Kebanyakan generasi Millenials terlahir dari pola asuh orangtua yang lebih otoriter, dimana orangtua memiliki kendali penuh terhadap anak.Â
Sehingga cenderung melahirkan generasi yang kedekatan emosionalnya dengan orangtua sangat buruk. Anak tumbuh menjadi pribadi yang acuh, cuek dan tidak berempati pada orangtuanya. Seakan tidak ada kontak batin yang terjalin antar orang tua dan anak.Â
Mengapa bonding antara orangtua dan anak bisa terjalin sangat buruk?Â
Berkaca dari pola pengasuhan yang umumnya masih bersifat tradisional, konservatif, serta tidak bergantung pada teknologi, orangtua zaman dulu menganggap bahwa hubungan yang harus dibentuk antara orangtua dan anak harus bersifat formal, dimana orangtua bersikap seperti "atasan" dan anak seperti "bawahan" yang bisa di kendalikan sesuai arahan orang tua.Â
Anak sejak kecil di asuh dengan gaya parenting otoriter dan kaku. Tidak adanya komunikasi dua arah yang terjalin. Anak diharuskan patuh mengikuti saran orangtua, karena orangtua merasa lebih berpengalaman dalam segala hal.Â
Orangtua selalu beranggapan memiliki kuasa penuh terhadap kehidupan anak karena merasa sudah melahirkan, memberinya kehidupan yang layak dan menyekolahkannya.Â
Dengan anggapan bahwa anak adalah sesuatu yang berada dalam kuasanya, orangtua memegang kendali penuh terhadap kehidupan anak, dari mulai menentukan kariernya sampai kadang terlibat dalam memilih pasangan hidup.Â
Realita ini bisa dibuktikan dengan menjamurnya cerita Film seperti Siti Nurbaya pada zaman itu. Dari cerita film tersebut, kita bisa melihat bahwa pola parenting otoriter sangat dominan pada masa itu.Â
Sebenarnya tidak ada satupun orangtua di dunia ini yang sudah memiliki pengalaman menjadi orang tua, semua orang tua pada awalnya sama, ketika mereka melahirkan anak pertama, mereka tidak tahu bagaimana caranya menjadi orang tua yang baik. Jadi pada dasarnya orang tua pun bisa berbuat salah pada anaknya. Karena itu perlu bagi orang tua menghapus anggapan bahwa orang tua selalu benar dan anak selalu salah.Â
Dominasi budaya parenting otoriter tersebut, memang sudah mengakar kuat di masyarakat  sejak dulu dan diturunkan dari generasi ke generasi, sehingga tidak ada perubahan pola pengasuhan.Â
Anak-anak mungkin tumbuh menjadi anak yang sukses, berpangkat tinggi, tapi bonding antara orang tua dan anak tidak terjalin dengan baik, contoh sederhananya setelah dewasa dan berkeluarga, anak cenderung malas bertemu orang tuanya.Â
Bukan hanya untuk mengunjungi orangtua, tapi bahkan untuk sekedar menelpon dan bertanya kabar saja, anak cenderung bersikap acuh dan tidak peduli.Â
Mengapa anak bisa bersikap demikian? Mengapa anak seolah tidak memiliki kedekatan emosional yang membuatnya rindu pada orang tuanya?Â
Perlu adanya evaluasi dari pola parenting yang diterapkan pada anak sejak dulu. Jangan hanya menyalahkan faktor lingkungan, karena berdasarkan penelitian, tujuh puluh persen karakter anak itu terbentuk dari keluarga.Â
Anak yang memiliki bonding yang baik dengan orang tuanya, tidak akan mudah terpengaruh oleh lingkungan. Karena ia akan merasa 'Tong kasih sayangnya terpenuhi di rumah" sehingga ia tidak akan berpikiran negatif, apalagi sampai menyakiti kedua orang tuanya. Â Â
Perlu dicatat bahwa anak tidak hanya butuh di beri MATERI tapi ia juga butuh peran orang tuanya ADA. Bukan menjadi orang tua yang sempurna, tapi belajar menjadi orang tua yang baik. Menerima segala kekurangan dan kelebihan anak, serta mau menjalin komunikasi yang baik sejak dini. Seperti halnya orang tua, anak juga ingin didengarkan, divalidasi dan dihormati haknya. Meski di mata orang tua, anak selalu terlihat kekanak-kanakan, tapi sebenarnya ia juga punya hak atas kehidupan dan pilihannya. Tugas orang tua mengarahkan, memberikan pandangan dan bukan memegang kendali sepenuhnya.Â
Waktu yang sudah berlalu tidak bisa kita ulang. Luka dari dampak parenting buruk yang pernah diterapkan oleh orang tua kita sebelumnya, tidak akan pernah bisa kita perbaiki lagi.Â
Tapi satu hal yang masih bisa kita rubah adalah mencoba untuk memutus mata rantai dan belajar menjadi orang tua yang lebih baik lagi dari generasi kita sebelumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H