Mohon tunggu...
Erick M Sila
Erick M Sila Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Menulis adalah mengabadikan diri dalam bentuk yang lain di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Belajar dari Nikmatnya Secangkir Kopi #4

12 Januari 2024   18:52 Diperbarui: 12 Januari 2024   18:55 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.canva.com/design

Aditya berhenti di persimpangan jalan, mengamati lampu lalu lintas yang berubah dari merah menjadi hijau—simfoni kekacauan yang teratur. Pikirannya memutar ulang kebenaran sederhana Siti Aisyah, melodi kebijaksanaannya menanamkan kejelasan dalam pikirannya yang sebelumnya kacau. *Kesederhanaan itu indah,* renungnya, gagasan itu mengakar dalam jiwanya.

"Hidup bukan tentang menunggu badai berlalu," bisiknya pada dirinya sendiri, mengingat analoginya, "ini tentang belajar menari di tengah hujan." Tanda pejalan kaki berkedip-kedip, mengantarnya keluar, dan dia melangkah keluar dari tepi jalan dengan anggun seperti seorang penari.

Dengan setiap langkah kakinya, Aditya merasakan belenggu kerumitan yang sempat mengekang kegembiraannya mulai sirna. Kota di sekelilingnya memiliki kehidupannya sendiri, namun ia melewatinya dengan kemudahan yang menghilangkan kegelisahannya sebelumnya. Dia memperhatikan tarian lucu dedaunan yang berputar ke bawah dari pohon kuno, turunnya dedaunan merupakan syair hening atas keanggunan siklus alam.

Dia sampai di sebuah taman, tanaman hijaunya merupakan oase di tengah hamparan beton. Di sana, di sebuah bangku, duduk seorang lelaki tua yang berbagi remah-remah dengan merpati, suara kicauan mereka terdengar lembut dengan latar belakang perkotaan. Aditya mengamati pemandangan itu, tawa kecil keluar darinya. Berapa banyak momen seperti itu yang dia abaikan dalam usahanya mencari keagungan?

“Kadang-kadang, dunia berbicara dengan berbisik-bisik,” katanya kepada siapa pun secara khusus, “dan kita harus belajar untuk mendengarkan.”

Aditya menemukan bangkunya sendiri, jari-jarinya menelusuri butiran kayu, setiap baris menceritakan kisah pertumbuhan dan ketahanan. Dia menyaksikan anak-anak bermain-main, tawa mereka merupakan penyulingan paling murni dari esensi kehidupan. Angin sepoi-sepoi menggerakkan udara, membawa serta janji hari esok—kanvas kosong menunggu sapuan kuas persepsinya.

“Mulai sekarang,” janjinya pelan, pandangannya terangkat ke hamparan langit di atas, “Aku akan mencari seni di setiap momen.”

Saat matahari mulai turun, memancarkan sinar keemasan yang mencium dunia dengan kehangatan sesaat, Aditya bangkit dari bangku cadangan. Dengan hati yang tak lagi terbebani oleh beban pencarian, ia merangkul kesederhanaan yang disinari Siti Aisyah—kesederhanaan yang mendalam sekaligus memerdekakan.

"Terima kasih," gumamnya pada cahaya yang memudar, simbol rasa syukur atas perjalanan selanjutnya. Melangkah ke depan, Aditya Wirawan membawa harapan baru, siap mewarnai hidupnya dengan nuansa halus ketenangan yang hanya bisa diberikan oleh kesederhanaan.

Bersambung ....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun