Mohon tunggu...
Erick kusnomo
Erick kusnomo Mohon Tunggu... Jurnalis - Mengubah sudut pandang menjadi lebih mudah

Learning to read

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokratisasi Subyektivitas

29 Maret 2024   12:52 Diperbarui: 29 Maret 2024   13:07 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bulan februari tepat nya tgl 14 kemarin, kita telah melaksanakan hajat kolektif di alam demokrasi, Indonesia tercinta.

Ada beberapa yg menjadi catatan tersendiri dalam pemilu kemarin, walaupun memang di ajang politik 5 tahunan itu memang selalu meninggalkan catatan kusus bagi masyarakat Indonesia dari masa ke masa .

Terbaru pemilu 2024 , memang tidak jauh berbeda dengan pemilu sebelumnya kita di suguhi 5 kertas suara yg berbeda tentunya juga berbeda calon dan posisi nya mereka yg di kemas ke kertas besar (lupa ukuran nya berapa) lalu di suguhkan ke kita untuk di pilih yang nanti nya di hitung lalu di konversi jumlah suara yg di dapat , dan di tentukan siapa pemenangnya dari hasil suara terbanyak.

Nampak terlihat begitu normal dan sangat demokratis.

Tapi kita harus melihat proses nya untuk sampai ke tahap pemungutan dan penghitungan suara , di situ ada 6 bulan tempo bulan dari masa pendaftaran sampai hari H.

Di tahapan ini semua terlihat begitu tidak demokratis, dan lebih subyektif

Ada beberapa calon mulai dari legislatif sampai pasangan capres dan cawapres

Kenapa?

Pemodal berlomba lomba merapatkan barisan nya ke parpol, demi kepentingan pribadi

Loh bukan sprti itu , ..

"Kami ingin memperjuangkan kepentingan masyarakat luas , terkhusus masyarakat di wilayah dapil kami" , jawab salah satu caleg

Ini menjadi ironi, dgn logika sederhana, melihat dari perspektif umum dan awam la kenapa harus capek nyaleg kalo sudah punya harta melimpah ruah.

Kemudian ini juga tidak adil, ketika dalam konteks alam demokrasi setiap warga negara berhak di pilih dan memilih.

Dari sini mulai ketemu titik relevansi dengan judul .

Pemodal berbondong-bondong mencalonkan diri , merias diri , ormas Islam menjadi salon untuk merias diri parpol menjadi tunggangan tergantung lobi-lobi

Kemudian di suguhkan ke masyarakat yang awam, subyektivitas dan personiltas figur kemudian terlihat di sini meninggalkan ideologi partai.

Sebetulnya ideologi  ini  mewakili berbagai klaster masyarakat tertentu , sangat menarik

Bila caleg/utusan partai politik nya itu membawa ideologi partai ke masyarakat tapi ironi nya caleg hanya memamerkan citra dirinya sendiri hingga akhirnya masyarakat tidak mengetahui partai politik itu fungsinya apa , apa yang mereka lakukan di tubuh parpol itu sendiri lantaran si caleg lebih melakukan hal demikian.

Hingga kemudian ini akan problematika di tengah-tengah masyarakat luas, mau di kemanakan demokrasi kita ?

Masyarakat lebih percaya figur dari pada parpol, sementara dalam demokrasi Indonesia tercinta parpol itu memiliki fungsi sebagai wadah idelogi yang mewakili berbagai tujuan masyarakat, sedangkan DPR dari fraksi partai sebagai representasi parpol itu sendiri

Kedepannya saya berharap legislator dan semua jajaran terpilih di ajang 5 tahunan ini bisa melihat demokrasi lebih obyektif

Saya mengutip dari kata-kata di "tik tok"

(Di masa-masa yang sulit akan melahirkan manusia yang hebat , di masa-masa hebat akan melahirkan manusia biasa-biasa saja dan seperti itu seterusnya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun