matahari terbit seperti senyuman alam yang malu-malu muncul di balik awan, memberikan warna jingga pada bukit-bukit yang menjulang di kejauhan. Rasanya, setiap tarikan nafas membawa aroma kebebasan, diiringi getaran halus dari mesin motor yang terus berirama.

Perjalanan ke Cianjur bukan sekadar soal jarak, melainkan perjalanan rasa, sebuah misi personal untuk kembali menapaki jejak kenangan dan menemukan cita rasa yang sudah lama membuat rindu. 

Cianjur, kota kecil yang tenang dengan segala kesederhanaannya, menyimpan kekayaan kuliner yang sudah terpatri di ingatanku. Bubur Ayam Cianjur, dengan kuah kuningnya yang khas, menjadi alasan kuat mengapa perjalanan ini terasa tak bisa ditunda lagi.

Setelah beberapa jam mengarungi jalanan yang berliku dan pepohonan yang seolah ikut bercerita tentang perjalanan panjang ini, akhirnya aku tiba di Cianjur. Aroma khas dari kota ini menyambutku seperti sapaan seorang teman lama. 

Setiap sudut jalan yang kulewati, seolah berbisik bahwa aku telah sampai di rumah, meski kota ini bukanlah tempatku dilahirkan.

Aku menemukan sebuah warung kecil di pinggir jalan, sederhana namun memancarkan kehangatan. Di sinilah, dalam keheningan pagi yang mulai disibukkan oleh keramaian pasar, aku duduk dan memesan seporsi bubur ayam yang terkenal itu. 

Semangkuk bubur hadir di hadapanku, menggoda dengan warna kuah kuning yang begitu cerah. Asap tipis naik perlahan, membawa aroma rempah yang kaya, seolah mengundang indra penciumanku untuk lebih mendalam menikmatinya.

Kuah kuning yang melumuri bubur ini seperti sinar matahari yang menari di atas hamparan pagi. Terbuat dari campuran kaldu ayam yang dimasak dengan bumbu-bumbu tradisional, kuah ini memberikan sentuhan rasa yang lembut, namun sekaligus kaya rempah. 

Tidak terlalu kuat, tapi juga tidak terlalu samar, sebuah harmoni yang sempurna di setiap suapan.

Di atas bubur itu, berbagai toping tersaji, mulai dari irisan ayam yang empuk hingga kerupuk renyah yang memberi tekstur. Namun, yang paling membuat bubur ini begitu istimewa adalah kehadiran sate usus, sate ati ampela, dan sate telur puyuh yang menambah dimensi rasa. 

Gurihnya usus yang lembut, perpaduan kenyal ati ampela, dan tekstur unik telur puyuh seperti melengkapi puzzle rasa dalam mulutku. Setiap gigitan membawa sensasi berbeda, seperti irama yang berubah dalam sebuah simfoni, memberikan kejutan dan kenikmatan di saat bersamaan.

Rasa bubur ini bukan hanya tentang sarapan, melainkan tentang ingatan. Seolah setiap suapan membawa kembali kenangan perjalanan, kehangatan suasana pagi, dan aroma khas Cianjur yang tak pernah terlupakan. 

Ada sesuatu yang magis dalam kesederhanaan bubur ini, sesuatu yang membuatku merasa bahwa meski aku jauh dari rumah, aku menemukan kehangatan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Setelah menyelesaikan mangkuk terakhir, aku duduk sejenak, membiarkan seluruh inderaku tenggelam dalam keheningan kota kecil ini. Cianjur, dengan segala kesederhanaannya, selalu berhasil menambatkan hatiku. 

Tak hanya melalui cita rasa bubur yang luar biasa, tetapi juga dengan pesona alamnya yang memukau. Perjalanan ini seolah mengingatkan bahwa kebahagiaan tak selalu harus ditemukan dalam hal-hal besar. 

Terkadang, ia hadir dalam bentuk semangkuk bubur hangat di pagi hari, ditemani suara motor yang tenang, dan jalan-jalan yang sunyi di bawah langit yang mulai terang.

Aku tahu, suatu hari nanti, aku akan kembali ke sini. Cianjur dan bubur ayamnya telah menjadi bagian dari perjalanan hidupku, sebuah kisah yang selalu ingin ku ulangi. Dan di setiap perjalanan, aku akan selalu menemukan cara baru untuk merasakan keindahan yang sederhana, namun penuh makna. 

Sampai jumpa di cerita perjalananku berikutnya!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun