Mohon tunggu...
Angga R Direza
Angga R Direza Mohon Tunggu... Freelancer - Alumni Geografi UPI

Belajar bermain

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Pemanjatan Batu Daya, Dinding Raksasa di Tengah Belantara Kalimantan

1 Februari 2021   09:19 Diperbarui: 5 April 2022   22:58 3507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gemuruh angin meraung-raung sepanjang malam. Hembusannya sesekali menyelusup melalui sela-sela bentangan kain tipis yang kami pancang di tepian, menerpa tubuh yang sudah mulai kedinginan. Dalam gelap, Saya berusaha membenahi kain sarung yang Saya kenakan, entah yang keberapa kalinya.

Malam itu, Saya memang tak berharap bisa tidur dengan nyenyak. Dua kawan lain, Freden dan Fikor, juga merasakan kesuraman yang sama. Kami bertiga berjejal di sebuah teras kecil, 600 meter lebih di atas tanah, saling terhubung dengan tali pengaman. Teras itu adalah stasiun Pitch ke 13 pada pemanjatan dan pembuatan jalur yang sedang kami kerjakan.

Setelah 22 hari berlalu sejak pertama kali tiba, rasanya Saya masih tak percaya bisa berada di atas sini, hanya terpaut seratusan meter menjelang puncak Tebing Batu Daya, dinding raksasa di tengah hutan belantara Kalimantan. Selisih tersebut masih jauh, mengingat itu adalah seratus meter jarak pemanjatan.

Tapi, dengan memperhitungkan apa yang telah kami lalui beberapa minggu belakangan, tak berlebihan –agaknya- jika Saya merasa cukup puas dengan situasi saat ini, dengan apa yang telah kami capai sampai sejauh ini, apapun hasilnya kemudian.

Tiba di Batu Daya
Rabu pukul tiga dini hari, 18 November 2020 tim pertama kali tiba di Desa Batu Daya, di Pusat Desa bernama kampung Keranji. Kami semua tergabung dalam sebuah perkumulan bernama IBEX (Indonesia Bigwall Expedition), kawan-kawan satu hobi yang lebih berfokus pada pemanjatan tebing-tebing besar. Termasuk Saya, tim kami berjumlah 6 orang, Ruslan sebagai penanggung jawab ekspedisi, Freden, Faudzil, Asep dan Halimah. 

Dari Pontianak, termasuk beberapa kali istirahat, secara normal memakan waktu 7-8 jam perjalanan. Dari Keranji, sisi Bukit Batu Daya bagian utara nampak diselimuti kabut, sudut-sudut hijau pepohonan melengkapi keindahannya, sementara itu bidang tebing yang akan kami panjat sama sekali tak terlihat karena berada di sisi bagian belakang.

Dalam peta geologi lembar Nangataman-Ketapang, Batu Daya merupakan batuan terobosan berjenis andesit porfir, dengan nama formasi Toms yang berarti dari zaman tersier kala oligo-miosen, alias batuan berumur 20-30 juta tahun yang lalu. Ini memang masih harus dibuktikan dengan mengecek di lab sampel batuan yang akan kami bawa kemudian.

Pagi hari itu, Kepala Desa sudah menunggu di rumahnya. Pak Matius, begitu ia disapa, sebetulnya telah menunggu dari semalam. Kami memang sudah melakukan kontak sejak dari Pontianak. Akan tetapi karena banyak berhenti untuk bertanya, perjalanan menjadi lebih lama daripada seharusnya. 

Sempat juga, mobil yang mestinya berbelok di sekitar Simpang Dua, malah lewat hingga Laur dan terpaksa harus memutar balik setelah bertanya di warung setempat.

Tim berfoto bersama keluarga Pak Matius/dokpri
Tim berfoto bersama keluarga Pak Matius/dokpri
Batu Daya merupakan salah satu Desa di Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, terletak di tengah-tengah perkebunan sawit yang sangat luas. Mayoritas penduduknya merupakan suku Dayak yang memeluk agama Katolik. Mata pencaharian penduduk sebagian besar berladang dan bekerja di perusahaan sawit. 

Untuk mendapatkan fasilitas kesehatan, atau berbelanja kebutuhan sehari-hari yang lumayan lengkap, masyarakat desa mendapatkannya di Laur, ibukota kecamatan tetangga. Menuju kesana bisa dicapai dengan berkendara selama satu jam menembus jalan laterit khas perkebunan sawit yang nampak seperti labirin.

