Aditya memperhatikan Hendrik mengangkat cangkirnya dengan tangan yang mantap seperti prinsip yang sepertinya dia jalani. Uapnya mengepul seperti roh yang sedih ke udara, menghilang di depan mata mereka. Ia membayangkan setiap sulur membawa beban yang tak terlihat.
"Setiap biji kopi," lanjut Hendrik, "memiliki cerita, sama seperti setiap orang yang kamu temui. Kamu bisa mempercepatnya, memasukkan air panas dengan tekanan tinggi, dan ya, kamu akan mendapatkan kopimu." Jeda kontemplatif, seteguk, dan kemudian: "Tetapi maukah Anda merasakan matahari terbit di atas pegunungan tempat ia dipetik? Tawa orang-orang yang memanennya? Perjalanan dari tanah ke cangkir?"
Aditya mempertimbangkan bobot kata-kata itu, merasakan kebenarannya meresap ke dalam dirinya seperti kehangatan dari cangkir yang dia pegang di antara kedua tangannya. Pandangannya tertuju pada cairan gelap, sebuah galaksi dengan kedalaman yang tidak diketahui yang mengundangnya untuk menjelajah lebih jauh dari yang berani ia lakukan.
"Kenikmatan sederhana," kata Hendrik sambil menatap ke arahnya, "seperti cangkir sederhana ini, adalah bisikan kehidupan yang mengingatkan kita untuk memperlambat. Untuk menikmati. Untuk terhubung."
Kedai kopi di sekitar mereka kabur menjadi latar belakang kesederhanaan wawasan Hendrik yang mendalam. Aditya menyesapnya perlahan, membiarkan rasa yang kaya dan bersahaja bersemi di lidahnya, sebuah simfoni hening mengiringi resonansi kebijaksanaan Hendrik di dalam dadanya.
"Carilah inspirasi bukan dalam hal-hal besar," saran Hendrik, "tetapi dalam keajaiban sehari-hari - seperti alkimia air dan kacang-kacangan yang menghasilkan kerumitan seperti itu."
Aditya mengangguk, pikirannya melukiskan gambaran buah kopi yang dicium embun dan tanah yang bermandikan sinar matahari di negeri yang jauh. Setiap tegukan menjadi sebuah persekutuan, sebuah tindakan pemahaman yang melampaui sekadar konsumsi.
"Terima kasih," bisik Aditya, hampir penuh hormat. Percikan yang tersulut perkataan Hendrik mengembang menjadi kobaran api, menyinari sudut-sudut pemikirannya yang sebelumnya terselubung dalam bayang-bayang.
“Rasa syukur,” jawab Hendrik dengan anggukan penuh pengertian, “adalah langkah pertama menuju apresiasi sejati.”
Saat kehadiran Hendrik menyelimuti dirinya seperti pelukan nyaman di kursi berlengan usang, Aditya merasakan awal dari sebuah pencarian terbentang di hadapannya. Seolah-olah tindakan sederhana meminum kopi baru saja diilhami dengan lapisan makna yang lebih dalam dan kaya, menunggu untuk digali setiap kali kita kembali ke tempat perlindungan rasa dan jiwa ini.
Aditya berdiam diri di tepi kursinya, sebuah cangkir porselen digendong di antara kedua tangannya seolah-olah berisi lebih dari sekadar kopi—cangkir itu menyimpan alam semesta di dalam dindingnya yang melengkung. Gumaman percakapan di sekelilingnya memudar menjadi dengungan lirih, sekadar soundtrack introspeksi yang terbentang di benaknya bagai sulur-sulur uap yang mengepul dari minumannya.