Mohon tunggu...
Benedict Erick Mutis
Benedict Erick Mutis Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang mahasiswa biasa

Belajar mengulik realitas secara 3 dimensi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Aku Menjadi Manusia Ketika Berjumpa Keheningan

27 Januari 2023   08:00 Diperbarui: 27 Januari 2023   08:08 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa itu keheningan? 

Keheningan, barangkali kita memproyeksikannya sebagai kesenyapan, kesejukan, kekosongan, atau bahkan peristiwa penarikan diri dari hiruk-pikuk serta gangguan keramaian. Bila dilihat dari pandangan secara biner, keheningan hadir karena ketiadaan keramaian, begitupun dikatakan ramai ketika ada hening. 

Namun dalam konteks akhir-akhir ini, keheningan menjadi "pelarian" sejenak manusia ditengah keramaian. Istilah "healing" yang akhir-akhir ini eksis dan dipakai untuk menemukan keheningan dan kedamaian itu.  Hening seakan instrumental, akibat kepenatan dan kepadatan disana-sini yang seolah menutup sisi kemenjadian keutuhan manusia.

Sebagai contoh kehidupan sehari-hari, pastinya kita seperti mendengar bunyi "nging" ketika berada di ruangan sunyi. Secara alami, kita bereaksi biasa saja atau sangat lumrah terjadi ketika mendengarnya. Tetapi, apakah bunyi "nging" tersebut menandakan keheningan yang adalah kekosongan, ketiadaan?, lalu apa itu keheningan bila tak mampu merasakan kehadiran makna kosong dan tiada itu?  

Afek Psikedelik 

Sebelumnya kita sebaiknya memahami dahulu, apa itu efek psikedelik beserta impulsnya. Efek psikedelik adalah dorongan halusinasi, imajiner, dan fantasional yang didapat (biasanya) melalui obat-obatan, "mushroom," dan berbagai NAPZA lainnya. 

Proyeksi benda-benda serta suasana yang mewarnai alam pikiran masuk kepada dunianya (pribadi) dapat dikatakan dia-lah pengada yang menyelenggarakan dunianya. Kata halusinasi boleh jadi mewakili afek psikedelik si pengguna.

Bila mengembangkan atau meminjam sedikit term realitas nyata dan semu Jacques Derrida, maka realitas dalam dunia psikedelis berbau kesemuan. Dibentuk atas afeksi alam bawah sadar manusia yang menyeruak mengaburkan sisi realitas nyata yakni penglihatan pada dunia absolut ini. Dualisme realitas disini agak berbeda dengan konteks media sosial misalnya atau artifisialitas (bila mengkomparasikan dengan dunia digital).

Kalau tetap didesak untuk menjawab pertanyaan mengapa dunia psikedelik dianggap ketenangan, mungkin saya akan menjawab dengan proposisi biner, yakni kerumitan, keramaian, hiruk-pikuk, tumpang-tindih, dan persaingan yang adalah lawan dari ketenangan, kedamaian, dan kekosongan. Tiap manusia boleh jadi dapat sekali terjebak pada multi-realitas itu. Efek psikedelik disini diubah menjadi sekadar alat penunjang.

Ekplorasi Keheningan dalam Kultur Ketimuran 

Kultur Cina tradisional (konteks komunikasi) memandang keheningan sebagai pembatas atau jarak antara relasi kenal-mengenal aku dan orang lain. Mungkin kita sudah menduga akan datangnya pribadi yang individualistik. 

Pribadi individualistik dengan indikasi mengutamakan, memprioritaskan nilai-nilai pribadi (dalam hal ini eksplorasi keheningan) dengan menomorduakan dimensi eksternal (lingkup sosial, relasi, dan peran).

Memang dalam penjelajahan dunia hening, kita berfokus pada performa dan penetrasi tujuan bagi kita sendiri. Kita mencari hening, hanya kitalah yang tahu dinamikanya. 

Keheningan itu saya ibaratkan seperti sebuah lorong gelap yang tak jelas ujungnya (bahkan sekilas tak ada ujungnya). Keheningan adalah memasukkan diri kedalam yang gelap itu. 

Kegelapan tak lagi dipandang menakutkan layaknya film horor, thriller, serial killer, dan fiksi ilmiah, melainkan sebagai proses untuk masuk kepada yang gelap itu, apakah justru didalamnya Tuhan atau Sang Keheningan itu sendiri bersemayam didalamnya, saya kira ada potensi kesana yang setiap manusia memilikinya. Kalau menunggangi konsep gerak Aristoteles, maka potensi manusia sudah ada, apakah mematangkan hingga ke taraf actus itu tergantung preferensi subjektivitas rasanya.

Jika anda menyadari, saya menulis "menomorduakan dimensi eksternal", ialah buah dari pemfokusan diri saat ini, sekarang, dan detik ini. Saya katakan buah dari fokus yaitu karena prioritas diri, barangkali menjadikan diri tak hanya seonggok daging yang mampu berpikir, berefleksi, hingga "berhasil" masuk realitas keheningan terdalam, melainkan setiap individu seakan memiliki perannya masing-masing. Buahnya adalah kesadaran penuh akan ruang gerak diri. 

Ibarat kata, setiap masing kita hanyalah kumpulan wayang, kesinambungan tiap wayang. Yang menjadikan setiap wayang memiliki peran adalah dalangnya, Sang Dalang memainkan peran si wayang untuk tujuan tertentu. Pertanyaannya adalah apakah kita mempercayakan penuh diri dan fisik-batin kepada Sang Dalang?

Mungkin paragraf diatas, berbau konsep Nous Aquinas (berangkat dari Aristoteles) adalah Tuhan sebagai gerak semesta dan alam sebagaimana kita bergerak dan berelasi satu sama lain. 

Saya kira ada korelasi konsep Nous dan keheningan yang sekarang kita bahas. Gerak manusia ini adalah bonus atau hadiah dari pencarian keheningan itu, bahwa kita manusia sadar akan diri sendiri serta esensinya. Mungkin ada hubungannya dengan judul tulisan ini yakni menjadi manusia atau manusia yang lebih manusiawi. Manusia yang selama ini kita anggap spesial atau ekslusif, apakah kita justru manusia (hanya fisikal) atau memiliki faktor kemanusiaan (lahiriah, batiniah, ekspresi, inklusi, dll).

Salah duanya ialah meditasi, yang kita kenal secara umum sebagai memasuki ketenangan dan kedamaian, memainkan nada napas hingga hanyut ke dalam surga keheningan. Keheningan barangkali sebuah surga atau pencapaian serta banyaknya penetrasi usaha yang dilancarkan secara sederhana yakni diam dan fokus. Substansi meditasi ialah permainan aliran nafas -- yang pada akhirnya dikombinasikan dengan stimulan variatif.

Dengan paparan singkat ini, barangkali saya menyimpulkan makna keheningan digambarkan sebagai pengalihan distraksi negatif menuju pada kefokusan itu. Kita mungkin dengan gampangnya mengatakan "fokus, fokus, dan fokus!," lalu pada praksisnya? Inilah sebenarnya kerikil-kerikil pengganggu, saya katakan pengganggu berarti tak ada usaha memusnahkan kerikil-kerikil tersebut. Maksudnya, kita tak bisa me-nol-kan frekuensi distraksi hingga ke tahap dasar, karena otak senantiasa bekerja sebagaimana ia bekerja yaitu kerja-berpikir dan orkestrator sang tubuh.

 Lalu selanjutnya, apa itu distraksi dan mengapa harus diredamkan si distraksi ini? Distraksi pada persepsi umum merupakan gangguan, dikatakan gangguan karena kita memiliki tujuan atau capaian. Gangguan senantiasa kita hindari, ditanam, dan dipendam dalam-dalam hingga tak tercium baunya. 

Distraksi yang dialami berbentuk metafisik, maksudnya tak ada wujud pasti apa itu distraksi, namun kita mampu merasakan atau mendeskripsikan apa itu distraksi. Karena ketakberwujudannya, maka kekuatan distraksi dapat diredam sebagaimana kita memahaminya keseluruhan.

Kesimpulan 

Kesimpulannya, keheningan tak hanya sebagai kekosongan belaka, melainkan "perlawanan" terhadap kebisingan, keramaian, dan hiruk-pikuk perkotaan misalnya. Tentu, perlawanannya tak bersifat fisikal, melainkan mental. Menggelar perlawanan terhadap distraksi-distraksi terhadap dunia dalam diri sendiri yang berada dalam cakupan ranah internalitas kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun