Mohon tunggu...
Erik
Erik Mohon Tunggu... Editor - Penulis

tinggal di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berkarya Supaya Membaca untuk "Junior Blogger"

13 Oktober 2017   09:19 Diperbarui: 13 Oktober 2017   09:23 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat berkunjung ke perpustakaan sebagian besar anak-anak sekolah tidak terlalu peduli dengan buku. Anak-anak itu justru sibuk dengan aktivitas bermain dan bersendau-gurau. Itu semua karena rendahnya keinginan untuk membuka buku. Tidak terbiasa membaca, itulah penyebab anak-anak enggan membaca buku. Meskipun buku-buku itu sudah diberi gambar. Bahkan komik pun tidak semua anak suka membacanya. Tapi kalo sudah gambar bergerak di TV atau di gadget, anak-anak betah menyimak dalam waktu yang lama.

Kita bisa saksikan sendiri jika anak-anak disuruh membaca buku, pasti akan mudah mengantuk. Tetapi jika menonton tv atau bermain game, betah sampai malam. Di dunia modern ini, sejak kecil kita memang terbiasa menonton, dan juga ditonton.

Ada semacam tekanan yang mendorong anak-anak bermain game dan menonton TV. Dituliskan kata tekanan di sini, karena terkait dengan permasalahan yang terjadi di sekitar anak-anak itu. Jenuh atas permasalahan yang ada di sekitarnya (masalah keluarga, tugas sekolah, dll.), membuat game dan TV menjadi pelarian yang sempurna.

Membaca membutuhkan kerja otak yang kadang melelahkan. Bandingkan dengan acara hiburan di TV, yang isinya senda gurau. Begitu juga dengan bermain game, hanya bersenang-senang dengan trial and error. Coba-coba, jika gagal permainan bisa diulangi lagi.

Kesempatan untuk mencoba-coba inilah yang membuatnya terasa menyenangkan dan menantang. Sedangkan jika berhadapan dengan buku, kita cenderung serius dan harus menjawab dengan benar. Jika salah menjawab akan mendapatkan cap sebagai anak bodoh, lambat berpikir, dan sebagainya.

Sebagian besar dari kita, tidak suka membaca, karena sejak kecil kita merasakan betapa jenuhnya kita saat membaca buku. Jenuh karena pikiran kita mengidentifikasi buku sebagai bagian dari pelajaran di sekolah dan soal-soal yang harus dijawab dengan benar. Apa yang kita lihat di saat kecil, ternyata meresap dan terikat kuat di dalam pikiran kita hingga dewasa.

Budaya literasi di Nusantara

Sebuah survey Most Littered Nation In the World yang dilakukan oleh Connecticut State Univesity di tahun 2016, menunjukkan bahwa minat baca Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara (Kompas.com, 29/08/2016). Peringkat ini sangat rendah, untuk seukuran bangsa Indonesia yang besar. Ada yang bilang hal ini wajar terjadi di Indonesia, sebab masyarakat Indonesia terbiasa dengan budaya bertutur. Melihat banyaknya cerita rakyat tidak tertulis di tengah-tengah masyarakat, pernyataan tersebut ada benarnya juga.

Namun, jika kita lihat banyaknya, kitab-kitab kuno yang lahir di tanah Nusantara (Sutasoma, Negarakretagama, dll), rasanya selain sebagai bangsa penutur, kita juga dilahirkan sebagai bangsa yang berjaya dalam dunia literasi (membaca dan menulis). Membaca tidak bisa lepas dari kegiatan menulis. Seorang yang sedang menulis, selalu membutuhkan bacaan untuk membantu pikirannya mengeluarkan gagasan.

Budaya literasi, sebenarnya telah hadir dan mengakar kuat di tengah masyarakat Indonesia sejak dulu kala. Namun, sejak datangnya penjajahan, budaya tersebut mengalami kemunduran. Di masa penjajahan, rakyat di nusantara ini, sangat sibuk dengan urusan perut. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan, selain mencari nafkah untuk bertahan hidup. Membaca dan menulis di waktu itu, hanya untuk kompeni dan ningrat saja.

Sampai saat ini, membaca dan menulis tetap kalah dengan perkara perut. Orang-orang sibuk dengan berbagai macam daya upaya untuk memenangkan persaingan memenuhi kebutuhan hidup. Di tambah dengan banyaknya acara hiburan di televisi, yang menjejali otak anak-anak kita dengan senda gurau setiap pagi, siang, dan malam, tanpa ada batasan. Akibatnya budaya literasi menjadi tidak diperhatikan lagi dan dianggap tidak penting. Bahkan budaya bertutur pun mulai digusur oleh budaya "cengengesan".

Lebih memprihatinkan lagi, literasi bukan aktivitas favorit bagi sebagian besar siswa sekolah. Seharusnya, membaca dan menulis menjadi kebiasaan bagi pelajar mulai dari tingkat sekolah dasar (SD). Sebab aktivitasnya tak bisa dilepaskan dari belajar dan belajar sendiri tidak bisa dilepaskan dari aktivitas membaca. Membaca menjadi tidak menyenangkan karena tidak ada aktivitas trial and error seperti bermain game.

Berkarya sejak dini supaya membaca

Dunia pendidikan sejak dulu telah mengenal istilah learning by doing. Belajar sambil mengerjakan sesuatu hal, sehingga tidak membosankan. Sebab saat membaca, organ tubuh yang lebih banyak beraktivitas adalah otak. Kerja otak lebih melelahkan daripada kerja otot, maka banyak orang kemudian menjadi mengantuk saat membaca.

Output dari budaya membaca adalah menghasilkan sumber daya manusia yang mampu berkarya dalam bidang apapun. Minat baca yang tinggi juga akan mempengaruhi tingkat pemahaman yang baik pada suatu bidang ilmu. Pemahaman yang baik ini tentu saja berimbas pada orisinalitas karya. Membaca sebenarnya bukan hanya dari buku, tapi bisa dari mana saja. Bisa dari website, media masa, cerita rakyat, tari-tarian tradisional, bahkan dari gejala alam di sekitar kita.

Dorongan untuk membaca bisa muncul dari kesenangan atau minat pada sesuatu hal. Kegiatan membaca ini harus diawali dengan niat dan minat. Mendorong para pelajar sejak tingkat SD untuk membaca bisa dimulai dari minat atau ketertarikannya. Anak-anak perlu didorong untuk menghasilkan karya dengan minat yang ada pada dirinya. Sebab setiap orang memiliki minat yang berbeda-beda.

Dalamnya pemahaman akan ilmu pengetahuan, mendorong kita untuk berkarya. Tetapi bagaimana bisa terus berkarya jika ada beberapa ilmu pengetahuan yang sulit diaplikasikan karena biayanya mahal. Salah satu cara untuk berkarya dengan sangat murah adalah membuat blog tentang bidang ilmu yang diminati. Misalnya, kita suka robotika, kita bisa menulis tentang robot di blog pribadi, tanpa harus mengeluarkan biaya mahal.

Jika kita menginginkan anak-anak SD suka membaca, maka kita ajarkan kepadanya untuk berkarya melalui blog. Anak-anak bisa menulis mengenai apa yang disukainya. Semakin rajin anak-anak menulis di blog, akan semakin rajin pula mereka membaca. Sebab tidak akan bisa menulis tanpa membaca.

Pembuatan blog atau blogging nampaknya perlu dijadikan ekstrakurikuler di sekolah dasar. Jika dipandang sangat diperlukan bisa juga dimasukkan ke dalam kurikulum pembelajaran. Sekaligus mendidik etika menggunakan internet sejak dini. Pengetahuan dan kesadaran akan hak cipta juga bisa ditanamkan melalui blogging.

Siswa akan dibimbing membuat tulisan yang sesuai dengan minatnya. Siswa yang minat dalam olahrahaga, blognya akan berisi hal-hal seputar olahraga. Siswa dengan minat matematika akan membuat blog bertema matematika.

Dengan berkarya di blog, setiap siswa akan mengerti dan marasakan kebangaan saat karyanya dibaca dan bisa bermanfaat bagi banyak orang. Mereka juga akan merasakan kemarahan jika karyanya dijiplak oleh orang lain tanpa seizin pembuatnya. Blogging ini juga membuat para siswa SD menjadi haus dan terus berlatih berkarya sejak dini.

Pada suatu titik di tengah aktivitas blogging, para siswa akan merasakan kebutuhan untuk mencari pengetahuan baru. Di mana pengetahuan baru itu hanya bisa diperoleh dengan membaca. Dorongan alamiah semacam inilah yang membuat anak-anak menjadi betah membaca.

Mengajari blogging pada anak-anak, bisa sekaligus mengajarkan kepada anak etika menggunakan internet. Anak-anak akan mengerti etika mengunakan internet sejak dini. Kegaduhan di dunia maya saat ini, seperti penistaan, fitnah, hoax, dan lain-lain, bisa dikurangi sejak dini. Dalam pengawasan dan pengarahan, dibutuhkan peran sekolah dan pihak-pihak terkait untuk mendukung aktivitas blogging. Contohnya, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengadakan lomba blog untuk tingkat SD.

Masyarakat Indonesia harus didorong sejak usia muda dengan sangat kuat untuk kembali pada dunia literasi yang telah sangat lama ditinggalkan. Kejayaan literasi Nusantara di masa lalu tidak mustahil bangkit kembali di tengah masyarakat Indonesia saat ini. Mengapa perlu dorongan sangat kuat? Sebab, jika tidak didorong dengan kuat, dunia literasi bangsa Indonesia akan digilas oleh budaya "cengengesan".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun