Eren hNt, nomer 14
Cinta butuh keberanian, bukan hanya keberanian untuk mencintai, atau memiliki, tapi juga keberanian untuk melepaskan.
Aku mengecek belanjaan dalam tas anyaman yang aku bawa. Daging, sebutir kelapa yang tidak begitu tua juga tak terlalu muda, kecambah pendek, jeruk nipis, cabe rawit, tomat, bawang merah, bawang putih, dan bumbu dapur lengkap. Aku mencoba mengingat apa lagi yang terlupa untuk dibeli. Lontong!, suamiku sangat senang menyantap soto daging menggunakan lontong. Aku berjalan cepat menuju pojok pasar pagi, tepat di sebelah penjual buah buahan segar, biasanya penjual lontong menggelar dagangannya di situ. Dan aku tersenyum puas saat 5 buah lontong sudah berpindah ke tas belanjaanku.
Sudah hampir jam sembilan pagi saat aku sampai di rumah. Memang aku sengaja berangkat ke pasar agak siangan karena menunggu suamiku berangkat ke kantor. Aku ingin memberinya kejutan saat pulang nanti dengan memasakkan makanan kesukaannya, soto daging. Sesaat setelah menikah dia bilang kalau soto daging buatan ibunya sangat lezat, dan karena itulah aku bersungguh sungguh untuk belajar membuat soto daging ke ibu mertua. Hasilnya, suamiku selalu memuji soto daging buatanku yang katanya tak kalah lezat dengan soto buatan ibunya.
Usai menjemur pakaian di halaman belakang, aku memutuskan untuk mulai memasak. Memasak soto yang sama seperti masakan ibu mertua memang membutuhkan waktu yang agak lama. Sambil merebus air di panci, aku mencuci daging yang tadi aku beli. Tidak banyak, hanya 1kg, harga daging yang mahal membuatku berpikir ulang untuk membeli lebih banyak. Setelah air mendidih, aku memasukkan daging yang masih utuh ke dalam panci. Ibu mertuaku selalu berpesan agar tidak memotong daging sebelum direbus karena akan mengurangi kelezatan daging itu sendiri. Merebus daging dalam potongan besar membutuhkan waktu sekitar 1 jam, sehingga aku punya banyak waktu untuk membuat koyah. "Koyah harus selalu ada saat membuat soto daging," pesan ibu mertuaku, dan aku selalu mengingatnya.
Koyah terbuat dari kelapa yang diparut lalu dioseng di wajan tanpa menggunakan minyak. Api yang digunakan harus api kecil agar tidak cepat gosong, membuat koyah memang membutuhkan ketlatenan. Hampir setengah jam, kelapa perutnya sudah berwarna kecoklatan dan mengeluarkan bau yang sangat gurih. Usai mematikan kompor, aku memindahkan kelapa parut yang sudah kering kecoklatan ke cobek besar dan mulai menghaluskannya. "Koyah nya sudah beres," batinku senang.
Aku melongok ke dalam panci dan menusukkan garpu ke arah daging sapi yang tengah direbus. Masih agak alot, kurasa aku harus merebusnya sedikit lebih lama dari biasanya, dan aku bisa membuat bumbu sotonya sekarang. Bawang merah, bawang putih, kemiri, jahe, kunyit, merica, dan sedikit ketumbar, aku goreng sebentar sebelum dihaluskan. Usai bumbu dihaluskan, aku mulai menumis serai, daun jeruk, dan laos di wajan, dan sesaat kemudian disusul dengan bumbu halus. Bau harum memenuhi dapurku yang tidak terlalu besar.
Setelah dagingnya empuk, aku memotongnya menjadi potongan kecil kecil berbentuk dadu. Lalu aku memasukkan bumbu yang telah ditumis ke dalam panci berisi kaldu, disusul dengan potongan daging sapi, garam, dan sedikit gula jawa. Aku mencicipinya sedikit di sendok, sempurna.
Sekarang tinggal bahan tambahan yang perlu aku siapkan. Sambal yang terbuat dari cabe rawit rebus, ditambah sedikit garam dan gula pasir, beres. Potongan jeruk nipis, kecambah pendek, irisan daun seledri, dan bawang merah goreng, juga sudah siap. Koyah yang sudah dingin, aku letakkan di dalam toples plastik agar gurihnya tahan lama.
Usai membereskan dapur, aku memutuskan untuk tidur siang sambil menunggu suamiku pulang kerja. Kami memang belum dikaruniai anak meskipun sudah 8 tahun menikah. Kami sudah sering ke dokter dan mereka selalu bilang kalau kami berdua normal, mungkin memang belum dikasih sama Tuhan saja. Ah, dadaku nyeri jika mengingatnya.
***