Mohon tunggu...
Eriton
Eriton Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Berjejaring dalam Kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pilkada 2020 Merawat Daulat Rakyat

7 Desember 2020   11:37 Diperbarui: 7 Desember 2020   11:53 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: news.detik.com

Pemilihan kepala daerah adalah rangkaian proses demokrasi di tingkat lokal dalam menentukan pemimpin daerah. Tahun ini, Komisi Pemilihan Umum mencatat paling tidak ada 224 Kabupaten, 37 Kota dan 9 Propinsi dipastikan ikut serta. 

Rakyat di daerah tersebut mendapat giliran berpartisipasi 9 Desember mendatang. Ritual demokrasi tahun ini berdasar pada keputusan bersama KPU, DPR, Pemerintah, dan DKPP. Yang diperkuat dengan Peraturan KPU nomor 10 tahun 2020 tentang perhelatan Pilkada Serentak di tengah pendemi Korona.

Sebelumnya organisasi kemasyarakatan Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama punya pertimbangan lain. Dua ormas Islam terbesar ini meminta pilkada serentak diurungkan. Namun tulisan ini ogah masuk dalam ranah perdebatan itu. Sebab pemerintah memiliki dalih sendiri agar pilkada digelar walau negeri tengah berjibaku lawan pandemi. Alasan satu-satunya yang memang urgen adalah ancaman wabah Covid-19 terhadap keselamatan publik. Sehingga jalan tengahnya, regulasi pemilu haruslah disertai ragam siasat menghentikan laju penularan atau paling tidak memperkecil dampaknya.

Pemilukada di tengah pandemi sebenarnya bukanlah soal. Sebab pendemi hanyalah tantangan teknis yang mungkin dicarikan solusi tanpa bermaksud mengentengkan pendemi. Layak dieksekusi sejauh peserta, penyelenggara, pemerintah, dan semua elemen masyarakat solid menerapan protokol kesehatan. Justru esensial sejauh mana garansi daulat rakyat senantiasa bergulir di atas rel yang seharusnya.

Kita meyakini konsep kekusaan tertinggi ada di tangan rakyat. Kemudian ditransfer melalui pemilu lima tahunan. Masyarakat memberikan hak suaranya untuk memastikan siapa yang pantas diberi mandat. Hal ini termaktub dalam konstitusi kita, pada pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar. Legitimasi konstitusi inilah yang menjadi alasan mengapa peran masyarakat elementer di panggung demokrasi.

Demokrasi deliberatif (perwakilan) perlahan menumpulkan daulat rakyat. Partisipasi masyarakat dimaknai sampai di bilik suara. Setelahnya hampir tidak terlibat sama sekali terutama mengontrol jalannya kekuasaan. Reduksi ini kemudian berimplikasi pada kejenuhan masyarakat dengan proses pemilu. Abai terhadap visi dan misi kontestan serta menutup mata terhadap segala lakon kontestan. Terlebih lagi dibanyangi ketakutan tertular virus. 

Pemilu sejatinya lebih dari sekadar pergantian kekuasaan. Menjadi momentum rakyat mengevaluasi kinerja partai politik, kandidat, dan menentukan arah pembangunan daerah ke depan serta jauh dari praktik korupsi. Output sebaliknya timbul jika masyarakat lokal cuek, mengamini partai politik ugal-ugalan, dan diam tatkala partai atau koalisi partai melakoni money politic untuk memenangkan calon tertentu.

Recall Daulat Rakyat

Kedaulatan rakyat berada di atas segalanya. Ruang parpol yang hendak mendikte sangat mungkin ditutup rapat-rapat. Di pilkada 2020 rakyat punya peluang besar untuk mengembalikan marwahnya sekaligus menghukum partai politik yang kerap menyimpang. Ini diafirmasi sistem kepemiluan kita yang diatur menjadi beberapa klauster seperti pilpres, pilkada, dan pileg. Waktu penyelenggaraan yang berbeda layak dimanfaatkan oleh masyarakat menakar kinerja partai politik selama ini. Artinya masyarakat dapat berpartisipasi tanpa harus menunggu kurun 5 tahun.  

