Mohon tunggu...
Eren hNt
Eren hNt Mohon Tunggu... Wiraswasta -

I'm only an ordinary woman with an ordinary life.. Homestayeren.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Bulan Kemanusiaan RTC] Cita-cita Terbaru Rina

27 Juli 2016   21:07 Diperbarui: 27 Juli 2016   21:18 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Nduk, jangan lupa mie instan nya, kasih 5 bungkus loh ya."

"Iya bu. Jadi, beras 2 kg, gula 2 kg, kecap manis 1 bungkus, minyak goreng 2 liter, dan mie instan 5 bungkus untuk tiap orang ya?," aku memastikan apa apa yang harus aku masukkan ke tas plastik berisi sembako yang akan aku antarkan usai sholat Maghrib. Ibuku memang berpesan agar mengantarkannya saat hari sudah gelap agar tidak ada orang yang melihat.

" Iya, betul. Kamu masih ingat siapa siapa saja kan?" tanya ibu.

"Mbok Nah, mbok Jem, mak Sri, mak Ti, dan mbok Narmi, masih sama seperti tahun lalu kan bu?"

"Iya," ibu tersenyum.

Sore ini aku memang sedang membantu ibu menyiapkan bungkusan sembako yang akan diberikan kepada janda janda tua di sekitar tempat kami tinggal. Uang yang dipakai untuk beli sembako dikumpulkan sedikit demi sedikit oleh ibu dari uang sisa belanja. Maklum, kehidupan kami sendiri juga pas pasan. Bapak cuma bekerja sebagai buruh bangunan, dan kadang juga menjadi tukang ojek motor. Namun, keadaan ekonomi yang pas pasan tidak menyurutkan niat ibu untuk berbagi meskipun hanya setahun sekali. Beliau bilang, ada kebahagian tersendiri saat bisa sedikit membantu meringankan beban orang lain. Dan meskipun orang tuaku tidak kaya, aku masih bisa sekolah sampai SMK, sekarang aku sudah kelas 3. Adik perempuanku yang terpaut beberapa tahun di bawahku, sekarang baru kelas 5 SD. 

"Bu, kenapa kita harus memberikan bungkusan sembako ini pada orang lain, kenapa gak kita pakai sendiri?" Rina, adik perempuanku, tiba tiba sudah duduk disebelahku.

Ibu menjawil hidung Rina dan berkata, "kenapa kamu gak ikut kak Andria saja untuk mencari jawabannya?"

"Memang boleh?, boleh ya kak?" Rina menatapku.

"Tentu saja, tapi kamu bantu bawa ya?" Rina mengangguk setuju.

Setelah berbuka puasa dan sholat magrib, aku ditemani Rina berangkat untuk mengantar bungkusan sembako seperti yang dipesankan oleh ibu. Pertama tama, kami mengantarkannya ke rumah Mak Ti. Beliau tinggal sendirian di sebuah rumah kecil yang berdempetan dengan kandang kambing milik Pak Tarjo. Bau yang menyengat dari kandang kambing membuat Rina menutup hidungnya dengan telapak tangan.

"Kalau sudah ketemu Mak Ti, jangan menutup hidung loh ya," aku mengingatkan Rina.

"Kenapa kak?"

"Gak sopan, nanti Mak Ti tersinggung." Rina mengangguk mengerti.

"Bilang ke ibu kalian terimakasih ya nduk," ujar mak Ti usai menerima bungkusan sembako. Matanya berkaca kaca. Aku dan Rina mengangguk bersama, lalu segera berpamitan.

"Kak, kenapa Mak Ti menangis?, dia sedih ya?" tanya Rina saat kami tengah berjalan beriringan menuju rumah berikutnya.

Aku mengusap kepala Rina pelan. "Beliau gak sedih, mungkin beliau terharu karena mendapatkan sembako dari ibu." O panjang terdengar dari mulut Rina seusai aku selesai menjelaskan.

"Kak, kasihan ya mbok Narmi, sudah tua, kurus, rumahnya kecil, gelap, sendirian, memang dia gak punya anak ya?" tanya Rina, saat kami usai memberikan bungkus sembako kedua di rumah mbok Narmi.

"Dia punya anak, tapi sekarang anaknya ikut suaminya di desa lain."

"Kenapa mbok Narmi gak diajak saja?, kan kasihan kak, sudah tua begitu malah ditinggal sendirian,"

"Kakak juga gak tau Rin, makanya, kalau nanti bapak sama ibu sudah tua, kita gak boleh ninggalin mereka sendirian, nanti malah seperti mbok Narmi," aku menggoda Rina yang malah menanggapiku dengan serius.

"Ya kak, aku berjanji!"

Dari rumah mbok Narmi, kami kemudian menuju ke rumah mbok Jem untuk mengantar bungkusan sembako yang ketiga. Saat itu, mbok Jem sedang tidak ada di rumah dan kami menyerahkan sembako yang kami bawa ke anak sulung mbok Jem yang juga terlihat sudah berusia tua.

"Kak, itu tadi yang nerima bungkusan dari kita, suaminya mbok Jem ya?" tanya Rina sesaat setelah kami keluar dari rumah mbok Jem.

"Hush, bukan. Dia itu anak sulungnya."

"Tapi kok dia terlihat sudah tua?, tangannya juga gemetar terus begitu, dia sakit ya kak?" Rina bertanya lagi.

"Iya, anak sulung mbok Jem pernah tertabrak motor pas pulang mencari rumput, orang yang menabraknya langsung lari. Karena tidak punya uang, dia hanya dipijat oleh tukang urut saja, tidak dibawa ke rumah sakit. Sekarang, tubuhnya gak bisa berfungsi secara normal, pikirannya juga jadi agak terganggu, makanya dia gak bisa kerja lagi sekarang."

"Kasihan ya kak, terus yang nyari uang buat makan mereka sehari hari siapa kak?"

"Ya mbok Jem, jadi buruh tani serabutan."

"Oalah, kasihan ya kak mereka. Seandainya Rina punya banyak uang, Rina akan belikan sembako yang banyak buat mereka."

"Makanya, kamu sekolah yang pinter, kalau main terus seperti sekarang, gimana mau punya pekerjaan bagus dan banyak uang." godaku, dan Rina mengangguk tanda mengerti.

Keadaan mbok Nah dan Mak Sri juga tak kalah memprihatinkan. Mbok Nah bahkan tidak bisa bangun dari tempat tidur karena beberapa bulan terakhir beliau menderita stroke. Sepanjang perjalanan pulang, Rina terus bertanya tentang kehidupan mereka. Kenapa mereka begini, kenapa mereka begitu, dan aku menjawabnya sebisaku. Adik kecilku itu memang memiliki rasa keingintahuan yang besar.

"Bu, kalau Rina sudah besar, Rina mau jadi dokter yang banyak uang," celoteh Rina sembari menghambur ke pelukan ibu saat kami sampai di rumah.

"Oh ya?, kenapa begitu?" Ibu bertanya sambil mengelus rambut Rina.

"Aku ingin mengobati mbok Nah agar dia gak sakit stroke lagi. Aku mau mengobati bapak tua anak sulungnya mbok Jem, agar dia bisa bekerja lagi dan mencari uang untuk mbok Jem. Aku ingin punya banyak uang agar aku bisa memberi sembako yang banyak untuk mbok Nah, mbok Jem, mbok Narti, mak Ti, dan mak Sri. Bu, kasihan sekali mereka." Mata Rina berkaca kaca saat mengatakannya.

"Tentu saja, ibu akan berdoa setiap saat agar kamu bisa mencapai semua yang kamu harapkan, agar kamu bisa menjadi dokter dan punya banyak uang. Dan nanti setelah cita cintamu tercapai, kamu tidak hanya bisa membantu mbok Narti, mbok Jem, mbok Nah, mak Ti, atau mak Sri, tapi kamu bisa membantu lebih banyak lagi orang yang membutuhkan, amiiiin." Ibu mencium kening Rina dan adik kecilku itu tertawa bahagia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun