“Tas nya! Tas nya!” Begitu keras setengah membentak, laki-laki yang kuperkirakan berusia pertengahan 40an itu berseru, sambil menepuk-nepuk bahuku dengan kasar, memerintahkan aku untuk menahan tas kami di bagasi belakang agar pintu mobil belakang bisa ditutup, pada hari terakhir kami berlibur di Alor, tepatnya ketika kami harus berangkat ke airport bertolak ke Kupang, dengan mobil sewaan yang telah dipesankan untuk kami.
Sungguh aku gak suka nada bicaranya. Jujur saja, aku juga gak suka cara dia menepuk bahuku seperti itu. Dan aku juga gak suka lagaknya yang tidak ramah, kasar dan seenaknya itu. Bahkan, aku amat gak suka sama air muka nya! Rupanya aku memang gak suka sama orangnya!!!! Tentu bukan tanpa alasan mengapa aku gak suka pada orang itu. Sebelum itu aku berpapasan dengan dia 2x dengan cara yang jauh dari simpati. Pertama di airport Alor yang mungil itu, dimana aku sedang mencari seseorang bernama Yoppie yang ditugasi menjemput kami oleh pemilik resort tempat kami menginap di pulau Kepa, Sudah 20 menit kami menunggu, udara sangat panas, tidak ada tempat duduk sebagaimana airport umumnya, namun orang yang ditunggu belum muncul juga. Petugas airport pun tidak ada satupun yang menampakkan diri. Signal Matrix dan XL ku tewas. Bagus!
Karenanya, aku memberanikan diri bertanya kepada orang-orang yang berkerumum di luar, apakah ada yang bernama Yoppie dari L’apetite Kepa dan sekalianlah menanyakan beberapa informasi tentang Kepa dan Alor untuk memuaskan rasa penasaranku. Dan… Disitulah aku melihat orang itu tertawa sinis dan mengucapkan beberapa kata dalam bahasa yang tidak aku mengerti dengan nada meremehkan.. Entah apa maksudnya.. Kenal saja tidak! Itu dosa pertamanya..
Dosa dia yang kedua adalah, pada hari kedua. Ketika kami pulang dari kampung Takpala, kampung tertua suku tertua Alor yang dilindungi dan dilestarikan oleh Pemerintah. Sore itu, matahari sangat bersahabat, kami baru saja membagi-bagikan susu dan biskuit kepada anak-anak penduduk pulau, bercakap-cakap dengan sukacita, dan tak lupa mengambil foto bersama mereka. Mood kami sangat baik, hari itu sungguh hari yang indah dimana langit dan laut sama biru dan jernihnya. Langkah kami ringan sambil berceloteh bercanda, membayangkan malam harinya terang bulan, akan menikmati beberapa ekor ikan-udang-cumi-cumi bakar yang kami pesan langsung dari nelayan, mencocolnya dengan sambal kecap cabe rawit yang diperasi sebutir lemon. Nyammmm…
Dan hari itu agak ternoda sedikit manakala kami berpapasan dengan spesies satu itu. Dengan nyinyirnya tanpa ditanya, ia mengomentari kami, khususnya dia menunjuk kepadaku, “Kemarin saya sudah liat dia di airport. Tanya-tanya airport-dermaga berapa jauh, tanya-tanya dari dermaga ke Kepa berapa lama. Sok borjuis tanya si Yoppie dan sebut-sebut L’apetite.” Telingaku panas seketika! Berasap kukira.. Rasanya kalau aku tidak waras saja, ingin kulempar orang itu dengan sekerat susu dan sekotak biskuit yang hendaknya akan kami berikan kepada cucunya bibi nenek yang sehari tiga kali memasakkan kami makanan yang lezat-lezat khas Alor, dan tak lupa beberapa jumput batu besar bila kutemukan disitu.
Arghh! Sebal sekali aku sama orang itu. Perawakannya memang cukup tinggi. Badannya cukup tegap untuk ukuran orang kampung. Ilmu body combatku kira-kira cukup gak ya men side-kick orang itu? Duh ragu-ragu juga aku, bolos melulu soalnya.. Yang pasti dia gemar berkacamata hitam, pasti ada yang ditutupi itu.. Mungkin gak sih mata nya putih semua???? Kulitnya gelap, rambutnya bermodel ‘spike’ ala temen-temen ABG nya si Nate, dan garis rahangnya keras, keras sekali, bibirnya juga gelap (ah semua juga gelap..) seperti disulam (sulam bibir yang nge trend di kalangan perempuan itu loh, yang diisi dengan warna-warna cantik agar bibir menjadi cantik merekah..). Yah.. bibirnya pasti disulam dengan oli panas punya…
Dilihat dari dimensi manapun, memang orang itu menyebalkan. Ya cara nya berdiri, ya caranya dia jalan, caranya bicara.. Ahha..! Diam saja dia sudah menyebalkan, apalagi bicara! Hari itu pasti bukan hari baiknya. Karena ia kembali bertemu aku. Perempuan keras kepala yang bisa membuatnya marah, galau, emosi jiwa, ngambek dan sekaligus bersemangat meski aku tak melakukan dan tak mengatakan apapun kepadanya.
Yah, dia marah besar hari itu, dan itu adalah Dosa ke- Tiganya.. Ketika sapaannya yang ‘penuh sopan santun dan tulus itu’ tak kurespon sekalipun. Menolehpun aku tidak, apalagi menjawabnya. Aku hanya mengunci pandanganku lurus ke depan dan rapat-rapat menutup mulutku seolah-olah aku tidak melihat penampakannya disitu dan tidak mau diganggu.. Rupanya, dia tersinggung berat!
Ratusan kata-kata mutiara indah diatas logam mulia dihadiahkannya kepadaku ditambah dengan dua tendangan ala Irfan Bachdim mendarat mesra pada koper kesayangan *Jenderal Kejora*, yang membuatnya tumbang dengan telak, plus sebuah bantingan pintu belakang yang sempat membuat dua nelayan yang menaikkan koper kami mengaduh tertahan. Ahaaaa! Kita menghadapi manusia gua!!!!
“Eh *Aci*..! Aci sombong sekali ya! Aci tau! Aci itu tidak cantik! Istri saya orang china, 100x lipat lebih cantik dari Aci!!!” Aku menulikan diri tapi aih terdengar juga. Sebel!
“Aci fikir aci ini siapa? Sudah hebat sekali aci? Aci tidak tau aci sedang berhadapan dengan siapa?”»Hadeuh dia sendiri gak tau dirinya siapa, apalagi kita???