BAB 4: Bertemu Mentor
Kedai kopi yang terletak di sudut Jalanan Kenangan ini memiliki kehangatan yang meresap hingga ke tulang. Dinding-dindingnya, dipenuhi rak-rak berisi novel-novel yang banyak dibaca dan remang-remang oleh lampu gantung Edison, membisikkan kisah-kisah tentang ribuan momen hening. Udara kental dengan kayanya aroma kopi yang baru diseduh, aroma yang seakan menyatukan permadani gumaman lembut dan tawa yang memenuhi ruangan.
Di tempatnya biasanya, di kursi empuk dekat jendela yang terkena rintik hujan, duduklah Siti Aisyah. Tangannya yang halus memegang cangkir porselen, sulur-sulur uap menari ke atas, bercampur dengan gumpalan perak di rambutnya. Setiap kali dia menyesap, matanya akan sedikit terpejam, seolah-olah kopi itu bukan sekadar minuman melainkan pintu gerbang menuju dunia kenangan.
“Selalu kopi hitam, Bu Siti?” barista itu bertanya sambil tersenyum, sudah mengetahui jawabannya.
“Ya, seperti biasa,” jawab Siti Aisyah lembut, suaranya setara dengan beludru – lembut dan menenangkan. Matanya berbinar-binar karena kebaikan jiwa yang telah melewati masa-masa sulit namun menemukan kedamaian dalam ritual sederhana dari cangkir hariannya.
Seorang pengamat mungkin mengira dia sendirian dalam lamunannya, namun sebenarnya dia membawa serta kehangatan hubungan antarmanusia, hati yang terbuka dan siap menyambut siapa pun yang meminta nasihatnya. Dia adalah mercusuar sederhana di kedai kopi, cahaya bagi mereka yang terombang-ambing di lautan kompleksitas kehidupan.
Aditya berlama-lama di tepi oasis beraroma kopi, pandangannya beralih dari cahaya lembut lampu gantung ke jendela tempat tetesan air hujan membentuk simfoni tak menentu di kaca. Di sudut harmonis itulah duduk Siti Aisyah, kehadirannya menjadi jangkar dalam irama kehidupan kedai kopi yang mengalir.
"Izin, Bu," dia mendengar dirinya sendiri berkata, suaranya nyaris tidak sebanding dengan gumaman ruangan yang penuh sesak itu. Kata-katanya terasa seperti pelanggar, berani mengganggu tempat perlindungan tenang yang dia wujudkan.
Detak jantungnya menggema di dadanya, selaras dengan detak jam dinding saat dia mengambil langkah maju yang ragu-ragu. Jarak di antara mereka menyusut seiring dengan denyut nadinya, dan keingintahuan Aditya terbentang seperti uap yang mengepul dari cangkir di sekelilingnya.
"Ada yang bisa aku bantu, Nak?" Mata Siti Aisyah bertemu pandang dengannya, lautan hikmah terbelah hingga ia bisa melihat sekilas kedalamannya.