air terjun di aliran Ci Tarum lama. Saya sendiri sudah kehabisan jurus buat menghibur si Ika yang kelihatannya badmood dan kepayahan berjalan di tanjakan. Kami telah berjalan sekitar empat kilometer dari titik awal penelusuran. Cuaca sedang terik, ditambah lagi saat itu bulan puasa, tapi kami tetap ngotot untuk berangkat. Maka, suasana murung macam begitu sudah sewajarnya terjadi. Pemandangan indah perbukitan yang mengapit lembah sungai di depan mata jadi kagak menarik, buram seperti jepretan kamera nokia jadul dua megapixel.
Bersama Rogez, Ika, Fauzia dan dua orang warga setempat, kami berjalan lunglai menaiki sebuah bukit untuk menghindari jalan terjal ketika berusaha melewati sebuahTapi itu tak jadi soal. Toh, saya jarang merasa bahwa pemandangan yang mengesankan bakal menjadi obat bagi lelah tubuh setelah berjalan jauh. Saya kira, menyelesaikan sebuah perjalanan terasa jauh lebih memberikan kepuasan ketimbang hal-hal lain yang menyertainya. Dan barangkali, itu pulalah yang dirasakan oleh kawan kawan.
Waktu itu, kami memang sedang keranjingan susur-susuran. Setelah tuntas nyusur Patahan Lembang sepanjang dua puluh sembilan kilometer, saya mulai mencari tempat-tempat lain untuk disusuri. Terutama tempat-tempat dengan medan penelusuran yang relatif mudah dan menyenangkan untuk dijejaki. Dan  susur sungai, sepertinya bakalan menyenangkan. Lalu pilihan kami jatuh pada aliran Ci Tarum lama.
Sang Dewa Alam
Saat Ci Tarum dibendung tahun 1986, alirannya dibendung dan diteruskan melalui pipa pesat, lalu dikeluarkan untuk menggerakkan turbin powerhouse di Cisaat-Cisameng. Pipa terusan itu memotong aliran alaminya sepanjang tujuh kilometer. Segmen itulah yang kami susuri. Saguling telah membendung Ci Tarum berikut segala limbah di dalamnya, sehingga aliran lama yang kami datangi menjadi bersih karena hanya berasal dari mataair di bukit bukit sekitarnya.
Perjalanan dimulai dari titik paling hilir menuju hulu (upstream). kenyataan itu membuat kami (atau mungkin cuma saya) memasrahkan diri karena bakal menghadapi jalanan yang terus menanjak.
Sesuai namanya, objek-objek awal yang ditemui, saya kenal dengan istilah Sang Dewa Alam. Berupa tiga buah gua yang saling berdekatan. Gua itu bernama Sanghyang Kenit, Sanghyang Tikoro, dan Sanghyang Poek. Ketiganya tersusun dari batu gamping yang secara geologis masih termasuk ke dalam formasi Rajamandala. Bukit-bukit kars di daerah ini relatif terjaga dan masih menunjukkan bentuknya yang sempurna. Di tempat lainnya, pada formasi yang sama, bukit bukit kars yang ada nampak bopeng, hampir rata dengan tanah karena terus ditambang. Dan soal tambang ini sebaiknya tak usahlah dibahas panjang panjang, nanti jadi runyam.
Saat melintas di Sanghyang Poek, nampak dinding tebing yang menggantung. Kenampakkan itu adalah bukti deras dan besarnya debit aliran Ci Tarum sebelum dibendung, hingga mampu mengiris dinding tebing yang kompak. Di kalangan pemanjat, medan tebing semacam itu dikenal dengan istilah overhang, menjorok dari mulut gua hingga bibir sungai.
Gua Sanghyang Poek memiliki lorong yang terdiri dari beberapa cabang. Panjang lorongnya tak lebih dari seratusan meter. Medan yang tak terlalu sulit itu menjadikannya sangat baik sebagai tempat untuk belajar penelusuran dan pemetaan gua. Bau kotoran kelelawar yang samar tercium adalah bukti bahwa gua ini menjadi habitat kelelawar dan biota biota lain yang menjadi rantai ekosistemnya.
Hawa dingin dan lembab segera terasa begitu memasukinya. Kilauan cahaya headlamp memantul dari dinding gua yang kaya akan pasir kalsit. Mineral kalsit adalah penyusun utama batuan gamping, batuan yang solid namun bisa terlarutkan oleh air. Proses pelarutan itu pulalah yang membentuk sebuah gua dan dekorasi di dalamnya. Memahatnya menjadi lubang-lubang kecil yang terus membesar, lalu kemudian terciptalah ornamen seperti stalaktit, stalagmit, tiangan, gourdam dan lainnya.
Secara alami, gua terbentuk dalam dua cara: cepat atau lambat. Gua yang tersusun dari batuan gamping terbentuk dengan lambat, ribuan hingga jutaan tahun. Sebagai gambaran, dalam salah satu literatur dikatakan bahwa pertumbuhan stalaktit hanya berkisar satu milimeter saja dalam kurun waktu sepuluh tahun, sumpah saya kagak salah baca, sepuluh tahun! Sedikit demi sedikit, dari ujungnya yang bolong mengeluarkan tetesan tetesan kecil yang konstan. Betapa sabar, bukan? Dan itu adalah pelajaran!
Sanghyang Heuleut dan kemegahan Curug Halimun
Gua itu pun kami tinggalkan. Tiga puluh menit berjalan tibalah kami di leuwi malang yang lebih popular dengan sebutan Sanghyang Heuleut. Pada akhir pekan, lokasi yang telah menjadi destinasi wisata ini ramainya bukan main. Tempat ini berupa lubuk yang kelihatannya cukup dalam, airnya jernih kehijauan, dan menjadikannya sebagai salah satu landmark-nya Ci Tarum lama yang paling terkenal. Pada salah satu sisi sungai, pekanan dan pergerakan kerak bumi menciptakan perlapisan batuan yang terlipat sehingga terlihat menyamping, seperti kue lapis yang ditekan kedua ujungnya.
Di beberapa titik, kami banyak menemukan lubang lubang menyerupai sumur dengan kedalaman bervariasi, beberapa diantaranya mencapai 1,5-2 meter. Bentukan alam semacam itu konon disebut pothole, yang terbentuk akibat pusaran pusaran air yang yang menggerus batuan keras di dasar sungai. Bentuknya nyaris sempurna, bulat-bulat seperti pot bunga, saya hampir tidak percaya mereka terbentuk secara alami.
Menjelang sore kami dihadang medan yang lumayan merepotkan, batu batu ‘segede gaban’ menghadang sana sini. Tak jarang, kami harus memanjat untuk melewatinya, kadang kadang ngolong karena bebatuan yang bertumpuk tumpuk tak karuan menciptakan ruang di bawahnya yang bisa kami lewati.
Ujung bebatuan itu mengantarkami pada Curug Halimun. Air terjun dengan tinggi sekitar 15 meteran dari muka air. Entah apa teori linguistiknya, tapi konon, curug itu gabungan dari dua suku kata: cai artinya air, dan urug yang berarti runtuh/terjun. Maka curug sama artinya dengan air terjun.
Di titik inilah kami melambung, karena memanjat menerobos dinding air terjun rasanya terlalu berbahaya. Untungnya saya tidak sedang jalan-jalan dengan orang-orang sangar yang gila, sehingga usul melambung tentu saja langsung diterima, meski sesungguhnya cukup menguras tenaga. Naik ke atas punggungan lalu turun kembali ke lembah sungai menjelang malam. Di sisi sungai kami membuat perkemahan, kondisinya lumayan menyedihkan karena sebetulnya cuma ngampar saja. Tapi lumayan, lah, buat sekedar memasak, berbuka puasa, dan tidur bergelimpangan mengistirahatkan badan yang sudah pegal pegal.Â
Hari Ke Dua
     Setelah diguyur hujan hampir semalaman, pagi hari kami kembali melanjutkan perjalanan. Istirahat malam itu tak cukup membuat tubuh saya kembali segar. Punggung masih pegal, pundak saya juga lecet karena menggendong drybag yang memang bukan diperuntukan untuk dibawa seharian.
     Mula-mula kami berjalan mengikuti aliran sungai. Semakin ke hulu airnya nampak semakin jernih. Hembusan angin sesekali bertiup mengimbangi cuaca panas yang terasa lebih terik dari hari sebelumnya. Bongkah bongkah breksi berselang seling dengan batuan gamping. Kami harus berhati hati memilih pijakan karena gamping memiliki karakteristik yang lebih licin jika dipijak, apalagi ketika basah.
     Satu jam berjalan, kami dihadapkan pada medan sempit. Dua buah tebing breksi mengapit lembah sempit itu. Tempat itu dikenal dengan nama Cukang Rahong. Artinya jembatan bambu yang menghubungkan dua dinding batu. Boleh jadi, dulu di tempat ini terdapat jembatan yang dibuat untuk menyeberang melintasi Ci Tarum. Manusia memang selalu menyesuaikan dengan alam tempatnya berpijak, sehingga untuk membuat jembatan, mereka mencari titik tersempit pada aliran sungai. Begitupula dengan penamaan tempat yang sesuai dengan karakteristik alamnya, tak muluk muluk.
     Cukang Rahong memiliki posisi yang penting dalam rangkaian kisah geologis Cekungan Bandung, sebab dipercaya bahwa di tempat inilah danau bandung purba bobol dan akhirnya mengering. Sebelum alirannya kemudian masuk ke Sanghyang Tikoro.
     Menjelang siang, kami tiba di Cikahuripan, air untuk kehidupan. Berupa lembah dengan dinding terjal yang berlekuk-lekuk. Lekukan lekukan itu pastilah tercipta karena gerusan aliran Ci Tarum ketika belum dibendung. Lembah sungai yang tiba tiba menyempit itu, barangkali menciptakan pusaran air dan jeram jeram menakutkan yang terus menggerus dinding keras itu sepanjang waktu.
     Tak jauh dari situ, kami melihat pancuran dari bambu. Airnya jernih. Debitnya lumayan, sebesar botol air mineral. Sejujurnya, saya belum pernah melihat mataair yang keluar dari celah batu dengan debit sebesar itu. Segar, tapi karena sedang berpuasa, kami cukup mencelupkan kaki dan mencuci muka. Image tentang sungai yang kotor dan bau langsung hilang seketika.
     Medan selanjutnya yang kami lalui berupa dataran kering yang cukup rata, melambung ke arah timur menuju jalan raya. Nampak dinding bendungan sagulin tak jauh dari sana.. Hujan kembali turun, deras sekali, menemani perjalan kami menaiki dinding bendungan yang menjadi titik akhir penelusuran.
***
Saat ini, Ci Tarum lebih dikenal orang sebagai sungai yang sangat tercemar. Beberapa diantaranya bahkan memberikan label sungai paling kotor di dunia. Airnya memang telah terkontaminasi banyak hal: zat kimia pewarna tekstil, timbal, belum lagi sampah sampah yang dibuang, limbah-limbah tai sapi bahkan sudah mencemari Ci Tarum sejak dari hulu. Kualitas airnya masuk kategori berbahaya, dilihat dari standar manapun!
Kesan kesan itu hilang di aliran Ci Tarum lama. Engkang-engkang yang banyak kami temukan di sepanjang alirannya, adalah parameter biologis jernihnya air dan ekosistem sungai. Andaikan seluruh aliran Ci Tarum seperti itu, berkah dan kebahagiaan yang didapatkan pastilah luar biasa. Dan tentu saja, semoga ini bukan sekedar angan angan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H