Mohon tunggu...
ERICO ANUGERAH PERDANA
ERICO ANUGERAH PERDANA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Terbuka

Percayalah jika berjuang dengan sungguh-sungguh akan mendapatkan hasil yang baik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

UN atau AN? Membuka Babak Baru Evaluasi Pendidikan di Indonesia

15 Januari 2025   11:57 Diperbarui: 15 Januari 2025   11:57 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ujian Nasional (UN) telah lama menjadi simbol dari sistem evaluasi pendidikan di Indonesia. Namun, pada tahun 2021, UN resmi dihentikan dan digantikan oleh Asesmen Nasional (AN), sebuah langkah strategis dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek) di bawah kepemimpinan Nadiem Anwar Makarim. AN adalah bagian dari Merdeka Belajar, sebuah inisiatif besar yang dimulai sejak tahun 2020. Seiring waktu, evaluasi efektivitas AN terus menjadi bahan diskusi di kalangan masyarakat dan pemerintah.

Namun, diskursus terkait kebijakan UN kembali mencuat ketika Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Abdul Mu'ti, mengumumkan rencana mengembalikan pelaksanaan UN dalam format baru pada tahun pelajaran 2025/2026. Rencana ini menimbulkan beragam respons dari berbagai pemangku kepentingan yang mempertanyakan relevansi, efektivitas, dan dampaknya terhadap kualitas pendidikan nasional.

Perjalanan Perubahan: Dari UN ke AN

Sebagai sistem evaluasi, UN telah digunakan sejak awal tahun 2003-an dengan tujuan untuk mengukur capaian belajar siswa dan menentukan kelulusan. Namun, kelemahan utama UN terletak pada penerapan satu standar untuk semua peserta didik, yang mengabaikan keragaman kondisi sosial, ekonomi, dan geografis di Indonesia.

Pada tahun 2021, perubahan besar terjadi ketika UN digantikan oleh AN. AN mengukur tiga komponen utama:

a. Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), yang berfokus pada literasi membaca dan numerasi.
b. Survei Karakter, yang menilai nilai-nilai moral dan sosial.
c. Survei Lingkungan Belajar, yang mengevaluasi kondisi sekolah dan proses pembelajaran.

Perubahan ini didasarkan pada kebutuhan untuk menciptakan evaluasi yang lebih adil dan relevan dengan kebutuhan zaman, di mana penilaian lebih terpusat pada kemampuan berpikir kritis daripada sekadar hafalan.

Wacana Kembalinya UN: Sebuah Revisi atau Kemunduran?

Pengumuman kembalinya UN pada tahun 2025/2026 memicu perdebatan hangat. Prof. Abdul Mu'ti menyebut bahwa format baru UN akan mencerminkan pembelajaran berbasis kompetensi. Namun, apakah ini langkah maju atau justru kemunduran?

Beberapa pihak khawatir bahwa kembalinya UN dapat mendorong praktik kecurangan dan tekanan yang berlebihan terhadap siswa serta guru. Sebelumnya, pelaksanaan UN sering dikritik karena:

a. Tekanan Psikologis: Siswa dan guru fokus pada hasil UN daripada proses pembelajaran yang bermakna.
b. Kecurangan Sistematis: Demi reputasi, beberapa sekolah terlibat dalam manipulasi hasil.

Untuk menghindari kesalahan di masa lalu, desain UN baru harus mempertimbangkan:

a. Menjauhkan diri dari paradigma lama sebagai penentu kelulusan tunggal.
b. Mengintegrasikan prinsip-prinsip AN dalam soal-soal berbasis kompetensi.
c. Mengembangkan sistem sanksi tegas untuk mencegah kecurangan, termasuk pencabutan izin operasional bagi sekolah yang melanggar.

Perspektif Mahasiswa terkait Wacana Kembalinya Pelaksanaan UN

Erico Anugerah Perdana, mahasiswa S1 Matematika di Universitas Terbuka, memberikan pandangan kritis terhadap rencana kembalinya UN. Menurutnya, pelaksanaan UN perlu disesuaikan dengan tantangan zaman dan standar internasional seperti Program for International Student Assessment (PISA) dari OECD. Ia menegaskan bahwa:

a. UN tidak boleh menjadi penentu kelulusan, tetapi instrumen untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
b. Modifikasi AN dapat menjadi dasar pengembangan UN agar tetap relevan.
c. Pemberian sanksi tegas bagi sekolah yang terlibat dalam kecurangan akan mendorong pelaksanaan ujian yang lebih jujur dan bermartabat. 

Menurut Erico, keberhasilan kebijakan evaluasi pendidikan juga bergantung pada sinergi antara pemerintah dan lembaga legislatif seperti Komisi X DPR RI. Penting bagi seluruh pihak untuk memprioritaskan pendekatan yang berorientasi pada pembelajaran seumur hidup, bukan sekadar angka atau skor.

Selain itu, desain UN yang baru perlu mempertimbangkan pemanfaatan teknologi. Ujian berbasis komputer yang lebih canggih dapat mengurangi peluang manipulasi dan meningkatkan efisiensi pelaksanaan. Namun, pemerataan akses teknologi di seluruh wilayah Indonesia harus menjadi perhatian serius agar tidak menciptakan kesenjangan baru.

Penting juga mempertimbangkan apakah UN dapat berkontribusi pada visi besar Indonesia Emas 2045. Dalam konteks ini, UN seharusnya:

a. Mendukung pengembangan keterampilan abad ke-21 seperti berpikir kritis, kolaborasi, komunikasi, dan kreativitas.
b. Memastikan bahwa setiap siswa, terlepas dari latar belakangnya, memiliki kesempatan yang setara untuk berhasil.

Menjaga Esensi Pendidikan

Evaluasi pendidikan harus dirancang agar tidak mereduksi esensi pembelajaran. Ujian yang hanya berorientasi pada nilai akan mendorong:

a. Pembelajaran Permukaan: Fokus pada hafalan daripada pemahaman.
b. Keseimbangan yang Hilang: Menurunnya minat eksplorasi dan kreativitas siswa.

Sebaliknya, evaluasi berbasis kompetensi menitikberatkan pada kemampuan nyata yang dibutuhkan siswa di dunia nyata. Oleh karena itu, kombinasi UN yang didesain ulang dengan AN akan memberikan hasil yang lebih komprehensif.

Sebagai contoh, selain literasi dan numerasi, UN yang baru dapat mencakup soal-soal yang menilai keterampilan pemecahan masalah dan inovasi. Hal ini sejalan dengan kebutuhan tenaga kerja masa depan yang lebih kompleks dan dinamis.

Peran Guru dan Orang Tua

Guru dan orang tua memiliki peran penting dalam mendukung pelaksanaan UN yang baru. Guru harus diberikan pelatihan yang memadai untuk memahami perubahan kurikulum dan format ujian. Sementara itu, orang tua perlu memahami bahwa pendidikan adalah proses yang berkelanjutan, di mana pengembangan karakter sama pentingnya dengan pencapaian akademik.

Kerja sama yang erat antara sekolah, keluarga, dan masyarakat dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Dengan demikian, siswa dapat menghadapi UN dengan rasa percaya diri dan semangat untuk terus belajar.

Masa depan pendidikan Indonesia membutuhkan keseimbangan antara inovasi dan pelestarian praktik terbaik. Kembalinya UN dalam format baru pada tahun pelajaran 2025/2026 bisa menjadi langkah yang baik asalkan:

a. Fokus pada peningkatan kualitas pembelajaran.
b. Tidak menjadi satu-satunya penentu kelulusan.
c. Menerapkan prinsip-prinsip AN dalam evaluasi yang lebih holistik.

Dengan desain yang tepat, UN yang baru dapat membantu Indonesia mewujudkan visi pendidikan yang inklusif, berkualitas, dan relevan dengan kebutuhan masa depan. Ujian yang baik tidak hanya mengukur hasil belajar, tetapi juga membentuk generasi yang berpikir kritis, kreatif, dan siap menghadapi tantangan global.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun