Hasil survey Saiful Mujani Reserach and Culsulting 2016, publik menilai partai politik dikatagorikan lembaga yang paling tidak dipercaya publik dan kinerja anggotanya di parlemen buruk. Kinerja selama menjabat berlaku bagi incumbent terkait keseriusan menjalankan visi misi dan janji selama kampanye. Secara riil menyimpang atau tidaknya dapat dirasakan langsung tanpa basa-basi.
Kedua, menerawang partai pelaku korupsi. Korupsi di tingkat lokal sangat mudah dilacak. Karena masyarakat paham dan dekat fakta-fakta lapangan. Kesungguhan anti korupsi partai, caleg atau kandidat kepala daerah wajib ditimbang. Salah satunya, Partai apa saja yang mengamini revisi UU KPK yang disinyalir melemahkan pemberantasan korupsi. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat di senayan juga dapat dievaluasi secara berkala. Ada berapa banyak wakil rakyat yang berurusan dengan KPK baik di daerah maupun tingkat pusat.
Ketiga, keseriusan terhadap desentralisasi politik. Wacana desentralisasi telah dikumandangkan sejak reformasi 1998. Kita bersepakat bahwa kekuasaan perlu diberikan kepada daerah sebab daerah punya peran strategis dalam menyokong pembangunan nasional. Sehingga, praktik parpol yang mengatrol kadernya ke dapil yang sebenarnya bukan daerah asalnya akan sangat berbahaya.Â
Selain konstituen di daerah berpotensi dianaktirikan juga pendekatan dibangun secara sporadis dan dadakan. Akibatnya, pembangunan daerah yang diwakili tidak berjalan maksimal dan cenderung mandeg. Gaya partai mengusung kandidat impor ini setidaknya menjadi salah satu kalkulasi.
Keempat, partai doyan money politic. Ujaran "terima uangnya, jangan pilih orangnya" belakangan menjadi bumerang. Menjadi candu, masyarakat kian pragmatis dan permisif dengan politik uang. Sementara cost politik yang dikucurkan peserta pemilu semakin besar sebab konstituen yang hipokrit. Walhasil korupsi di daerah merajalela. Hal ini terbukti dari data Indonesia Corruption Watch (ICW) Oktober 2020, selama 1 dekade terakhir sebanyak 294 kepala daerah terseret KKN.
Walaupun demikian, langkah konkrit pasangan calon kepala daerah untuk mengentaskan kemisikinan, meningkatkan mutu pendidikan daerah, program menanggulangi ancaman krisis pangan, tidak kalah penting pula adalah akses jaringan internet untuk guru, pelajar, dosen, dan mahasiswa selama pandemi. Selain itu, adu strategi penanganan Covid-19. Akses jaringan internet dan penangan dampak Korona menjadi poin utama sebab merupakan persoalan teranyar di masyarakat saat ini.
Oleh karenanya, pilkada yang tinggal menghitung hari diupayakan condong pada upaya memperbaiki kualitas demokrasi kita. Seiring diksi-diksi mengenai kemunduran demokrasi cukup kuat mencuat belakangan. Salah satu faktornya disebabkan superioritas partai yang tidak mampu dikendalikan rakyat. Partai politik apatis sudah sepantasnya menerima konsekuensi atas pengkhianatan yang dilakukan. Masyarakat perlu berkonsentrasi pada isu-isu substansial yang mencuat bukan sebaliknya yang memicu perpecahan, dan politik identitas. Pilihan yang berdasar patronase atau partai politik tentu sah-sah saja. Sejauh memiliki kesadaran berorientasi pada pembangunan di masing-masing daerah.
*Artikel ini pernah dimuat di newmalangpos.id pada 7 Desember 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H