Mohon tunggu...
Eric Bangun
Eric Bangun Mohon Tunggu... Lainnya - Amateur Film Advisor

Most of these articles are opinions, reviews, and lists from the box office or underrated movies.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Fahrenheit 451: Bibliophobia dalam Fasisme

30 Agustus 2021   07:00 Diperbarui: 9 September 2021   16:07 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: IMDb | Fahrenheit four-five-one is the temperature at which book paper catches fire and starts to burn.

Masih ingat kah kamu dengan pelajaran sejarah era rezim orde baru? itu loh masa kekuasaan Presiden Soeharto yang menjabat selama tiga dekade lebih. Sudah ingat?, selamat!  Berarti kamu belajar sejarah dengan baik. Walaupun begitu kali ini kita tidak akan membahas polemik yang pernah terjadi masa itu tetapi kejadian yang mungkin serupa dengannya. Yapps film Fahrenheit 451 dengan negara "fiktif"-nya yang bibilophobia nan juga fasis.

Sebelum dibahas, mengetahui informasi tentang film ini tidak ada salahnya, kan--- Film Fahrenheit 451 merupakan karya yang diadaptasi dari novel karangan Rey Bradbury berjudul Fahrenheit 451 yang dipublikasikan tahun 1953.   

Dilansir dari Wikipedia pada tahun 1954, Fahrenheit 451 berhasil memenangkan American Academy of Arts and Letters Award in Literature dan Commonwealth Club of California Gold Medal. Kemudian memenangkan Prometheus "Hall of Fame" Award pada tahun 1984 dan "Retro" Hugo Award,  [menjadi] salah satu dari sejumlah Novel Retro Hugos terbaik yang pernah diberikan, pada tahun 2004. Bradbury mendapat penghargaan Grammy Spoken Word untuk versi buku audionya tahun 1976. Atas penghargaannya novel ini pun telah dua kali diangkat ke layar sinema.

Film pertama Fahrenheit 451 dirilis pada tahun 1966 disutradarai oleh Francois Truffaunt, ditulis oleh Francois Truffaut & Jean-Louis Richard, sinematografer oleh Nicolas Roeg, diedit oleh Thom Noble, musik dibuat oleh Bernard Herrmann, dan diproduksi Anglo Enterprises, Vineyard Film Ltd.; didistribusikan oleh Rank Film Distributors (UK) dan Universal Pictures (US), dan dibintangi Oscar Werner, Julie Christie, Cyril Cusack, Anton Diffring, Jeremy Spenser, dan Alex Scott.

Source: IMDb Fahrenheit 451 (1966) dan Fahrenheit 451 (2018)
Source: IMDb Fahrenheit 451 (1966) dan Fahrenheit 451 (2018)

Sedangkan film keduanya merupakan reboot yang dirilis pada tahun 2018 disutradarai oleh Ramin Bahrani, ditulis Ramin Bahrani & Amir Naderi, sinematografer oleh Kramer Morgenthau, diedit oleh Alex Hall, musik dibuat oleh Antony Partos, Matteo Zingales dan diproduksi HBO Films; didistribusikan oleh HBO dan diperankan oleh Michael B. Jordan, Michael Shannon, Sofia Boutella, Lilly Singh, dan Martin Donovan.

Berlatarkan di masa depan film Fahrenheit 451 mengisahkan tentang seorang firemen, Guy Montag yang berkhianat kepada instansinya yang mana pada periode itu pemerintah sedang memegang penuh kekuasaan atas pendistribusian informasi dan melakukan pemberedelan semua informasi dari buku (kayak Indonesia zaman dulu kan ups).

Guy Montag yang dulu mengira berada di utopia sempat berkata "Books make people unhappy, they make them anti-social", ternyata dia keliru;  dia dan masyarakat "seragam" lainnya sebenarnya tinggal dalam distopia ciptaan pemerintah dan menganggap semua orang yang membaca buku sebagai ancaman. Lalu bagaimana hal itu terjadi?

Mari Kita Bahas!


Teknologi  Canggih di Masa Depan

Mengambil setting masa depan maka semua alat-alat milik pemerintah tentu canggih. Benar saja, pada film Fahrenheit 451 (1966) mereka menampilkan teknologi seperti kereta monorel yang menunjang mobilitas masyarakat, mesin 'jet pack' khusus militer yang digunakan ketika adanya ancaman tingkat tinggi dan televisi interaktif; 

Sebelum internet terkenal televisi berfungsi sebagai media penyumbang informasi. Dengan penambahan fitur interaktif memungkinan masyarakat dalam negara fiktif itu berkomunikasi dengan orang lain.

Lalu pada film Fahrenheit 451 (2018) sang sutradara menampilkan kecanggihan internet, dimulai dari media sosial bernama 9 (nine) platform seperti 'Twitter' yang memungkinkan penayangan live aksi firemen membakar buku dan menangkap eel (pegiat buku), drone pelacak yang difungsikan sebagai pencarian para eel, dan adanya Yuxie;

Artificial Intelligence (AI) sejenis 'Siri' yang membantu penggunanya menerima informasi sekaligus menjadi mata pemerintah mengawasi masyarakat. Hampir kelupaan, kedua film ini menampilkan obat yang dapat memanipulasi kenangan, obat itu disebut Oculus. Tentunya semua teknologi canggih itu dikendalikan oleh pemerintah.

