Mohon tunggu...
Eri Triwulandari
Eri Triwulandari Mohon Tunggu... Lainnya - bekerja di dunia bahasa

Ketika ada sesuatu yang terus berkeliaran dalam benak saya, saya bisa melepaskannya dalam tulisan. Hanya satu yang harus saya lawan: rasa malas. :))

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bahasa Para Juara

3 September 2020   18:20 Diperbarui: 6 September 2020   20:43 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Misalnya, Serena Williams, legenda hidup dari Amerika Serikat. Ia belajar bahasa Prancis karena ingin menjuarai Prancis Terbuka dan ingin berbicara dalam bahasa Prancis dalam pidato kemenangannya. Selain itu, ia beralasan pula bahwa negara-negara di Afrika (Serena beretnis Afro-Amerika) menggunakan bahasa Prancis atau Inggris sebagai bahasa utama di samping bahasa lokal.

Walaupun saya lebih dahulu mengikuti wawancara-wawancara para pemain basket, saya baru tertarik dengan fenomena multilingualisme itu di dunia tenis karena pemain basket NBA pada umumnya adalah orang Amerika Serikat, yang bahasa pertama dan utamanya adalah bahasa Inggris, dan kompetisi mereka berlangsung di Amerika Serikat sehingga wawancara yang harus mereka hadapi pun tentu dalam bahasa Inggris. Selain itu, pemain dari luar Amerika Serikat didominasi oleh pebasket dari Kanada dan Australia yang notabene juga berbahasa ibu bahasa Inggris. Jadi, mereka (merasa) cukup berbahasa Inggris.

Jadi, tidak ada poliglot di NBA? Dalam perkembangan NBA sebagai liga basket tersohor, banyak pemain internasional, dari luar Kanada dan Australia, yang turut berpartisipasi dan berkontribusi di NBA, seperti pebasket dari Prancis (Nicolas Batum, Rudi Gobert, dkk.), Spanyol (Gasol bersaudara, Ricky Rubio, dkk.), Brazil (Anderson Varejao, Leandro Barbosa, dkk.), Italia (Marco Belinelli, Danilo Gallinari, dkk.), Serbia (Bojan Bogdanovic, Nikola Jokic, dkk.), Yunani (Giannis Antetokounmpo, Peja Stojakovic, dkk.), Turki (Ersan lyasova, Enes Kanter, dkk.), dan negara-negara di Afrika (Joel Embiid, Luol Deng, dkk.). 

Sepengetahuan saya, pada umumnya mereka adalah dwibahasawan dengan kemahiran berbahasa Inggris yang beragam. Kedwibahasaan itu kadang digunakan untuk menghindari hukuman saat pertandingan berlangsung. Dalam aturan pertandingan NBA, pemain akan mendapat hukuman jika mengumpat di lapangan. Di antara pemain internasional itu, ada pemain yang mengumpat dalam bahasa ibunya yang bukan bahasa Inggris. Karena wasit tidak mengerti bahasa ibu mereka, pemain itu pun luput dari hukuman.

Nah, yang istimewa adalah Dikembe Mutombo, Serge Ibaka, dan Kobe Bryant. Dikembe Mutombo dan Serge Ibaka berasal dari Kongo. Kepoliglotan Mutombo dan Ibaka menjadi lazim karena di Afrika, termasuk Kongo, terdapat hampir 2.000 bahasa yang digunakan dalam masyarakat dengan bahasa resmi Prancis, Inggris, dan/atau Arab sehingga pada umumnya seseorang yang berasal/tinggal di Afrika memang menguasai lebih dari dua bahasa. Menurut Mutombo, di dalam keluarganya saja digunakan empat bahasa Afrika. Mutombo berkarir di NBA tahun 1991--2009. Mantan pemain NBA ini dikenal dengan kemahirannya dalam berbahasa Inggris, Prancis, Portugis, Spanyol, Tshiluba, Swahili, Lingala, dan Congolese, bahasa ibunya. Serge Ibaka merupakan pemain yang masih aktif bermain untuk tim Toronto Raptors. Ia menguasai bahasa Lingala (bahasa ibunya), Prancis (bahasa resmi Republik Kongo), Inggris, Catalan, dan Spanyol. Lalu, bagaimana denga Kobe Bryant? Legenda basket yang kepergiannya beberapa bulan lalu mengejutkan dan memurungkan hati banyak orang itu menguasai bahasa Inggris, Italia, dan Spanyol. Ia mahir berbahasa Italia karena menghabiskan masa kecilnya di Italia. Dengan latar belakang itu, mereka dapat meladeni reporter dalam beberapa bahasa pada saat konferensi pers.

