Aroma asap kerap tercium ketika penulis melintasi sebuah rumah pada sore hari sewaktu pulang kerja. Asap itu tidak hanya menganggu indra penciuman, pandangan para pengendara juga terganggu karena asap tersebut berasal dari tumpukan sampah yang dibakar di pinggir jalan.Â
Bakar-bakar sampah memang masih menjadi fenomena yang lazim di Indonesia, terutama di daerah pinggiran kota dan pedesaan. Aktivitas membakar sampah masih dianggap "tidak masalah" karena jumlah sampah yang dibakar jumlahnya sedikit. "Daripada dibuang ke kali atau dibuang sembarang, lebih baik sampah itu dibakar saja," demikian jawaban salah satu tetangga pada sebuah diskusi di pos ronda.
Benar juga, sesaat setelah mendengar jawaban itu penulis pun berpikir demikian. Namun, beberapa menit kemudian penulis teringat dengan jejak karbon di bumi yang jumlahnya sudah luar biasa banyak. Meskipun sampah yang dibakar di level rumah tangga tersebut tidak termasuk limbah berbahaya, ketika dibakar tetap menghasilkan emisi karbon dioksida. Kawasan pemukiman yang tampak bersih dari sampah belum tentu bersih, karena kebersihan ini dijaga dengan membakar sampah sehingga mencemari udara. Fenomena ini masih terjadi di banyak tempat di Indonesia.Â
Emisi karbon hasil pembakaran sampah rumah tangga memang tidak sebesar polusi yang dihasilkan oleh industri dan kendaraan bermotor. Namun, pembakaran sampah yang dilakukan di banyak tempat dan terjadi setiap hari, berpotensi mengganggu komitmen Net-Zero Emissions.
Net-Zero Emissions merupakan komitmen negara-negara yang meratifikasi Paris Agreement pada tahun 2015. Negara-negara tersebut, sepakat untuk mewujudkan kondisi Net-Zero Emissions pada tahun 2050. Indonesia termasuk salah satu negara yang meratifikasi Paris Agreement menargetkan kondisi Net-Zero Emissions terwujud pada tahun 2060.
Kondisi Net-Zero Emissions terjadi ketika jumlah emisi karbon dioksida yang dihasilkan oleh aktivitas manusia, sama dengan jumlah karbon yang terserap oleh alam. Penyerapan karbon dioksida oleh alam dapat terjadi melalui proses fotosintesa pada tanaman. Supaya penyerapan secara alami ini berjalan dengan baik, dibutuhkan komitmen yang kuat untuk menanam kembali hutan dan mencegah pembalakan liar.
Cara lain untuk menyerap karbon adalah dengan menggunakan peralatan penyerap yang akan memasukkan karbon dioksida ke dalam tempat penyimpanan. Sistem penyerapan dan penyimpanan karbon dioksida ini disebut dengan Direct Air Capture And Storage (DACS). Sebagaimana dilansir oleh lembaga riset nirlaba bernama World Resources Institute (WRI), karbon dioksida dapat disimpan di dalam struktur geologi perut bumi (Wri.org, 17 September 2019). Apakah baik atau buruk efek yang akan ditimbulkan dari sistem DACS? Kita tunggu hasil penelitian lanjutan.
Proses untuk menuju kondisi Net-Zero Emissions membutuhkan banyak sumber daya, seperti sumber daya manusia yang unggul, teknologi tinggi, dan sumber pendanaan yang kuat. Oleh karena itu, proses menuju Net-Zero Emissions harus dijalankan oleh pemerintah negara, termasuk pemerintah Republik Indonesia. Sebab, negara memiliki kekuatan untuk mendatangkan ketiga sumber daya tersebut. Lantas, apa yang dapat diperbuat oleh masyarakat untuk mewujudkan kondisi Net-Zero Emissions?
Stop Pembakaran Sampah!
Salah satu cara paling mudah yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk membantu pemerintah mewujudkan kondisi Net-Zero Emissions adalah dengan tidak membakar sampah rumah tangga. Aktivitas pembakaran sampah harus dihentikan, karena ada cara lain yang lebih bijak untuk mengelola sampah. Selain itu, "stop pembakaran sampah" dapat dilakukan oleh semua lapisan masyarakat.
Sampah dapat didaur ulang menjadi bahan yang lebih bermanfaat, seperti sampah plastik yang dapat diolah kembali menjadi berbagai macam produk. Sampah organik juga dapat diolah menjadi kompos yang bermanfaat untuk pertanian. Proses daur ulang sampah ada yang dapat dilakukan secara perorangan, atau melalui komunitas daur ulang sampah. Ada juga yang memerlukan bantuan pabrik pengolah sampah. Salah satu contoh daur ulang sampah yang dapat dilakukan oleh perorangan adalah pembuatan kompos dari sampah organik.
Daur ulang sampah diawali dengan pemilahan sampah daur ulang, sampah organik, sampah guna ulang, sampah residu dan B3 (bahan berbahaya dan beracun). Proses pemilahan sampah ini terkadang mengalami kendala, yaitu ketidakmampuan membedakan jenis sampah, atau bisa juga disebabkan oleh kemalasan memilah sampah. Penyuluhan dan sosialisasi cara mendaur ulang sampah kepada masyarakat telah dilakukan berulang kali. Namun, beberapa hari setelah penyuluhan, proses daur ulang sampah yang diajarkan akan dilupakan, karena sibuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Cara yang umum digunakan di desa-desa adalah dengan menunjuk beberapa warga menjadi kader pengelola sampah yang akan bekerja di lembaga milik pemerintah desa, seperti bank sampah. Program bank sampah ini harus dijalankan oleh kader-kader yang berdedikasi tinggi. Sebab, sumber daya manusia yang tidak siap justru akan membuat bank sampah tersebut terbengkalai. Hal ini pernah terjadi pada bank sampah yang terbengkalai di desa Talang Ubi Selatan, Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2017 (Tribunnews.com, 12 Juli 2017).
Target pencapaian Net-Zero Emissions di Indonesia memang masih lama, sekitar 40 tahun lagi. Tetapi jika kesadaran masyarakat dan pemerintah Indonesia tidak tumbuh dari sekarang, capaian Net-Zero Emissions di Indonesia mungkin akan mundur 100 tahun lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H