Mohon tunggu...
Erick Iskandar
Erick Iskandar Mohon Tunggu... Konsultan - Trainer I Coach I

Helping People Flourish. Founder of Lighthouse Training. https://lighthousetraining.org

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Dilema Bos antara Bersikap "Too Nice" dan "Not Nice Enough"

13 Juli 2021   12:52 Diperbarui: 15 Juli 2021   05:01 1029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Niceness Bell Curve dalam buku CEO Next Door (lighthousetraining.org)

Bos yang bersikap "terlalu baik" sebenarnya tidak baik, dan Bos yang bersikap "kurang baik" juga sesungguhnya tidak baik.

Bos yang baik perlu menjaga keseimbangan dalam perilaku kepemimpinan-nya antara bersikap "too nice" dengan "not nice enough". 

Botelho dan Powell dalam karyanya "The CEO Next Door" menyatakan bahwa efektivitas kepemimpinan terjadi dan performance bisnis mencapai puncak ketika sang Bos mampu menunjukkan sikap dan perilaku yang berada pada rentang antara "too nice" dengan "not nice enough".

Niceness Bell Curve dalam buku CEO Next Door (lighthousetraining.org)
Niceness Bell Curve dalam buku CEO Next Door (lighthousetraining.org)

Bos yang "too nice"

Pemimpin / Bos yang "too nice" terkadang merasa kasihan/tidak tega pada orang lain sehingga tidak memberikan ketegasan yang menjadi prinsip dalam bisnis / manajemen. 

Hal ini berbahaya karena perilaku buruk yang "dibiarkan" akan memberi efek bola salju penurunan semangat kinerja tim yang lain.

Jika Pemimpin/Bos menahan dan tidak memberikan feedback karena merasa tidak enak atau “harusnya dia sudah tahu”, maka ia kehilangan momen penting untuk membuat timnya bertumbuh melalui proses feedback.

Jangan sampai rasa kasihan/tidak enak/“nanti dia tersinggung” menghalangi kita sebagai pemimpin untuk memberikan feedback dan ketegasan yang membangun anggota tim kita dan menjaga proses kerja tetap on the track.

Menjadi "too nice" juga berbahaya karena bisa mendorong sang pemimpin untuk berusaha tampil sebagai "orang baik" yang berupaya menyenangkan sebanyak mungkin orang dan mengabaikan prinsip yang lebih besar untuk kepentingan organisasi.

Salah satu ciri pemimpin / Bos yang “too nice” adalah memberikan penilaian kinerja dipukul rata bagus semua untuk semua anggota timnya tanpa berdasarkan pertimbangan dan kriteria yang jelas dan objektif. 

Mungkin tujuan awal sang pemimpin / Bos adalah agar adil bagi semua timnya – tanpa ia sadari justru hal ini malah menciptakan ketidakadilan bagi timnya.

Bisa jadi niat Pemimpin/Bos untuk berusaha “tampil baik” adalah untuk menciptakan suasana kerja yang nyaman dan aman. Namun kita perlu ingat juga, bahwa suasana kerja yang nyaman saja tidak cukup. 

Kita tetap perlu suasana kerja yang “strive for excellence”, di mana setiap anggota tim senantiasa totalitas dalam memberikan kinerja terbaiknya. 

Suasana ini hanya dapat tercipta ketika pemimpin set the expectation / standard untuk bersama mencapai tujuan organisasi dan tidak terjebak menjadi "too nice".

Bos yang "not nice enough"

Sementara, Bos yang "not nice enough" juga berbahaya karena ketika sang Bos tidak mendengarkan orang lain, kurang empatik, mengucapkan kata-kata kritik tajam, memberikan pressure berlebihan, ataupun keseringan judes, maka hubungan kepercayaan dan engagement tim akan rendah.

Pemimpin/Bos perlu melatih kesadaran dirinya terhadap perilaku-perilakunya yang “not nice enough”: bagaimana perilakunya saat mengutarakan ketidaksetujuan di meeting, apa yang ia katakan saat ingin mengoreksi anggota timya di depan umum.

Sikap apa yang ia tunjukkan saat ia sedang bad mood, dsb. Keadaran diri yang terpelihara akan menjadi guidance bagi sang Bos untuk tidak terjebak menjadi “not nice enough”.

Pemimpin perlu menjaga keseimbangan diantara "too nice" dan "not nice enough". Sebab business performance / result tercapai optimal ketika pemimpin mampu berpijak dengan kokoh diantara dua kutub kontinum tersebut. Bahwa result dan relationship adalah hal yang sama-sama dapat dicapai.

Kepemimpinan bukanlah mengenai menyenangkan orang lain melainkan mengenai melakukan apa yang benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun