Satu tahun setelah itu, Indonesia mengalami krisis ekonomi dan disusul krisis sosial dan politik sangat luar biasa dalam sejarah Indonesia. Hal ini mendesak kebangkitan rakyat Indonesia untuk mobilisasi rakyat dan menduduki di semua kota-kota besar Indonesia. Di mana-mana terjadi kerusuhan, pembakaran dan perampokan, dan mendesak presiden Soharto dan rezimnya dilengserkan.
Kondisi ini juga mendorong Timor-Timor (kini Timor-Leste) melepaskan diri melalui sebuah referendum yang difasilitasi United Nations, di mana Indonesia tidak berdaya untuk dipertahankanya sebagai daerah koloni. Kondisi ini mendorong rakyat Papua bangkit dan menyatakan melepaskan diri kolonialisme Indonesia. Masa rakyat Papua bangkit di seluruh kota-kota di tanah Papua, mereka membentuk berbagai organisasi dan mobilisasi masa, demonstrasi, mimbar bebas dipusatkan di Universitas Cenderawasih, dan sebagainya.
Pada tahun 1998 mahasiswa di Jayapura melakukan beberapa pertemuan di sekitar Abepura dan Waena dan dalam pertemuan-pertemuan itu direncanakan untuk melakukan mobilisasi masa dan menduduki kantor Dewan Provinsi di Jayapura. Malam sebelum demonstrasi itu pertemuan terakhir dimatangkan di Asrama Sorong di Abepura, di mana dalam pertemuan ini didaftarkan para pelajar dan mahasiswa yang akan mengibarkan bendera Bintang Kejara di depan kantor Dewan Provinsi.
Dalam daftar itu sekitar 100 orang lebih mengatakan siap mengibarkan bendera dan bersedia mati untuk itu. Mereka mengatakan tiga orang pertama mengibarkan bendera dan bila mereka ditembak mati maka ganti tiga berikut dan seterusnya sampai bendera berkibar di puncak tiang. Suatu dokrinasi yang menurut saya sesat dan tidak tepat saat itu.
Pada hari kedua mobilisasi masa dari kampus Uncen ke Jayapura dan dipusatkan di depan kantor Dewan. Bendera Bintang Kejora disita oleh polisi dan kami dilarang masuk di halaman kantor Dewan Provinsi. Akhirnya masa kumpul di taman Imbi dan sore hari semua masa rakyat dari arah Dok lima, angkasa, Hamadi dan Polimak datang dan kota Jayapura menjadi lautan manusia.
Sekitar jam 12 malam masa dibubarkan oleh militer Indonesia dan kami harus berjalan kaki ke Kampus Uncen dan di gedung gereja harapan Abepura. Tempat di mana kami dilayani makanan dan minuman. Setelah makan kami kembali menduduki kota Jayapura dan di sana kami dibubarkan, beberapa teman lain ditembak dan salah satu mati. Kemudian kami kembali ke kampus dan semua kegiatan dipusatkan di kampus dalam beberapa hari. Aksi ini merupakan pertama kali dan segera menyebar di seluruh tanah Papua.
Demikian juga para mahasiswa di luar Papua melakukan hal yang sama untuk menuntut kemerdekaan Papua dan melahirkan berbagai organisasi perjuangan di kota-kota studi. Pada masa ini pemimpin organisasi dan masa diorganisir oleh teman-teman dari wilayah pesisir dan kepala burung. Mahasiswa koteka tidak banyak tampil sebagai pemimpin organisasi. Satu-satunya pemimpin mahasiswa dari dataran central saat itu adalah tuan Markus Haluk sebagai ketua senat STFT Fajar Timur. Di mana mahasiswa Koteka ditempatkan hanya sebagai partisipan masa aksi dalam berbagai demonstrasi.
Kondisi ini mendorong dibentuk Aliansi Mahasiswa Pegunungan Tengah se Indonesia (AMPTI) yang dimotori tuan Markus Haluk dan kawan-kawannya. Kemudian disusul Aliansi Mahasiswa Papua yang juga dibentuk oleh kelompok terdidik dari dataran central Papua. Melalui kedua organisasi ini melahirkan pemimpin-pemimpin muda asal dataran central yang kini tersebar dalam birokrasi dan politik Indonesia dan juga di fora perjuangan Papua merdeka.
Gerakan mahasiswa dan rakyat itu kemudian diakomodir dalam dua organisasi di tanah Papua. Pertama, masyarakat adat membentuk suatu lembaga representasi disebut Dewan Adat Papua (DAP), di mana Tom Beonal dipilih sebagai ketua dan Forkorus Jaboisembut sebagai wakilnya. Kedua, para tokoh politik dan Cendekiawan membentuk Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian Jaya (FORERI), sebagai representasi politik.
Kedua lembaga ini yang lebih menonjol untuk mengakomotir berbagai gerakan tersebut. Di mana FORERI saat itu dipimpin oleh Drs. Willy Mandowen, seorang akademisi dari Universitas Cenderawasih. Tetapi, FORERI terkesan berjuang dalam dua kaki, di satu sisi berbicara tentang perjuangan Papua merdeka, sedang di sisi lain mempunyai misi untuk memperjuangkan otonomi khusus.
Oleh karena itu, TPN dari pimpinan Jenderal Matias Wenda dan satgas Koteka telah datang dan memalang kantor FORERI di Kota-Raja luar sebagai protes atas misi otonomi khusus tersebut.