Langit masih berbalut kelam ketika aku memutar kunci motor, dan mesin itu berdengung pelan. Sebuah perjalanan melintas di benakku, seperti janji yang telah lama terucap pada diri sendiri: Cianjur.Â
Pagi itu, sebelum fajar menyibak gelapnya malam, aku menjejakkan pedal gas dan memulai perjalanan ini. Suara mesin seakan-akan bercengkerama dengan angin, seperti sahabat lama yang sudah mengerti ritme percakapan. Jalanan lengang, hanya bayang-bayang lampu jalan yang menari di aspal, seolah mengantarku menuju petualangan yang telah lama dinanti.
Aku menyusuri jalan-jalan sepi dengan motor yang melaju stabil. Udara dingin menampar wajah, namun tak ada yang lebih memikat dari keindahan yang mulai tergambar di cakrawala.Â
Perlahan, kilau keemasan mulai merambati langit. Matahari terbit seperti senyuman alam yang malu-malu muncul di balik awan, memberikan warna jingga pada bukit-bukit yang menjulang di kejauhan. Rasanya, setiap tarikan nafas membawa aroma kebebasan, diiringi getaran halus dari mesin motor yang terus berirama.
Perjalanan ke Cianjur bukan sekadar soal jarak, melainkan perjalanan rasa, sebuah misi personal untuk kembali menapaki jejak kenangan dan menemukan cita rasa yang sudah lama membuat rindu.Â
Cianjur, kota kecil yang tenang dengan segala kesederhanaannya, menyimpan kekayaan kuliner yang sudah terpatri di ingatanku. Bubur Ayam Cianjur, dengan kuah kuningnya yang khas, menjadi alasan kuat mengapa perjalanan ini terasa tak bisa ditunda lagi.
Setelah beberapa jam mengarungi jalanan yang berliku dan pepohonan yang seolah ikut bercerita tentang perjalanan panjang ini, akhirnya aku tiba di Cianjur. Aroma khas dari kota ini menyambutku seperti sapaan seorang teman lama.Â
Setiap sudut jalan yang kulewati, seolah berbisik bahwa aku telah sampai di rumah, meski kota ini bukanlah tempatku dilahirkan.
Aku menemukan sebuah warung kecil di pinggir jalan, sederhana namun memancarkan kehangatan. Di sinilah, dalam keheningan pagi yang mulai disibukkan oleh keramaian pasar, aku duduk dan memesan seporsi bubur ayam yang terkenal itu.Â
Semangkuk bubur hadir di hadapanku, menggoda dengan warna kuah kuning yang begitu cerah. Asap tipis naik perlahan, membawa aroma rempah yang kaya, seolah mengundang indra penciumanku untuk lebih mendalam menikmatinya.
Kuah kuning yang melumuri bubur ini seperti sinar matahari yang menari di atas hamparan pagi. Terbuat dari campuran kaldu ayam yang dimasak dengan bumbu-bumbu tradisional, kuah ini memberikan sentuhan rasa yang lembut, namun sekaligus kaya rempah.Â