Baiklah. Untuk dunia MotoGP dan Formula 1 baru sedikit pebalap yang saya kenali performanya, baik di lintasan, maupun di depan mikrofon karena baru setahun belakangan ini saya menonton arena adu pacu ini. Yang menarik adalah podium MotoGP, selama saya ikuti, dikuasai oleh pebalap yang bahasa ibunya non-bahasa Inggris, seperti Marc Marquez (Spanyol), Valentino Rossi (Italia)--walaupun sudah lama tidak naik podium, Rossi kembali unjuk gigi dengan meraih peringkat ketiga di Andalusia bulan Juli lalu--, Fabio Quartararo (Prancis), Andrea Dovizioso (Italia), Maverick Vinales (Spanyol), Franco Morbidelli (Italia), Joan Mir (Spanyol), dan Miguel Oliveira (Portugis), yang bulan lalu sukses membuat kehebohan pada detik-detik terakhir balapan di Spielberg. Hanya dua pebalap yang berbahasa ibu atau berbahasa formal bahasa Inggris yang bisa menembus dominasi mereka, yaitu Jack Miller (Australia) dan Brad Binder (Afrika Selatan). Jadi, podium MotoGP didominasi oleh bahasa Inggris berlogat Spanyol, Italia, dan Prancis. Tampak jelas bahwa mereka berbahasa Inggris dan menjadi dwibahasawan, tidak sampai menjadi poliglot, karena "tuntutan" media dan publik internasional.   

Berbeda dengan arena MotoGP, arena Formula 1 justru didominasi oleh pebalap yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama atau bahasa kedua, seperti Lewis Hamilton, Lando Norris, dan George Russel (Inggris), Daniel Ricciardo (Australia), Lance Stroll dan Nicolas Latifi (Kanada), dan Charles Leclerc (Monako). Di arena mobil balap ini juga saya melihat kecenderungan pebalap yang berusaha untuk berbicara atau minimal memahami bahasa yang digunakan oleh tim konstruktor mobil yang mereka bela dan publik pendukung di negara konstruktor itu, apalagi jika konstruktor itu sudah punya nama besar dan pendukung yang fanatik serta masif, seperti Ferrari (Italia) dengan tifosi-nya. Itu salah satu faktor lahirnya kemahiran berdwibahasa atau bermultibahasa. Contohnya adalah Fernando Alonso, pebalap asal Spanyol ini bergabung di Scuderia Ferrari tahun 2010--2014 dan dapat berbahasa Italia. Selain itu, Nando dapat berkomunikasi dengan bahasa Spanyol tentu saja, Inggris, dan Prancis (ia menjadi pebalap tim Renault, Prancis pada tahun 2003--2006 dan 2008--2009). Sebastian Vettel (Jerman), pebalap Ferrari (sebelumnya juga pernah bergabung di Toro Rosso, Italia) juga dapat berbahasa Italia, selain menggunakan bahasa ibunya, bahasa Jerman, dan bahasa Inggris. Namun, Nico Rosberg (Jerman) diketahui menguasai bahasa Jerman, Inggris, Spanyol, dan Italia walaupun tidak pernah bergabung dengan tim Italia. Tentu itu tidak terlepas dari bakat dan minatnya dalam berbahasa yang terasah dengan tur Formula 1 di berbagai negara dan pergaulan internasionalnya. O ya, Fernando Alonso adalah juara dunia F1 tahun 2005 dan 2006, Sebastian Vettel menjadi juara dunia F1 empat tahun berturut-turut, 2010--2014, dan Nico Rosberg menjadi juara dunia F1 pada tahun 2016.

Jadi, begitulah. Ketika menjadi "milik" dunia, seorang atlet dengan berbagai keuntungan dan tuntutan di sekelilingnya dapat atau harus pula menjangkau dunia dengan bahasanya. 

Untuk menutup tulisan ini saya kutip perkataan Dikembe Mutombo tentang belajar bahasa: "Belajar bahasa itu menyenangkan karena bahasa adalah seni yang menginspirasi seseorang. Kau merasakan melodi ketika belajar bahasa. Ketika berbicara dalam satu bahasa, misalnya bahasa Prancis, kau merasakan melodi mengalun di benakmu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun