Mohon tunggu...
ERICK JEHAMAN
ERICK JEHAMAN Mohon Tunggu... Mahasiswa - belajar menjalani hidup.

Mahasiswa Filsafat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Makna Religius Torok

7 April 2021   17:42 Diperbarui: 22 April 2021   09:25 2294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan 

Identitas sebuah suku terletak pada kekhasan dan keunikan dari kebudayaannya. Kebudayaan dalam setiap suku dalam hal ini merupakan ungkapan atau cetusan dari eksistensi masyarakat atau anggota suku tertentu. Cetusan atau ungkapan itu lahir dari relasi anggota suku dengan yang lain di sekitarnya. Yang lain yang saya maksud di sini bukan hanya sesama manusia tetapi juga segenap apa yang ada dan sejauh ada di muka bumi ini. 

Relasi dengan demikian mengandaikan adanya perjumpaan. Sebagai produk dari relasi yang mengandaikan adanya perjumpaan kebudayaan dalam hal ini dapat diartikan sebagai produk dari beberapa pengalaman manusia. Di sini saya tidak bermaksud membuat definisi dari kebudayaan (secara etimologis) melainkan mencoba merefleksikannya dengan melihat proses munculnya suatu budaya.

Dalam tulisan ini, penulis hendak merefleksikan makna religius dari tradisi torok dalam masyarakat Manggarai. Tradisi torok dalam masyarakat Manggarai sebenarnya dilakukan pada pada beberapa kesempatan dan karenanya memiliki beberapa nama, misalnya pada saat teing hang (memberi persembahan kepada leluhur), sebelum ako woja (sebelum mengetam padi), buka lingko (membuka ladang) dan weri wini (menanam benih) serta dalam perayaan ekaristi. Akan tetapi dalam tulisan ini penulis hanya membahas tradisi torok yang sering dilakukan dalam perayaan Ekaristi.

Pengertian Torok

adat-penti-6080de9bd541df351c3511b2.jpg
adat-penti-6080de9bd541df351c3511b2.jpg
Kesadaran orang Manggarai akan adanya yang tertinggi berangkat dari pengalaman perjumpaan dengan segala yang lain di sekitarnya. Yang lain di sini tidak hanya manusia dengan manusia, melainkan juga dengan makhluk hidup lainnya bahkan benda mati. Bagi orang Manggarai apa yang ada selalu memiliki asal dan tujuannya. Apa yang ada selalu memiliki penciptanya. Orang Manggarai kemudian menyebut yang tertinggi itu sebagai Mori Kraeng.

Berikut ini penulis akan mengutip sebuah pengalaman yang diungkapkan dalam sastra orang Manggarai akan adanya yang tertinggi yang dirangkum oleh Jilis A.J. Verheijen sebagaimana yang dikutip oleh Pius Pandor;  "ho'op tara pecing lite te mangan Mori Kraeng ta, kelaeng, ai tenang one mai rud ho'op itey-e. Kirang ngance wi te wuli walit ite ho'o, eme toe manga Mori Kraeng ko?. Liong tara manga hul naid ite, eme toe manga Mori Kraeng?. Liong kali dedek ite, eme toe le morin? Liong kali tinud ite eme toe le morin?.. Itu tara nggo'on tenang nai dite: toe te toe manga motin, manga!" (inilah sebabnya kita mengetahui bahwa ada Mori Kraeng, hai anakku, karena dari diri kita sendiri dapat kita memikirkannya. Dapatkah kiranya kita bergerak di sini (ke mana-mana) andaikan tidak ada Mori Kraeng?. Dengan kuasa siapakah kiranya kita dapat bernapas, seandainya tidak ada Mori Kraeng?. Oleh siapakah gerangan kita dibentuk (diciptakan) kalau tidak ada Mori Kraeng? Oleh siapakah hidup kita terselenggara, kalau bukan oleh Morin? Oleh siapakah kiranya segala makhluk (hewan) memperoleh hidup kalau bukan oleh Morin?. Maka oleh karena itu tidak boleh tidak, Morin itu ada, dia memang ada).

Ungkapan tersebut merupakan sebuah pengakuan dan kesadaran akan adanya yang tertinggi, yang disebut Mori Kraeng. Dari pengakuan tersebut dapat ditemukan bahwa bagi orang Manggarai Mori Kraeng merupakan pencipta, pemberi kehidupan, pemberi napas, pengatur gerak, pemelihara alam.( Pius Pandor 2015: 96-97). 

kesadaran akan adanya Mori Kraeng sebagai pencipta, pemberi kehidupan, pemberi napas, pengatur gerak, pemelihara alam mendorong orang Manggarai untuk selalu menyampaikan terima kasih, syukur kepada Mori Kraeng.

Ungkapan terima kasih dan syukur itu biasanya disebut torok,yaitu ungkapan terima kasih dan syukur tersusun dalam syair-syair indah untuk menyatakan maksud-maksud tertentu dan ditujukan kepada wujud tertinggi (Kanisius Teobaldus Deki, , 2011: 183). Torok juga dapat berisi doa-doa permohonan, misalnya mohon berkat untuk usaha, kebun baru dan kesehatan.

Torok selalu disampaikan dalam konteks upacara adat, suasana sakral dan penutur merupakan repersentan dari yang hadir. (Kanisius Teobaldus Deki,  2011: 183). Kenyataan ini kemudian membuat torok bisa diterima dalam liturgi gereja. Dalam perayaan Ekaristi biasanya torok disampaikan ketika membawa persembahan, yakni sebelum persembahan itu diserahkan kepada imam.

Makna Religius

maxresdefault-6080dea9d541df3c25118152.jpg
maxresdefault-6080dea9d541df3c25118152.jpg
Orang Manggarai sadar dan mengakui bahwa keberadaan Mori Kraenglah yang memungkinkan manusia ada, bernafas, bergerak. Mori Kraenglah yang memelihara hidup mereka. 

Orang Manggarai juga percaya bahwa Mori Kraenglah yang menciptakan segala yang ada di sekitar mereka yang dapat menunjang kelangsungan hidup mereka. Selain itu mereka juga percaya bahwa bahwa usaha mereka dapat membuahkan hasil apabila Mori Kraeng merestunya dengan memberikan berkat atas usaha tersebut.

Berangkat dari kesadaran tersebut orang Manggarai kemudian mengakui hal itu dengan cara mereka sendiri yaitu torok. Dalam torok mereka mengungkapkan isi hati mereka yaitu ungkapan terima kasih, syukur dan dapat berisi doa-doa permohonan kepada Mori Kraeng. 

Untaian kata-kata dalam torok sendiri mengindikasikan bahwa mereka sadar akan adanya Mori Kraeng yang menyelenggarakan hidup mereka serta yang menjadi awal dan tujuan dari hidup mereka.

Pengakuan tersebutlah yang membuat tradisi torok ini masuk dalam gereja (liturgi). Hemat penulis gereja lokal melihat bahwa benih-benih atau unsur-unsur yang baik dari tradisi ini yang dapat memberikan sumbangan kepada gereja lokal, terutama agar iman katolik bisa merangkul dan menyentuh eksistensi dari manusia Manggarai. 

Orang Manggarai mengakui Tuhan sebagai pencipta, penyelenggara hidup manusia dan kemudian mereka ungkapkan itu dalam tradisi torok, tidak berbenturan dengan ajaran gereja yang mengakui Tuhan sebagai pencipta dan sudah menjadi kebutuhan bagi gereja untuk melambungkan pujian kepada Tuhan melalui liturgi gereja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun