Jumat, 18 Dzulhijjah tahun 35 Hijriyah yang bertepatan tanggal 20 Juni tahun 656 pada kalender Masehi, Khalifah ketiga, Usman bin Affan dibunuh oleh sekelompok pemberontak yang sebelumnya melakukan pengepungan kediaman Amirul Mukminin Usman ra selama 40 hari dengan embargo makanan dan minuman. Usman syahid diusia 80 tahun tengah melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an, setelah mendapat serangan bertubi-tubi kelompok pemberontak.
Peristiwa menjijikan itu rupanya menjadi triggerperang saudara umat Islam di masa kekhalifahan Ali bin Abu Thalib. Sepupu Rasulullah saw ini harus menerima kepahitan dalam masa kepemimpinannya, lima tahun Ali bin Abu Thalib harus berjibaku merajut kembali ukhuwah Islamiyah yang terputus. Aroma kekuasaan, kenikmatan materi dan pengagungan nama besar kaum membutakan keimanan dan persaudaraan umat muslim. Hingga puncaknya, lima tahun setelah kepulangan Usman bin Affan tepatnya pada 20 Ramadhan 661 Hijriyah, Ali bin Abu Thalib syahid setelah tiga hari sebelumnya pada tanggal 17 Ramadhan pedang Abdurrahman bin Muljam, menghunus Imam Ali.
Sebelum peristiwa pembunuhan Ali bin Abu Thalib, ada satu kejadian yang menjadi catatan merah dalam sejarah Islam. Persis seperti hari ini, umat Islam sibuk menaikan bendera kelompok masing-masing dan lupa menunjukkan wajah Islam yang disampaikan Rasulullah saw. Saat itu fitnah keji menyebar tak tertandingi hingga muncul konfrontasi antar suku di jazirah arab seperti Bani Hasyim dan Bani Umayyah, bahkan terjadi ketiaksepahaman Ummul Mukminin Aisyah ra dan Khalifah Ali bin Abu Thalib hingga terjadilah Perang Unta (Perang Jamal/Perang Bashrah).
Dimasa pemerintahannya, Khalifah Ali bin Abu Thalib bertindak tegas bergerak membersihkan jajaran pejabatnya yang dianggap tidak mampu dan tidak layak menjalankan roda pemerintahan dengan baik. Salah satu pejabat yang masuk dalam daftar ganti adalah Muawiyyah bin Abu Sufyan Gubernur Syam. Rupanya tindakan tegas Ali ini menimbulkan masalah pelik.
Calon pengganti Muawiyyah, Sahl bin Hunaif diperintahkan Ali pergi ke Syam tetapi di perbatasan Syam ia ditahan pasukan Muawiyyah dan dipulangkan. Tindakan memulangkan calon gubernur pengganti dianggap sebagai bentuk pembangkangan Muawiyyah bin Abu Sufyan terhadap kepemimpinan Khalifah Ali bin Abu Thalib. Jauh sebelumnya, ketika pengangkatan Ali sebagai Khalifah pun, Muawiyyah dan Bani Umayyah menolak untuk membaiat dengan alasan menuntut mendahulukan pencarian dan menghukum pembunuh Usman bin Affan.
Maka, atas dasar mengamankan benih-benih pemberontakan Ali pun memutuskan penyerangan ke Syam terhadap Muawiyyah bin Abu Sufyan, meski ditentang putra sulungnya Al-Hasan bin Ali.
Rencana penyerangan ke Syam dialihkan menuju Bashrah setelah Khalifah Ali mendengar kabar pergerakan pasukan yang dipimpin Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam bersama Ummul Mukminin Asiyah ra. Ali menganggap hal ini adalah ancaman terbesar hancurnya persatuan umat Islam. Maka Ali bersama 900 pasukan kaum muslimin pun berangkat menuju Bashrah untuk meredakan ketegangan dan menguatkan perdamaian. Meski hal ini pun ditentang beberapa orang seperti Abdullah bin Salam dan putra Ali, Al-Hasan.
Mulanya, ketika Usman bin Affan terbunuh, Ummul Mukminin Aisyah ra bersama sebagian kaum muslimin tengah menunaikan ibadah haji. Mendengar kabar Usman terbunuh dan pengangkatan Ali sebagai khalifah, Bunda Aisyah menampakkan ketidaksetujuan. Pidato Bunda Aisyah yang berapi-api dari balik tirai membakar semangat sebagian umat muslim yang saat itu bersama Bunda Aisyah untuk menuntut pembunuh Usman ditangkap.
Kepulangan Bunda Aisyah dari Makkah pun akhirnya dibelokan ke arah Bashrah untuk mendulang kekuatan besar menuntut penangkapan pembunuh Usman. Meski sempat mendapat fisarat untuk menghentikan perjalanan ke Bashrah yang ditandai munculnya anjing-anjing yang menyalak di sebuah mata air bernama Al Hawa'bu. Namun, Abdullah bin Zubair yang ada dalam rombongan meyakinkan Bunda Aisyah dengan mendatangkan 50 orang penduduk di kawasan itu bersumpah bahwa mata air itu bukanlah mata air Al Hawa'bu.
Aisyah ra sempat mengirimkan surat kepada Ali yang memberitakan keinginan untuk rekonsiliasi. Surat tersebut ditindaklanjuti oleh Ali dengan berpidato dihadapan pasukannya yang mengingingatkan persatuan dan kesatuan umat Islam. Namun akhirnya upaya ini gagal oleh hasutan dan fitnah yang menginginkan Islam kembali dalam keterpurukan. Kelompok pembunuh Usman mengadu domba kedua pasukan dan genderang perang saudara pun pecah.
Kedua pasukan berhadapan di Bashrah, Khalifah Ali dengan 20 ribu pasukannya sementara Aisyah beserta 30 ribu pasukannya. Peperangan pun tak bisa dihindari, pasukan kavaleri berikut pasukan keduapihak telah siaga. Sungguh, kita milik Allah dan kita akan kembali berpulang kepada-Nya. Perkara Allah itu pasti dan telah ditetapkan.
Ketika pasukan Ali datang mendekati pasukan Thalhah bin Ubaidillah, Ali masih berusaha menyerukan perdamaian dan meminta kepada Thalhah untuk tidak membidikan panah. Namun, panah datang berhamburan menghujani pasukan Khalifah. Perang saudara pun pecah. Pasukan Ali mendesak maju, tetapi Ali terus mengingatkan agar mereka tidak menyerang Thalhah bin Ubaidillah. Mendengar itu, Thalhah seolah sadar dari kesalahannya. Namun ketika ia mundur dari pertempuran, sebatang panah datang menghunusnya.
Dengan segera Ali tahu bahwa selama unta yang dinaiki Ummul Mukminin Aisyah ra tetap berjalan, maka pasukan pengikut Bunda Aisyah akan tetap melawan. Ali pun memerintahkan agar kedua kaki unta ditebas. Pelangkin diturunkan. Ali mendekat dan mendoakan Bunda Aisyah, demikian juga dari dalam pelangkin Bunda Aisyah mendoakan Ali. Pertempuran pun selesai. Baik Aisyah dan Khalifah Ali menyesali peristiwa ini. Namun semua itu harus dibayar oleh darah ribuan kaum muslimin yang gugur. Dan tersimpan dalam sejarah Islam, keutuhan umat Islam hancur oleh rasa tidak memiliki dan kesombongan nama besar kelompok yang dibakar oleh fitnah dan hasutan kelompok yang tidak ingin umat Islam berjaya.
***
Semoga ini menjadi pelajaran, untuk umat Islam Indonesia hari ini. Mari kita tunjukan wajah Islam yang damai dengan bersungguh-sungguh dan berkompetisi menunjukkan kebaikan diri. Berhenti menyebar kebencian, utamakan persaudaraan. Maka tatanan sosial semasa kepemimpinan Rasulullah saw, akan terwujud di bumi Indonesia.
*Referensi: Al Bidayah wa An-Nihayah, Kisah Para Sahabat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H