Sanghyang Heuleut dan kemegahan Curug Halimun
Gua itu pun kami tinggalkan. Tiga puluh menit berjalan tibalah kami di leuwi malang yang lebih popular dengan sebutan Sanghyang Heuleut. Pada akhir pekan, lokasi yang telah menjadi destinasi wisata ini ramainya bukan main. Tempat ini berupa lubuk yang kelihatannya cukup dalam, airnya jernih kehijauan, dan menjadikannya sebagai salah satu landmark-nya Ci Tarum lama yang paling terkenal. Pada salah satu sisi sungai, pekanan dan pergerakan kerak bumi menciptakan perlapisan batuan yang terlipat sehingga terlihat menyamping, seperti kue lapis yang ditekan kedua ujungnya.
Di beberapa titik, kami banyak menemukan lubang lubang menyerupai sumur dengan kedalaman bervariasi, beberapa diantaranya mencapai 1,5-2 meter. Bentukan alam semacam itu konon disebut pothole, yang terbentuk akibat pusaran pusaran air yang yang menggerus batuan keras di dasar sungai. Bentuknya nyaris sempurna, bulat-bulat seperti pot bunga, saya hampir tidak percaya mereka terbentuk secara alami.
Menjelang sore kami dihadang medan yang lumayan merepotkan, batu batu ‘segede gaban’ menghadang sana sini. Tak jarang, kami harus memanjat untuk melewatinya, kadang kadang ngolong karena bebatuan yang bertumpuk tumpuk tak karuan menciptakan ruang di bawahnya yang bisa kami lewati.
Ujung bebatuan itu mengantarkami pada Curug Halimun. Air terjun dengan tinggi sekitar 15 meteran dari muka air. Entah apa teori linguistiknya, tapi konon, curug itu gabungan dari dua suku kata: cai artinya air, dan urug yang berarti runtuh/terjun. Maka curug sama artinya dengan air terjun.
Di titik inilah kami melambung, karena memanjat menerobos dinding air terjun rasanya terlalu berbahaya. Untungnya saya tidak sedang jalan-jalan dengan orang-orang sangar yang gila, sehingga usul melambung tentu saja langsung diterima, meski sesungguhnya cukup menguras tenaga. Naik ke atas punggungan lalu turun kembali ke lembah sungai menjelang malam. Di sisi sungai kami membuat perkemahan, kondisinya lumayan menyedihkan karena sebetulnya cuma ngampar saja. Tapi lumayan, lah, buat sekedar memasak, berbuka puasa, dan tidur bergelimpangan mengistirahatkan badan yang sudah pegal pegal.Â
Hari Ke Dua
     Setelah diguyur hujan hampir semalaman, pagi hari kami kembali melanjutkan perjalanan. Istirahat malam itu tak cukup membuat tubuh saya kembali segar. Punggung masih pegal, pundak saya juga lecet karena menggendong drybag yang memang bukan diperuntukan untuk dibawa seharian.
     Mula-mula kami berjalan mengikuti aliran sungai. Semakin ke hulu airnya nampak semakin jernih. Hembusan angin sesekali bertiup mengimbangi cuaca panas yang terasa lebih terik dari hari sebelumnya. Bongkah bongkah breksi berselang seling dengan batuan gamping. Kami harus berhati hati memilih pijakan karena gamping memiliki karakteristik yang lebih licin jika dipijak, apalagi ketika basah.
     Satu jam berjalan, kami dihadapkan pada medan sempit. Dua buah tebing breksi mengapit lembah sempit itu. Tempat itu dikenal dengan nama Cukang Rahong. Artinya jembatan bambu yang menghubungkan dua dinding batu. Boleh jadi, dulu di tempat ini terdapat jembatan yang dibuat untuk menyeberang melintasi Ci Tarum. Manusia memang selalu menyesuaikan dengan alam tempatnya berpijak, sehingga untuk membuat jembatan, mereka mencari titik tersempit pada aliran sungai. Begitupula dengan penamaan tempat yang sesuai dengan karakteristik alamnya, tak muluk muluk.