Mohon tunggu...
Erick M Sila
Erick M Sila Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Menulis adalah mengabadikan diri dalam bentuk yang lain di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Belajar dari Nikmatnya Secangkir Kopi #4

12 Januari 2024   18:52 Diperbarui: 12 Januari 2024   18:55 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.canva.com/design

“Anak muda,” katanya dengan kebaikan yang menyelimutinya, “kebahagiaan itu seringkali bukan tentang pencarian, tetapi tentang pengakuan dan penerimaan.” Senyumannya adalah sentuhan lembut mentari setelah seharian diguyur hujan. "Cobalah untuk tidak selalu mencari, tetapi biarkan dirimu menemukan. Seperti kopi ini—nikmati seteguk demi seteguk, rasakan panas dan pahitnya, dan biarkan ia mengajarimu tentang kesederhanaan yang memuaskan."

Aditya menyerap kata-katanya, membiarkannya berputar-putar di sekitar kekacauan dalam pikirannya. Dia menyaksikan uap mengepul dari cangkirnya, tanpa tujuan dan bebas, lalu menghela napas. Tatapannya bertemu dengan tatapannya, dan dia melihat danau tenang di matanya beriak dengan emosi yang sama.

"Bagaimana cara Anda melakukan itu, Bu? Bagaimana Anda belajar untuk... menemukan kebahagiaan dalam kemudahan?" Jari-jarinya mengetuk-ngetuk cangkir, ritme hening mengiringi pencariannya akan kejelasan.

“Kamu tahu, Aditya,” jawab Siti Aisyah sambil bersandar di kursinya, suaranya melodi yang menenangkan di tengah alunan musik jazz lembut kedai kopi, “setiap pagi ketika saya bangun, saya berterima kasih atas napas yang bisa saya hirup. Saya mendengar kicau burung dan melihat langit yang terbentang luas, dan aku sadar bahwa aku adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar."

"Dan itulah kebahagiaan?" Aditya mempertanyakan, nada skeptisnya berubah menjadi rasa ingin tahu.

"Ya, dan juga saat kamu membagikan perasaanmu, seperti sekarang ini," ucapnya mesra. "Berbagi beban itu meringankannya, Aditya. Dan percayalah, dalam setiap momen yang terasa berat, masih ada ruang untuk bersyukur dan gembira."

Di surga beraroma kopi itu, Aditya merasakan perubahan—simpul di dadanya sedikit mengendur. Ia membiarkan dirinya menikmati pelukan hangat kafe itu, beban nyaman dari kehadiran Siti Aisyah di sampingnya, yang mengikatnya pada masa kini. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia merasakan kemungkinan kegembiraan, bukan di cakrawala yang jauh, melainkan di sini, terjalin dalam kehidupan sehari-hari.

Tatapan Aditya tertuju pada cangkir yang ada di tangannya, uap yang berputar-putar menari di depan matanya seperti gumpalan mimpi halus yang terbentang. Aroma kopi yang kaya, yang dulu hanya menjadi latar lamunan yang berpacu, kini terasa seperti bisikan mesra, menceritakan kisah perjalanannya dari bukit jauh hingga ke meja ini. Dia menarik napas dalam-dalam, membiarkan keharuman memenuhi indranya, setiap nada mengungkap lapisan kerumitan yang belum pernah dia hargai.

“Melihatmu seperti ini,” kata Siti Aisyah sambil terkekeh pelan, “sepertinya kamu sudah mulai memahami.”

"Memahami?" Aditya menggema, kata yang menggantung di antara mereka seperti setetes embun yang hampir jatuh.

“Ya,” lanjutnya, matanya mencerminkan kebijaksanaan yang dalam dan gelap seperti kopi di cangkir mereka, “bahwa keindahan itu ada di mana-mana, dalam setiap tetes kopi, dalam setiap helai daun yang bergerak ditiup angin. Kita hanya perlu meluangkan waktu untuk menikmatinya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun