Kakiku gemetar, ingin rasanya aku lari sekencangnya. Â Tapi aku tak bisa melangkah. Hanya bisa mundur pelan-pelan dengan keringat dingin yang mengucur dipelipisku.Â
Aku mencoba berteriak sekencangnya. Berharap ada seseorang yang menemukanku. Tapi rasanya percuma suaraku tak bisa keluar.Â
Makluk bertubuh tinggi besar itu berjalan mendekatiku. Ia mengulurkan tangannya yang hitam pekat ke arahku. Aku semakin ketakutan. Sekuat tenaga aku berusaha bangkit, sampai akhirnya aku bisa berdiri dan memaksakan tubuhku untuk berlari sekencangnya.Â
Aku Sudah berusaha teriak sekerasnya, tapi nyatanya tak sepatah kata pun mampu aku ucapkan. Aku terus berusaha mencari cara untuk menjauh dari hutan bambu itu. Tapi anehnya semua jalan yang kulewati tetap sama. Aku merasa tak menemukkan jalan keluar. Sampai aku merasa benar-benar lelah dan tak berdaya. Pandanganku mulai kabur, tubuhku melemas. Rasanya aku sudah tak sanggup lagi. Aku terus berlari ditempat yang sama. Aku mulai tak punya tenaga lagi. Sampai sebelum aku menutup mata, kulihat sosok anak kecil yang sama yang kutemui saat dalam perjalanan.Â
"To...long.... to...long" aku lelah dan tak sanggup lagi.Â
***
"Bun, bunda...." kudengar suara ricuh disekitarku. Ku buka mata perlahan. Rasanya berat sekali. Tubuhku rasanya sangat lemas. Tampak dihadapanku, Â Andi, Suamiku. Ia terlihat panik.Â
"Dokter... dokter istri saya sudah sadar!"
'Dimana ini'Â Mataku langsung menatap sekeliling, tampak tirai putih dan beberapa peralatan yang biasa ada di rumah sakit. Aku menggerakkan tanganku yang dipasang jarum infus. Aku mencoba mengingat kembali semua kejadian. Tapi rasanya aku terlalu lelah.Â
Seorang dokter mendekat ke arahku dan memeriksa kondisiku.Â
"Bu bisa melihat tangan saya?" Dokter itu melambaikan tangannya kehadapan wajahku. Aku mencoba menjawab, tapi entah kenapa suara tidak bisa keluar dari mulutku. Aku hanya bisa mengedipkan mata. Lalu tak lama kemudian dokter itu menyuntikkan sesuatu dan aku pun terlelap.Â