"Um, aku...," Aditya meraba-raba tali ranselnya, kulit usang yang familier di bawah jari-jarinya. Dia bergumul dengan keheningan, beban pertanyaannya menahan lidahnya.
“Maaf mengganggu, Bu Siti,” akhirnya dia berhasil, perkataannya menjembatani jurang keraguan. "Saya selalu melihat Anda di sini, dan...dan saya merasa ada banyak hal yang bisa saya pelajari dari Anda."
Pengakuan itu tergantung di antara mereka, sebuah persembahan halus kepada wanita yang sepertinya merangkai cerita ke dalam udara yang dia hirup.
“Silakan, duduk,” ajaknya, suaranya seperti sapuan kuas seorang pelukis ulung, menambah warna pada kanvas kosong kekhawatirannya.
Aditya mengangguk, simpul di perutnya mengendur saat dia menarik kursi di seberangnya. Tangannya menunjukkan sedikit getaran saat dia meletakkannya di atas meja, pola butiran kayunya merupakan bukti dari percakapan yang tak terhitung jumlahnya yang terjadi di permukaannya.
“Terima kasih, Bu,” gumamnya, napasnya menjadi stabil karena bercampur dengan aroma kopi yang menenangkan. Momen terentang, senar kencang siap melepaskan melodi pertukaran mereka yang akan datang.
“Kopi hitam juga untuk saya, tolong,” dia memberi isyarat kepada barista, menggemakan permintaan Siti Aisyah sebelumnya. Saat dia duduk di kursi, dia merasakan benang-benang penghubung pertama terjalin menjadi jalinan pagi yang tenang.
Tatapan Aditya tertuju pada kerutan lembut di sekitar mata Siti Aisyah, yang berbicara tentang tahun-tahun yang penuh dengan tawa dan kesedihan dalam takaran yang seimbang. Tangannya menggenggam cangkir kopi, sebuah pulau porselen di tengah lautan cerita masa lalunya.
“Boleh aku tahu, Bu,” Aditya memulai, suaranya terdengar di sela-sela gumaman kedai kopi, “bagaimana Anda menemukan kedamaian dalam kesibukan dunia ini?”
Senyumannya terbentang perlahan, bagaikan kelopak bunga melati di bawah sinar fajar, hangat dan mengundang. “Ah, Aditya,” katanya, kata-katanya selembut buih di minuman mereka, “kedamaian itu sering kali datang saat kita tidak mencarinya.”
Dia menyaksikan jari-jarinya menelusuri tepi cangkirnya, sebuah tarian hening yang sangat ingin dia pahami. Uap dari kopinya sendiri menyapu wajahnya, bisikan kehangatan menjanjikan kenyamanan.