Baca juga:  Trailer "Spider-Man: No Way Home" Hadapi Musuh dari Multiverse Lain?

Alasan Pemerintah Menjadi Biblliophobia

Alasannya sederhana, karena buku membuat masyarakat tidak bahagia. Umumnya buku-buku yang dilarang pemerintah berupa novel fiksi, otobiografi, biografi, filosofi dan kritikan-kritikan dari para ahli. 

Jika dilihat dari perspektif pemerintah, mereka ingin membuat masyarakat merasa aman dan bahagia tanpa perlu khawatir keberadaan buku-buku yang merupakan sebuah gangguan.

seperti dalam dialog Kapten Beatty "Do you want to know what's inside all these books? Insanity. The Eels want to measure their place in the universe, so they turn to these novels about non-existent people. Or worse, philosophers".

Atas alasan itu terbentuklah kebencian pemerintah terhadap buku, sebab buku merupakan suatu bentuk ekspresi penulis yang membuat banyak intepretasi dalam pemaknaannya. 

Para penulis bisa menulis satu kalimat secara ambigu dan membuat masyarakat kebingungan mengetahui kebenaran yang sejati. Dan lagi saat membaca buku sering kali emosi yang dikeluarkan mengarah pada kesedihan, kegilaan dan perilaku anti sosial.

Dengan alasan dan kebencian itu, kita bisa menganggap pemerintah negara fiktif itu sebagai bibliophobia. untuk diketahui bibliophobia adalah kondisi seseorang yang merasa ketakutan atau membenci sebuah buku ataupun aktivitas membaca buku. 

Masyarakat Seragam Tercengkeram Fasisme

Setelah mengetahui kondisi pemerintah yang bibliophobia, kamu akan mengetahui hal lainnya dari kedua film ini yakni fasisme, percayalah itu ideologi yang mereka terapkan. Dikutip dari KBBI fasisme adalah prinsip atau paham nasionalis ekstrem yang menganjurkan pemerintahan otoriter.

Kapten Beatty dan atasannya adalah golongan pemimpin otoriter itu. Mereka membentuk dan menggunakan firemen (petugas yang menyulut api) salah satunya prajurit Montag sebagai kaki tangan mereka untuk menghaguskan semua buku, baik buku secara fisik dan elektronik. 

Untuk membuat kepatuhan yang terkonstruksi dengan sempurna seluruh prajurit firemen telah ditanamkan ideologi kalau buku adalah gangguan dan perusak moral.

Mereka membungkam segala variasi pemikiran penulis yang tertuang dalam buku dan mengubah beberapa sejarah, salah satunya sejarah terbentuknya satuan firemen. Akibatnya masyarakat menjadi seragam, artinya mereka tidak mampu mengekspresikan emosi mereka selain kebahagian "semu" dan kemarahan ketika melihat eel; 

Orang yang melakukan tindakan kejahatan membaca dan mengkoleksi buku. Montag dan masyarakat bagaikan makhluk kosong tidak bernalar yang berpura-pura bahagia atas keterbatasan informasi yang diberikan nine.

Baca juga:  Istirahatlah Kata-Kata: Pelarian Wiji Thukul dan Rezim Takut Kata-Kata

Akhir Berbeda bagi Pemerintah dan Eel

Film ini menampilkan alur yang terkesan lambat namun informatif sehingga kamu dapat mengerti tujuan dan bagaimana keberlangsungan cerita dari film ini. Pemerintah sebagaimana dijabarkan di atas merupakan sosok antagonis yang dapat dilihat dari aksi firemen dan Kapten Beatty.  

Sedangkan eel adalah kelompok pemberontak yang merasa kebebasannya dan kebahagiannya direnggut. Mereka sebagai sosok protagonis yang hanya menuntut kebebasannya dari pemerintah yang otoriter yang bertingkah peduli pada masyarakatnya dan aksi itu direpresentasikan oleh Guy Montag. 

Saat kamu akan menonton film Fahrenheit 451 (1966) dan Faherenheit 451 (2018) maka kamu akan menemukan perbedaan yang jelas pada akhir filmnya, terutama bagi karakter Montag dan Kapten Beatty. 

Akhiran kedua film ini akan membuatmu mengintepretasikan mengenai bagaimana eksistensi buku setelah kejadian yang dialami Montag maupun Kapten Beatty.

Berikut quote terbaik (menurut penulis) dari film Fahrenheit 451.

Do you remember what you asked me the other day: if I ever read the books I burn? Remember? -- I read one.

- Guy Montag, Fahreinheit 451 (1966)

Itulah opini penulis dari pengalaman menonton film Fahrenheit 451. Mereka yang benci terhadap buku (padahal jendela dunia) namun bersikap otoriter kepada masyarakatnya. 

Dunia tanpa media massa karena diberedel 'kan udah pernah, kalau dunia tanpa buku, apakah sama kayak Fahrenheit 451? Hmm..  jadi kebayang.... 

Bagaimana tertarik kah kamu menonton film Fahrenheit 451? Selamat menonton di layanan streaming film favoritmu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun