Di negara kita, yaitu Indonesia sangat menjunjung tinggi kodek etik. Apakah kalian tau yang dimaksud dengan kode etik? Menurut kbbi, kode etik adalah norma dan asas yang diterima oleh kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku.
Maksud dari pengertian ini adalah sebuah aturan dasar untuk melakukan sebuah tindakan ketika sedang bersosialisasi di masyarakat luas. Seperti contohnya, makan menggunakan tangan kanan, menyapa ketika bertemu seseorang di suatu tempat, salaman ketika memasuki sebuah perkumpulan masyarakat atau cipika-cipiki (re:cium pipi kanan cium pipi kiri), dsb.
Dari contoh sederhana tersebut dapat dilihat bahwa betapa sukarnya kode etik yang ada di Indonesia ini. Sama halnya dengan jurnalistik, kode etik sangat erat sekali dengan dunia jurnalistik supaya tidak melanggar hak-hak yang ada di orang lain.
Dalam dunia jurnalistik ada salah satu aliran yaitu jurnalistik televisi, di tulisan ini saya akan fokus ke dalam aliran jurnalistik televisi. Secara etimologi, televisi berasal kata dari bahasa Yunani tele (jauh) dan bahasa Latin vision (penglihatan), yang merupakan media massa dalam bidang telekomunikasi, televisi juga berfungsi sebagai penerima siaran gambar bergerak serta suara baik hitam-putih atau berwarna.
Dilihat dari sisi konseptual, jurnalistik lelevisi adalah proses pencarian, pengumpulan, penyuntingan, dan penyebarluasan berita melalui media televisi. Ada pula karakteristik jurnalistik televisi seperti terdapat audio visual, mengutamakan gambar, melibatkan banyak orang, penyaji berita, gaya bahasa tv, dan proses produksi rumit.
Dalam aliran jurnalistik televisi ini juga terdapat kode etik yang tidak boleh dilanggar oleh seorang jurnalis agar tidak menggangu hak-hak yang akan diliput nantinya, kode etik ini yang nantinya akan didirikan oleh organisasi IJTI.
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) adalah suatu asosiasi yang menghimpun para jurnalis televisi dan didirikan pada Era Reformasi, pada bulan Agustus 1998, menyusul pengunduran diri Presi den Soeharto. Pada saat itu, ratusan jurnalis televisi dari RCTI, TPI, SCTV, Indosiar, dan ANTV berkumpul di Jakarta untuk melakukan kongres pertama dan sepakat mendirikan IJTI dan memilih pengurus pertama organisasi ini.
Dilihat secara mukaddimah, kode etik ini diciptakan untuk menegakkan martabat, integritas, mutu, serta bertumpu kepada kepercayaan masyarakat. Jurnalis Televisi Indonesia pula mengumpulkan dan menyajikan berita yang benar dan menarik minat masyarakat secara jujur dan bertanggung jawab.
Kode etik jurnalistik televisi terdiri dari V Bab dan 14 Pasal yang dimana bab satu menjelaskan mengenai ketentuan umum, bab dua menjelaskan mengenai kepribadian, bab tiga menjelaskan mengenai cara pemberitaan, bab empat mengenai sumber berita, dan bab lima menjelaskan mengenai kekuatan kode etik.
Pula kode etik jurnalistik televisi ini ditetapkan kembali dalam Kongres ke-2 IJTI pada tanggal 27 Oktober 2002, dan dikukuhkan kembali dengan perubahan seperlunya pada kongres ke-3 IJTI di Jakarta pada 22 Juli 2005.
Kode etik jurnalistik televisi bisa dilihat di laman resmi website ijti.
Jika dilihat dari contoh nyata ialah sebuah kasus video porno yang melibatkan musisi, model, dan presenter yaitu Ariel, Cut Tari, dan Luna Maya. Dalam peliputan kasus video porno ini saat terjadi proses peliputan pemeriksaan Ariel dan Luna Maya di Mabes Polri, Jakarta telah terjadi pelanggaran kode etik.
Dari tayangan beberapa stasiun televisi dapat dilihat bahwa dalam proses peliputan itu, terjadi pelanggaran kode etik dan prinsip perlindungan privasi. Salah satunya adalah dalam proses peliputan itu tampak jurnalis dan beberapa media melakukan tindakan mendorong dan memegang bagian tubuh sumber berita.
Selain itu, terdapat juga jurnalis yang membenturkan kamera ke bagian tubuh dan menghalangi narasumber untuk masuk ke mobil pribadi. Padahal sebenarnya semua pihak tidak mempunyai hak untuk memaksa sumber berita berbicara atau mengakui sesuatu yang bersifat privat, apalagi jika hal itu diharapkan dilakukan di ruang publik media.
Padahal di dalam Bab III, Pasal 8 “Jurnalis Televisi Indonesia menempuh cara yang tidak tercela untuk memperoleh bahan berita.” dan Bab II, Pasal 3 ”Jurnalis Televisi Indonesia menyajikan berita secara akurat, jujur dan berimbang, dengan mempertimbangkan hati nurani.”
Jadi, kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan ini adalah kode etik ini dibentuk untuk mengindari terjadinya penyalahgunaan profesi, menghindari persaingan tidak sehat, dan melindungi pelaksanaan tugas profesi.
Dalam kode etik jurnalistik pun terdapat empat asas yang harus dipenuhi oleh jurnalis televisi, yaitu asas profesionalisme, demokratis, moralitas dan supremasi hukum. Profesionalisme berkaitan dengan berita yang akurat, jelas dan teruji.
Berkaitan dengan moralitas wartawan tidak boleh beritikad buruk, tidak berprasangka dan diskriminatif, menghormati privacy, tidak membuat berita secara cabul dan sadis, serta dapat mengakui kesalahan.
Untuk memenuhi asas demokratis wartawan harus dapat menghasilkan berita berimbang, independen, serta melayani hak jawab dan hak koreksi. Selain itu pula wartawan juga harus mentaati hukum dengan tidak melakukan plagiat, menghormati prinsip praduga tak bersalah, tidak menyalahgunakan profesi dan memiliki hak tolak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H