Masyarakat jangan kehilangan akal untuk memperkokoh kedudukannya di mata peserta pemilu. Menurut Saldi Isra (2017), paling tidak ada beberapa tolok ukur sebagai basis logis pemilih. Pertama, track record. Rekam jejak bisa diungkap secara terang melalui ragam dimensi. Keterlibatan partai atau wakilnya mendukung kebijakan yang kurang menguntungkan akar rumput. Yang masih segar di ingatan publik misalnya, kontroversi Omnibus Law rancangan UU KUHP, dan lain sebagainya.

Hasil survey Saiful Mujani Reserach and Culsulting 2016, publik menilai partai politik dikatagorikan lembaga yang paling tidak dipercaya publik dan kinerja anggotanya di parlemen buruk. Kinerja selama menjabat berlaku bagi incumbent terkait keseriusan menjalankan visi misi dan janji selama kampanye. Secara riil menyimpang atau tidaknya dapat dirasakan langsung tanpa basa-basi.

Kedua, menerawang partai pelaku korupsi. Korupsi di tingkat lokal sangat mudah dilacak. Karena masyarakat paham dan dekat fakta-fakta lapangan. Kesungguhan anti korupsi partai, caleg atau kandidat kepala daerah wajib ditimbang. Salah satunya, Partai apa saja yang mengamini revisi UU KPK yang disinyalir melemahkan pemberantasan korupsi. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat di senayan juga dapat dievaluasi secara berkala. Ada berapa banyak wakil rakyat yang berurusan dengan KPK baik di daerah maupun tingkat pusat.

Ketiga, keseriusan terhadap desentralisasi politik. Wacana desentralisasi telah dikumandangkan sejak reformasi 1998. Kita bersepakat bahwa kekuasaan perlu diberikan kepada daerah sebab daerah punya peran strategis dalam menyokong pembangunan nasional. Sehingga, praktik parpol yang mengatrol kadernya ke dapil yang sebenarnya bukan daerah asalnya akan sangat berbahaya. 

Selain konstituen di daerah berpotensi dianaktirikan juga pendekatan dibangun secara sporadis dan dadakan. Akibatnya, pembangunan daerah yang diwakili tidak berjalan maksimal dan cenderung mandeg. Gaya partai mengusung kandidat impor ini setidaknya menjadi salah satu kalkulasi.

Keempat, partai doyan money politic. Ujaran "terima uangnya, jangan pilih orangnya" belakangan menjadi bumerang. Menjadi candu, masyarakat kian pragmatis dan permisif dengan politik uang. Sementara cost politik yang dikucurkan peserta pemilu semakin besar sebab konstituen yang hipokrit. Walhasil korupsi di daerah merajalela. Hal ini terbukti dari data Indonesia Corruption Watch (ICW) Oktober 2020, selama 1 dekade terakhir sebanyak 294 kepala daerah terseret KKN.

Walaupun demikian, langkah konkrit pasangan calon kepala daerah untuk mengentaskan kemisikinan, meningkatkan mutu pendidikan daerah, program menanggulangi ancaman krisis pangan, tidak kalah penting pula adalah akses jaringan internet untuk guru, pelajar, dosen, dan mahasiswa selama pandemi. Selain itu, adu strategi penanganan Covid-19. Akses jaringan internet dan penangan dampak Korona menjadi poin utama sebab merupakan persoalan teranyar di masyarakat saat ini.

Oleh karenanya, pilkada yang tinggal menghitung hari diupayakan condong pada upaya memperbaiki kualitas demokrasi kita. Seiring diksi-diksi mengenai kemunduran demokrasi cukup kuat mencuat belakangan. Salah satu faktornya disebabkan superioritas partai yang tidak mampu dikendalikan rakyat. Partai politik apatis sudah sepantasnya menerima konsekuensi atas pengkhianatan yang dilakukan. Masyarakat perlu berkonsentrasi pada isu-isu substansial yang mencuat bukan sebaliknya yang memicu perpecahan, dan politik identitas. Pilihan yang berdasar patronase atau partai politik tentu sah-sah saja. Sejauh memiliki kesadaran berorientasi pada pembangunan di masing-masing daerah.

*Artikel ini pernah dimuat di newmalangpos.id pada 7 Desember 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun