Peran sebagai orangtua bukanlah hal yang mudah, tak hanya perbekalan materi yang harus cukup untuk memenuhi  segala kebutuhan si anak di masa depan tapi kita juga butuh ilmu untuk bisa membentuk generasi baru yang memiliki kecerdasaan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) yang baik.
Kita tidak bisa menyerahkan seratus persen pendidikan anak pada sekolah 'mahal' yang dinilai dapat memberikan pengajaran lebih bagus untuk si anak. Â Karena pada dasarnya sekolah paling baik itu adalah di rumah. Contoh nyata yang sering kita temukan adalah adanya anak yang nakal, berperilaku kasar, suka membully dan lain-lain, padahal ia disekolahkan di sekolah agama yang terkenal bagus dengan pendidikan norma dan etikanya. Mengapa bisa demikian?
Hal yang naif jika kita hanya bisa menyalahkan perilaku buruk yang dimiliki anak berasal dari sekolah dan pergaulan yang tidak beres. Padahal sekolah dan lingkungan hanya berperan dalam proses perkembangan anak, sedangkan anak tumbuh menjadi bodoh, nakal  atau pemberang itu justru terletak dari bagaimana peran orang tua dalam memberikan awal kehidupan yang baik untuk si kecil. Kehidupan awal yang berperan sangat penting dalam perkembangan anak dimulai pada usia 0-6 tahun.  Anak-anak di usia ini disebut dengan golden age, karena memiliki ingatan yang luar biasa, dan apapun memory yang didapatkan di kurun usia ini akan menjadi kenangannya seumur hidup.
Jika anak mengenang orangtua sebagai sosok pemarah, kasar, dan suka memukulnya kala melakukan kesalahan, maka ia pun akan merekam hal itu dalam memory di otaknya, secara tidak sadar kita pun sudah menanamkan pengajaran emosianal yang buruk pada anak, dimana anak akan tumbuh dengan watak pemarah, suka bersikap kasar dan tidak mentoleransi siapapun yang berbuat salah padanya. Begitupun sebaliknya jika anak mengenang kita sebagai sosok yang lembut, santun  dan pemaaf maka dalam pikirannya hal tersebut akan terekam dan menerap dalam kepribadiannya di masa depan. Dimana ia pun akan tumbuh dengan karakter yang lembut, santun dan pemaaf. Â
Seorang Psikolog Elly Risman mengungkapkan "Jagalah lisan anda memarahi anak, karena anak tidak tahu kalau apa yang ia lakukan itu kesalahan, otaknya belum punya konsep seperti itu, hal terparah jika orang tua terus mengumbar kata-kata kasar kepada anak saat marah, maka cadangan "maaf' dalam otak dan hatinya akan hilang.Â
Sebuah penelitian yang melibatkan ratusan anak-anak di Universitas New Hampshire Amerika Serikat menunjukkan, anak yang sering mendapat pukulan, cenderung memiliki tingkat IQ yang rendah. Anak-anak yang sering dipukul orang tua, juga akan mendapat pengalaman traumatis yang dapat menekan otak secara negatif. Trauma itu bisa menyebabkan anak-anak mengalami stres saat menghadapi situasi sulit, dan kemampuan kognitifnya juga tidak bekerja dengan baik. Dengan memukul, orangtua memberikan hukuman agar anak memerhatikan dan berperilaku sesuai keinginan orangtua. Tapi hal ini tidak akan merangsang anak untuk berpikir secara mandiri, sehingga mencegah anak untuk menemukan solusi terbaik dari masalah yang ia hadapi secara mandiri. Karena anak akan cenderung berperilaku baik hanya untuk menghindari pukulan.
Laporan UNICEF tahun 2014 menyatakan bahwa 80% orangtua di seluruh dunia melakukan pemukulan sebagai cara untuk mendisiplinkan anak.
Para peneliti juga telah melihat berbagai macam studi yang menunjukkan bahwa pemukulan seperti ini menghasilkan banyak dampak negatif, beberapa diantaranya adalah:
1. Menciptakan Tradisi Kekerasan Berulang.
Anak-anak yang terbiasa dipukul di masa kecilnya cenderung akan melakukan hal yang sama pada anaknya nanti. Dalam mindset nya akan tertanam ajaran orang tuanya bahwa mendisiplinkan anak itu harus dilakukan dengan cara kekerasan, sehingga pola ajaran buruk ini akan terus berlanjut pada generasi berikutnya jika tidak segera di ubah.
2. Nilai diri anak menjadi rendah
Seandainya kita dititipi seorang anak presiden, apa yang akan kita lakukan? Tentu kita akan menjaganya dengan amat sangat hati-hati dan akan memperlakukannya dengan amat sangat baik. Â Kita tidak akan berani mengatakan hal-hal yang buruk apalagi bersikap kasar padanya, karena tahu betapa tinggi jabatan orang yang menitipkannya. Lalu bagaimana dengan anak kita? Anak yang dititipkan tuhan pada kita? Bukankah ia dititipkan oleh Tuhan yang kedudukannya tidak bisa dibandingkan oleh manusia manapun? Bukankah seharusnya ia lebih dijaga dan diperlakukan dengan sangat baik tanpa merendahkan nilai dirinya?
3. Mengikis empati anak pada orang tua di masa depan
Anak yang sering dipukul akan cenderung mengingat orang tuanya sebagai sosok yang pemarah, kasar dan emosional. Ikatan kasih sayang yang seharusnya tumbuh antara orang tua dan anak justru akan semakin terkikis, rasa kebencian akan tumbuh dalam diri si anak pada orang tua. Sehingga saat dewasa rasa empati anak pada orang tua tidak akan tumbuh seperti semestinya. Ia akan cenderung menjadi anak yang pembangkang dan tidak peduli pada orang tuanya. Ingatlah bahwa buruknya perlakuan orang tua di masa lalu akan berdampak pada buruknya perlakuan anak di masa depan.
4. Memicu kasus KDRT yang lebih buruk
Seperti kita tahu, ungkapan bahwa anak kecil semakin dilarang semakin dilakukan. Apabila setiap kesalahan yang diperbuat anak diberi hukuman kekerasan, berapa banyak kekerasan yang akan Anda lakukan padanya karena tidak patuh? Orangtua yang tidak tahu cara lain membuat anak menjadi patuh, akhirnya akan jatuh pada kebiasaan menghukum dengan kekerasan. Awalnya hanya membentak, lalu tamparan di tangan, lalu pukulan di bokong. Hingga sabetan penggaris di punggung. Semua kekerasan itu akan menjadi kebiasaan yang semakin memburuk jika tidak segera dihentikan.
5. Memukul Tidak akan Membuatnya Disiplin
Beberapa orang tua memukul anaknya sebagai tindakan untuk kedisiplinan, tanpa disadari bahwa mindset seperti ini salah. Anak-anak tidak akan menjadi disiplin dengan dipukul, mungkin sesaat setelah dipukul ia akan terlihat seolah mengerti dengan konsep kedisiplinan yang anda ajarkan, namun tak lama kemudian ia akan mengulangi kembali kesalahan yang serupa. Anak yang terbiasa dipukul akan tumbuh menjadi anak yang pembangkang, egois dan antisosial. Dia juga bisa melegalkan kekerasan dalam mengungkapkan emosi saat menjadi remaja dan dewasa. Kebanyakan pelaku kriminal adalah mereka yang menerima kekerasan berlebihan di masa kecil dalam bentuk pendisiplinan. Temukan cara lain untuk memberikan kedisiplinan yang baik tanpa harus menghukum dengan kekerasan.
6. Kenangan Buruk Tentang Orangtua
Masa kecil akan direkam anak seumur hidupnya, jika yang terekam olehnya adalah kenangan buruk tentang perilaku kasar orang tua padanya, maka dalam dirinya pun akan selalu ada kebencian pada perilaku tersebut. Anak-anak akan mengenang masa kecilnya sebagai hal buruk yang traumatis. Padahal seharusnya masa kecil adalah moment paling indah yang ada dalam ingatannya. Kenangan buruk saat dihukum orangtua, akan menutupi kenangan indah yang ia miliki. Terutama, jika kenangan indah tersebut hanya sedikit. Hal ini karena kecenderungan otak manusia untuk mengingat hal yang buruk dibandingkan hal yang baik.
Jika anda adalah orang tua yang pernah atau sering memukul anak, berhentilah saat ini juga dan mulailah hapus kenangan buruk dari perilaku anda. Segeralah peluk, cium, dan katakan maaf padanya dengan tulus. Mungkin wajah polosnya akan nampak tidak peduli dengan apa yang anda katakan, namun memory dalam dirinya akan mengingat semua ketulusan anda untuk berubah menjadi orang tua yang lebih baik. Hapuslah semua kenangan buruk itu dengan berbagai kenangan manis yang baru di masa depan.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H