Fenomena Bullying yang banyak terjadi kian menjadi masalah krusial yang semakin dibiarkan semakin merajalela. Bahkan kasus kekerasan verbal dan non verbal yang kini terjadi, tak hanya dikalangan Sekolah Menengah Atas ini, tapi juga sudah banyak mewabah dikalangan Sekolah Dasar.Â
Dari data yang diperoleh pada tahun 2020 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah menerima aduan dari 119 anak yang menjadi korban bullying disekolahnya. Jumlah ini melonjak dari tahun-tahun sebelumnya yang hanya berkisar 30-60 kasus pertahun.Â
Dipertengahan tahun 2022 publik juga dikejutkan dengan berita perundungan yang terjadi di Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya. Dimana pelaku dan korban perundungan masih sama-sama duduk dibangku Sekolah Dasar. Â Mirisnya, kejadian tersebut menyebabkan korban depresi sampai harus kehilangan nyawa.Â
Ironisnya, kejadian yang berakhir tragis itu, seakan tak menjadi cambuk bagi semua pihak, lagi-lagi publik dikejutkan kembali dengan kasus perundungan yang sempat viral di media sosial beberapa hari lalu. Seorang siswa SMP di Kota Bandung dipakaikan helm, kemudian ditendang hingga akhirnya tidak sadarkan diri. Gambaran kasus kasus tersebut, hanya sebagian kecil kasus yang mencuat ke media. Realitanya kasus serupa tentu lebih banyak terjadi dilapangan. Â Â
Menurut Pakar Psikologi Anak, Universitas Negeri Surabaya, Riza Noviana Khoirunnisa, anak-anak yang menjadi korban bullying disekolah banyak yang tidak berani melapor. Alasannya beragam, mulai dari takut, malu hingga diancam oleh pelaku.Â
Menurut Riza, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab bullying, namun yang paling disoroti adalah faktor ketidakseimbangan antara pelaku dan korban. Ketidakseimbangan itu bisa berupa ukuran badan, fisik, kepandaian, komunikasi, gender hingga status sosial. Adanya penyalahgunaan ketidakseimbangan itu, menjadi alasan pelaku untuk menganggu dan mengucilkan korban.Â
Bullying mungkin tampak seperti hanya guyonan semata kepada anak-anak. Sehingga bagi sebagian orang menganggap hal tersebut tak perlu dibesar-besarkan, apalagi mengingat pelaku bullying yang dinilai masih berusia anak-anak. Dengan sanksi yang hanya berupa teguran ringan dengan dalih ungkapan seperti:Â
"Maklumi saja namanya juga anak-anak" "Biarkan saja wajar dengan temannya! Nanti juga berbaikan lagi!"   Â
Ungkapan yang terdengar sederhana, namun bisa berdampak fatal.Â
Dengan kita menganggap 'biasa' perlakuan ejekan, atau sikap kasar anak-anak terhadap temannya, hanya karena ia masih kecil, kita justru sudah membiarkan si pelaku melakukan tindakan salah berulang. Ia akan merasa tindakannya dibenarkan. Sehingga memungkinnya melakukan kesalahan berulang-ulang. Anak-anak mungkin masih dalam tahap belajar, tapi bukan berarti semua kesalahannya harus dibenarkan. Â Jika si anak berbuat salah, ia tetap harus diberi sanksi dari setiap kesalahannya. Sanksi yang dimaksud bukan berarti tindakan kasar secara fisik. Tapi sanksi yang disesuaikan dengan besar kecil kesalahan yang diperbuatnya. Agar si anak merasa jera dan paham konsekuensi dari perbuatannya.Â