Sepakbola selalu memiliki dinamika, mampu memainkan emosi kepada pecandunya. Bahkan emosi itu sering terjun dalam hati yang paling dalam kemudian tumbuh menjadi benih-benih sensitif yang jauh dari akal sehat. Tidak heran jika banyak peristiwa aneh-aneh yang meracuni pecandu sepakbola. Kekerasan, pelecehan, pembunuhan, lupa ingatan, lupa daratan, lupa saudara, lupa teman dan lupa sepak bola hanya sebuah olahraga.
Saking lupanya menjadikan diri tak mampu sadar benak dan sadar nurani, sehingga pecah kongsi antara otak dan hati. Hati kita sudah jatuh cinta dengan sepakbola Indonesia yang selalu di puja-puja dan dibela berdarah-darah, tapi sayang otak kita baru tahu sepakbola negeri ini miskin prestasi.
Tak pernah mau mengerti bahwa sepakbola menjadi tontonan aneh namun nyata. Banyak klub sepakbola yang begitu mudah dan tanpa beban ingkar bayar janji bayar gaji atau melunasi pinjaman yang lewat bulan.
Lebih aneh lagi klub sepakbola tanpa penonton, tanpa sponsor mampu hidup bertahun-tahun. Dari mana mereka memperoleh uang sementara biaya operasional banyaknya bukan kepalang. Ketika dihitung secara bisnis seharusnya tercium bau amis. Tapi nyatanya klub bisa berkiprah dan demi sepakbola semangat tak pernah menyerah.
Disisi lain ada klub sepakbola yang selalu penuh dengan atribut sponsor dan penyandang dana. Ketika berlaga seluruh kursi selalu padat oleh peminat. Karcis selalu habis di depan loket yang belum dinyatakan finish sudah laris manis. Tapi sayang diakhir kompetisi selalu nyaring terdengar berita yang mebuat pemain kecewa. Klub dalam kondisi merugi dan maaf belum bisa mengucurkan gaji. Haaa................. antara otak dan hati telah telah pecah kongsi. Hatinya tahu uang sponsor dan tiket ada dimana, tapi otaknya lupa rekening di bank apa.
Itulah sepakbola selalu memiliki dinamika, ada yang pintar dan ada yang mudah dimainkan oleh orang yang pintar. Yang pintar adalah yang sadar bahwa sepakbola hanya permainan semata yang mampu menyediakan tahta dan harta. Mampu menyulap pertandingan menjadi virus fanatisme kepada penggemarnya. Mampu menciptakan harapan dan mimpi mimpi indah untuk fans beratnya serta mampu memainkan emosi ketika prestasi tak pernah direngguh.
Pandai mengeluh atas nama jutaan rakyat yang nasibnya sedang menderita gara-gara sepakbola tak lagi ada kompetisi. Menunjuk pedagang kaki lima telah kehilangan nafkah karena lapangan sepi tak ada pembeli. Berteriak kencang meminta Presiden turun tangan.
Namun apa yang dia kata ketika Piala Presiden terselenggara? Rupanya sudah lupa, bila profesional sepakbola mulai bisa bekerja. Dan jajanan dipinggir lapangan tak lagi bingung mencari lapak, karena ribuan pecinta bola mulai ada ketika bola belum disepak.
Buat apa mikirin turnamen? Itu kata orang pintar yang sengaja jadi pelupa. Baru saja mengeluh tak bisa meniti prestasi sembari mencari nasi, tapi kini setelah piala Presiden baru saja usai, masih juga mencari lagi alasan untuk memaki. Astaga pejuang sepakbola seperti dia kok dipercaya.
Logika di balik-balik, pemerintah jangan intervensi karna tak pernah memberi uang pada organisasi. Ternyata hanya sekedar alibi agar akte dan NPWP klub sepakbola yang tak pernah ada bisa tersembunyi. Dan ternyata butuh polisi, butuh tempat, butuh perijinan dan butuh perlindungan.
Sepakbola memang penuh dinamika, seorang Presidenpun harus angkat bicara. Jangan kawatir sanksi FIFA, karna prestasi dunia sepakbola Indonesia lama tak pernah ada. Bila benak dan nurani masih satu ikatan, maka menangkap statement Presiden itu tergolong sangat keras. Sekaligus ring tone yang santun yang diperuntukkan pembangkang pemerintah. Bahasa premannya mungkin “Persetan dengan sanksi FIFA rakyatku masih perlu refleksi..............”