Karena jaringan PLN belumlah masuk, kebutuhan listrik hanya didapatkan dari pasokan generator, dan hanya beroperasi pukul 18.00-22.00. Waktu tersebut harus dimanfaatkan untuk melakukan berbagai macam kebutuhan yang memerlukan tenaga listrik semisal menyeterika, mendapatkan informasi melalui siaran televisi, ataupun mengisi daya berbagai macam perangkat elektronik.

Di rumah Pak Matius kami berbincang hingga siang, mengajukan macam-macam pertanyaan seputar Bukit Batu Daya. Sebagian orang menyebutnya Bukit Unta, karena konon jika diperhatikan dari salah satu sisi akan terlihat seperti punuk unta. Sebelum melakukan pemanjatan, Pak Matius mengharuskan tim melakukan upacara adat. Tim pun dibawa menemui tetua adat setempat, Pak Jorben namanya.

Prosesi upacara adat/dokpri
Prosesi upacara adat/dokpri
Berbagai macam kebutuhan adat pun dicari, siangnya upacara langsung dilaksanakan di kaki bukit sisi utara, 2 jam berjalan kaki dari Kampung Keranji. Di sana ternyata ada air terjun yang jatuh di sebuah kolam kecil. Pak Jorben kemudian meletakan kelengkapan ritual seperti dupa, ayam kampung, mandau, daun sirih dan lainnya. 

Sambil mengucapkan doa-doa berbahasa Dayak, dedaunan pun dicelupkan kedalam air, satu per satu anggota tim termasuk Jani, Silen, Anto dan Teddy, empat pemuda setempat yang kami sewa untuk mengangkut barang, dikipasi di bagian dada dan punggung. 

Berdasarkan kepercayaan setempat, ritual tersebut dimaksudkan untuk untuk meminta keselamatan selama kami melakukan aktivitas di sekitar Gunung. “silahkan, sekarang kalian boleh tebang pohon asal sesuai kebutuhan, boleh bikin api unggun, tapi jangan bakar yang amis-amis dan binatang yang masih hidup”

Membuka Jalur Trekking Sisi Utara
Setelah ritual adat dan beristirahat satu malam di rumah Pak Matius. Esoknya tim dipecah menjadi dua. Ruslan, Faudzil, Asep dan Halimah serta satu orang porter bergerak ke sisi selatan. Sementara Saya dan Freden bersama dua orang porter bertugas membuka jalur menuju puncak lewat utara, sisi yang paling mungkin dilalui dengan trekking menuju puncak. 

Rencananya, pembuatan jalur akan dilakukan dengan rappelling, menggapai puncak dari utara dan menurunkan tali lalu bertemu di sisi selatan. Harapannya pembuatan jalur dapat dilakukan lebih cepat dan waktu yang masih tersisa setelahnya dapat dipergunakan untuk mencoba memanjat jalur yang sudah dibuat.

“Belum pernah ada orang yang pernah mendaki sampai Puncak” begitu kira-kira cerita Pak Matius. Tim Saya dan Freden menghabiskan dua malam untuk mencapai Puncak. Beban ransel terasa lebih berat dari yang pernah Saya bawa. 

Jelas saja, barang yang dibawa bukan sekedar air minum, makanan dan peralatan berkemah, tapi juga peralatan untuk pembuatan jalur pemanjatan: 12 roll tali kernmantel, 50 buah bolt dan hanger, bor, puluhan carabiner, quickdraw, harness dan helm. Tim selatan ternyata sama juga, mereka harus meretas hutan selama dua hari sambil membuka jalur.

Selama dua hari berjibaku dengan duri rotan dan belukar yang rapat. Membuat banyak luka sayatan dibagian lengan. Waktu istirahat terkadang dihabiskan sambil mencabuti duri yang menancap dengan jarum.

Kami menambatkan tali di satu medan curam yang tak mungkin lagi dilalui sambil menggendong ransel. Satu per satu ransel ditarik menggunakan tali tersebut, sementara orangnya menyusul kemudian.

Keadaan di puncak lebih parah lagi. Di hari ke tiga, usai melewati beberapa lembah yang rapat, kami akhirnya menyerah turun. Meninggalkan semua barang yang tak sanggup lagi dibawa. “Bang, simpan aja barangnya disini, Saya udah gak kuat bawa” keluh Jani dan Silen, dua orang porter yang kami bawa.

Tim kemudian berkumpul kembali di Rumah Pak Matius. Besoknya, Saya, Faudzil, Asep dan tiga orang pemuda desa termasuk Silen kembali mendaki puncak untuk menjemput barang yang ditinggalkan. Menyita waktu dua hari, bahkan terkena banjir setelah diguyur hujan deras hampir semalaman, meluapkan sungai besar dan rawa yang kami lalui. 

Kehilangan jejak, berjalan beriringan di hutan yang terendam banjir setinggi paha. Mirip seperti film Anaconda. Menyeberangi sungai utama dengan mencari pohon-pohon tumbang sebagai jembatan. Menjelang tiba di Desa, hujan kembali turun dengan deras. Tim menyadari, rencana awal itu ternyata gagal total, pilihannya tinggal pulang atau memanjat secara langsung lewat sisi selatan.

Rawa banjir ketika membuka jalur sisi utara/dokpri
Rawa banjir ketika membuka jalur sisi utara/dokpri
Keputusan Pemanjatan Sisi Selatan
“Kalau yang lain mau pulang, sok aja, ini bisa diberesin Saya sama Angga” Seru Freden sambil berapi-api. Kehilangan waktu satu minggu membuat diskusi soal kelanjutan pemanjatan tak terhindarkan.

Pilihan soal lanjut dan menghentikan ekspedisi pun diusulkan. Beberapa orang harus pulang karena urusan pekerjaan yang sebelumnya kami kerjakan di Aruk, Perbatasan Indonesia-Malaysia. 

Sebetulnya karena pekerjaan itu jugalah kami akhirnya bisa sampai di Batu Daya, secara mendadak, dengan persiapan tak lebih dari 2 hari. Di satu sisi kami merasa sangat beruntung, namun di sisi lain justru itulah yang mengancam perjalanan kami sejak awal. Dalam rencana, sebetulnya kami hanya punya waktu satu minggu sebelum dihadang suatu urusan pekerjaan yang mengharuskan kami untuk pulang.

Tipikal Freden memang demikian, sudah tak aneh bagi Saya. Sebagai pemanjat serius, Freden pastilah punya dorongan kuat untuk tetap melanjutkan ekspedisi. Saya mengenalnya sebagai pemanjat yang cukup konsisten, membuat jalur di beberapa tempat di Indonesia, juga pemanjat yang sedikit keras, jika tak boleh dikatakan brutal. 

Namun, idenya soal memanjat berdua adalah hal lain lagi. “Jangan gila Bos!” Meski demikian, Saya sendiri sebetulnya tak ingin perjalanan berakhir disini, belum manjat, bahkan belum sampai di kaki tebing nya. Lebih dari itu, “Kita terlanjur disini, Batu Daya sudah ada di depan mata” agak ragu, Saya berusaha memeperkuat argumen Freden.

Saya mengenal panjat tebing sejak 2 tahun belakangan, beberapa kali berkesempatan memanjat bigwall, memanjat di beberapa tempat meski di jalur-jalur dengan grade recehan. Tak pernah membuat jalur sebelumnya. Hanya pernah beberapa kali memegang Bor. 

Kemudian, Asep akhirnya memutuskan untuk tetap bertahan. Setelah 2 minggu pekerjaan di perbatasan yang melelahkan, bersama Halimah, Ia adalah orang menyusul Tim ke Pontianak. 

“Inimah kelas ekspedisi atuh Bos!” Katanya sambil berjalan payah ditengah rawa banjir ketika membuka jalur trekking sisi utara sehari sebelumnya, dan mengaku perjalanan tak seperti apa yang ia bayangkan pada awalnya. Pemanjatan sisi selatan juga bakal sangat berat baginya yang cukup lama tak manjat.

Maka diputuskanlah 3 orang termasuk Saya, tetap melanjutkan dan mencari satu orang lagi pemanjat tambahan. Semua keputusan itu harus dilakukan dengan cepat karena besoknya orang itu harus sudah tiba di Batu Daya. 

Tim pun menghubungi beberapa kawan pemanjat, kebanyakan memang kawan-kawan dekat di Bandung. Salah satunya adalah Thufail Dzulfiqar. “Saya siap berangkat” kata Fikor, sapaan akrabnya, berbicara di seberang telepon.

Saya dan Freden mengenal Fikor hanya beberapa minggu sebelum perjalanan ke Batu Daya. Jika tak salah ingat, hanya 3 kali bertemu ketika berlatih manjat di Bandung dan Pantai Sawarna. Fikor sempat berhenti manjat cukup lama, namun pertemuan-pertemuan itu memberi kesan bahwa dia adalah pemanjat yang ngotot.

Halimah, Faudzil dan Ruslan pulang ke Bandung sehari setelah kedatangan Fikor, sementara sisanya, termasuk Fikor sendiri, mulai bergerak ke sisi selatan.

Minggu pertama yang berat

Asep, Freden, dan Fikor menunggu hujan hujan reda di perkemahan/dokpri
Asep, Freden, dan Fikor menunggu hujan hujan reda di perkemahan/dokpri
Untuk menuju ke sisi selatan, dari Keranji kami menyewa mobil bak terbuka. Memutar menyusuri jalur perkebunan sawit, perjalanan itu memerlukan waktu satu jam. Perkampungan terakhir merupakan beberapa rumah keluarga Pak Liong, -yang dalam sistem koloni perkebunan sawit- lebih dikenal dengan sebutan Camp 21. 

Dari sana, untuk menuju kaki tebing masih harus berjalan kaki selama 2 jam. Namun di hari pertama, karena membawa banyak beban bawaan, sambil membuka jalur dan membuat perkemahan, kami menghabiskan 2 hari perjalanan hingga seluruh peralatan dan basecamp berdiri di kaki tebing.

Senang akhirnya mulai memanjat, meski Saya merasa, minggu pertama benar-benar berat bagi kami dalam banyak hal. Dua hari mendorong ratusan kilogram logistik, hujan turun hampir setiap hari. Sekali waktu badai dengan angin kencang mengamuk menunda rencana pemanjatan seharian. 

Di tengah badai, selain bahaya pohon tumbang, bebatuan yang tersangkut pohon di muka tebing menjadi sangat rawan terlepas dan jatuh. Salah satunya melesat menuju perkemahan. 

Melenceng kurang dari setengah meter, beruntung hanya meluluh lantakkan makan malam yang sedang kami siapkan. Bekas jatuhannya menyisakan lubang sebesar buah kelapa. 

Sejujurnya saat itu Saya, mungkin juga yang lain, merasa sangat ketakutan. Hujan juga mengundang kawanan semut naik ke permukaan, hal itu jadi sangat menjengkelkan karena si semut ini ternyata memberikan gigitan yang luar biasa menyakitkan. Kalau tak salah, Semut Katikih namanya.

Awal-awal pemanjatan terasa sangat lambat. Freden dan Fikor di plot sebagai pemanjat. Fikor tak pernah memanjat multipitch sebelumnya, apalagi memanjat bor to bor sambil memasang hanger membuatnya masih bergerak dengan sangat kikuk.

Walau demikian, dalam kacamata Saya, pembagian ini terasa sangat ideal. Freden jangan ditanya, Fikor meski ini perdana baginya, adalah pemanjat yang kuat, akan tetapi soal membawa beban dan mensupport pemanjatan, bisa Saya katakan bahwa Saya bisa melakukannya lebih baik darinya.

Sebelum sore biasanya Saya dan Asep mengambil air untuk berbagai keperluan di perkemahan, sekira 10 menit berjalan kaki menuju sebuah sungai kecil. Lalu sore setelah pemanjatan Saya dan Asep kembali harus berjalan sekitar 4 jam, pulang pergi ke Camp 21 untuk mengecas baterai bor dan berbagai perangkat elektronik. 

Diperjalanan, bertemu keluarga Orang Utan hampir setiap hari. Terkadang harus menginap di Rumah Pak Liong karena terlalu cape atau terlalu takut melakukan perjalanan malam.

Jika kasusnya demikian, Saya dan Asep baru akan kembali ke basecamp pagi-pagi buta untuk mengejar waktu pemanjatan. Masalah pengecasan ini juga bikin pusing karena tak bisa dilakukan sembarang waktu, sama seperti di Keranji, listrik hanya dipasok dari generator yang beroperasi pukul 18.00-22.00.

Fikor membuka jalur Pitch 2, tim baru sampai 80 meter pemanjatan/dokpri
Fikor membuka jalur Pitch 2, tim baru sampai 80 meter pemanjatan/dokpri
Di akhir minggu itu, Asep harus kembali ke Bandung, menyisakan tiga orang malang di perkemahan. Kami tak bisa memaksanya untuk bertahan, toh ini cuma perjalanan dadakan yang justru jadi terlalu tanggung untuk tak diselesaikan.

Saat-saat itu, rasanya sulit untuk tak berfikir soal kemungkinan balik kanan dan pulang. Dengan taktik himalayan, minggu pertama itu tim hanya berhasil memanjat hingga Pitch 5, memasang 5 rol tali, dengan ketinggian sekitar 250 meter dari dasar tebing.

Semangat Baru
Kepulangan Asep memberikan efek mental yang lumayan. Ritme pekerjaan yang sudah berjalan semingguan harus kembali diatur ulang. Kami tinggal bertiga, sementara progres pemanjatan jalur sudah cukup tinggi. Terlalu melelahkan jika harus sambil bolak-balik untuk mengecas baterai.

Selang sehari, datanglah Bang Indra, pemanjat asal Pontianak. “Mau bantu-bantu” Katanya. Bersamanya dibawa pula satu buah bor dan dua baterai tambahan milik Om Daniel, pemanjat asal Jakarta, dibawa Om Virgo Dirgantara ke Pontianak yang kebetulan ada urusan pekerjaan. 

Mereka, Freden, Om Virgo, Om Daniel dan Bang Indra sudah melakukan kontak sebelumnya, namun kami Sangat beruntung bang Indra datang lebih cepat dari perkiraan. 

Lumayan memberikan semangat baru setelah kepulangan Asep. Lalu untuk mengatasi masalah pengecasan, dengan meminjam motor Pak Liong, Kami kembali ke Keranji untuk menjemput dan menyewa dua orang pemuda Desa, Jani dan Marcus.

Satu demi satu masalah selesai. Bang Indra sebagai pengganti Asep, mengurus basecamp dengan baik, dengan menggunakan sisa alat, sesekali ikut naik meniti tali. Ditambah ada Jani dan Marcus sebagai tim mobile untuk urusan logistik, mengambil air dan pengecasan. Bor dan baterai tambahan milik Om Daniel juga sangat membantu, tim pemanjat tak lagi harus buru-buru turun membawa baterai karena mengejar jadwal pengecasan. 

Saya sendiri bisa fokus ikut naik mensupport Freden dan Fikor dalam pemanjatan, sambil sesekali mengambil dokumentasi. Empat hari berjalan terasa sangat lancar. Tiap Pitch Kami maksimalkan ±50 meter, sepanjang tali fix yang dibawa. Melewati bagian tebing paling tegak di Pitch, 7, 8, 9 hingga akhirnya sampai di Pitch 10, dengan ketinggian sekitar 500 meter.

Fikor, mengamankan tali tambat untuk Freden yang sedang memanjat/dokpri
Fikor, mengamankan tali tambat untuk Freden yang sedang memanjat/dokpri
Senja itu di Pitch 10, pohon pohon besar di hutan yang rapat nampak seperti hamparan karpet hijau. Hutan primer hanya tersisa sekitar 1000-1500-an meter dari kaki tebing, sisanya telah beralih menjadi perkebunan sawit, membentang sejauh penglihatan. Di kejauhan, semburat matahari sore nampak kemerahan di batas-batas punggungan. 

Angin lembut menghadirkan kesejukan, sesekali bertiup kencang bergemuruh, membawa hawa dingin pada pakaian bau keringat yang sudah kebasahan. Sore itu, seperti hari-hari sebelumnya, satu per satu turun bergantian melalui tali fix, melewati pitch demi pitch menuju perkemahan, yang kemudian akan kembali dinaiki keesokan harinya untuk melanjutkan pemanjatan.

Alpin Taktik untuk Mencapai Puncak
Selama ekspedisi kami selalu menyempatkan berkomunikasi dengan tim yang sebelumnya harus pulang ke Bandung. Melalui sinyal internet yang hanya tersedia lewat kartu Telkomsel, dan hanya didapatkan dengan baik setelah lewat stasiun Pitch 2.

Setelah satu minggu di sisi utara dan 10 hari memanjat secara langsung di sisi selatan, kami memberi kabar kepada tim di Bandung bahwa pemanjatan telah sampai di Pitch 10, hari ini kami pergunakan untuk beristirahat total sambil mempersiapkan rencana pemanjatan. 

Tali statis sudah habis, tinggal tersisa dua rol tali dinamis sebagai bekal untuk menyelesaikan pemanjatan dengan taktik alpin. rencananya bakal kami lakukan keesokan hari. Sebagai interpretator yang bertanggung jawab menentukan arah pemanjatan, Freden menduga, kurang lebih 200 meter lagi jarak vertikal menuju puncak. “Kira-kira empat sampai lima Pitch lagi, lah” katanya yakin.

Hari pemanjatan pun tiba, inilah pertaruhan apakah kami bisa mencapai puncak, harus terhenti ditengah jalan lalu mengulangi pemanjatan, atau paling sial adalah gagal dan merelakan pulang tanpa menggapai puncak. Meniti tali selama 3 jam, sampailah kami bertiga di stasiun Pitch 10, titik terakhir pemanjatan sebelumnya. 

Bang Indra menunggu dengan sabar di Perkemahan. Dari sana kami harus memanjat dengan alpin, memanjat tanpa meninggalkan tali yang terhubung ke basecamp. 

Menjelang gelap kami berhasil memanjat hingga stasiun Pitch 14, namun karena kondisi teras yang kurang memungkinkan, akhirnya turun dan menginap di Stasiun Pitch 13, terasnya lumayan memungkinkan untuk kami bertiga meski harus tidur berjejal dengan menekuk kaki. Pikiran soal apakah kami akan berhasil mencapai puncak masih berlarian dalam kepala.

Pagi menjelang, mentari muncul membawa cahaya kehangatan. Setelah sarapan beberapa potong roti dan cemilan, satu per satu kembali meniti tali. Freden, Fikor dan terakhir Saya. Menerobos semak-semak sambil menarik tali, Saya berbelok ke kanan menyeberangi rekahan untuk sampai di Stasiun Pitch 14. 

Angin bertiup agak kencang, sayup terdengar teriakan Freden dan Fikor “Bos cepet Bos!”, sesekali juga terdengar gurauan-gurauan diselingi tawa-tawa kecil. Ketika sampai, Saya menambatkan tali pengaman, kemudian mendongak ke arah sisa jalur pemanjatan: Tinggal beberapa puluh meter, satu bentangan tali lagi. Setelah 2 minggu bekerja, baru di hari itu Saya yakin bahwa kami benar-benar akan menggapi Puncak Batu Daya.

Beberapa waktu saling lempar akhirnya diputuskan Freden sebagai perintis jalur di Pitch terakhir. Freden bersiap, sesaat kemudian mulai memanjat, memasang 4 buah bolt dan hanger yang tersisa lalu hilang ditelan rapatnya pepohonan. 

Sejak awal kami memang berencana memanjat sekaligus membuat jalur dengan menanam bolt dan hanger menggunakan bor. Kondisi medan sangat minim cacat batuan, menyulitkan pemasangan pengaman sisip, membuat hampir seluruh pemanjatan dilakukan dengan bor to bor.

Dari Pitch 14, Freden memanjat menuju Puncak/dokpri
Dari Pitch 14, Freden memanjat menuju Puncak/dokpri
“Tali fix aman” teriak Freden dari balik pepohonan, pertanda telah sampai sekaligus kode bagi Saya dan Fikor untuk mulai meniti tali. Fikor pun naik, disusul Saya kemudian. Akhirnya kami benar-benar mencapai Puncak, hutan dengan pepohonan yang cukup rapat. 

Total 15 Pitch, 170 buah hanger yang terpasang, 750 meter panjang lintasan dan 680 meter ketinggian vertikal. Dengan jaringan internet seadanya, Saya mencoba menghubungi Tim di Bandung. “Tim sudah sampai Puncak” Ucap saya singkat, pukul 10.35 tanggal 8 Desember 2020.

Kami sangat senang, tentu Saya juga senang, namun setelah semua kejadian yang telah dilewati, rasanya perjuangan kami berminggu sebelumnya jauh lebih memberikan makna yang sangat berharga daripada sekedar mencapai Puncak.

Berfoto bersama di Puncak batu Daya/dokpri
Berfoto bersama di Puncak batu Daya/dokpri
Sejarah Pemanjatan
Selama memanjat kami sempat melihat beberapa hanger-hanger lama bekas ekspedisi sebelumnya.

Adalah Maruli bersama tim Wanadri pada tahun 1987, tim pertama yang memanjat Batu Daya. Nama Maruli, menjadi sangat dikenal, terutama oleh orang-orang paruh baya di Desa Batu Daya. 

B\Kemudian ekspedisi dari salah satu Universitas di Bandung, sekitar tahun 1989. 

Terkena musibah ketika telah mencapai puncak dan hendak turun, satu orang meninggal dan harus di evakuasi. Konon proses evakuasi tersebut juga harus melibatkan helikopter.

Baru kemudian, pada 1996, kembali dicoba untuk dipanjat oleh Tim dari UNPAD (Rachwa, Boni, Mas, Dan Eris) pemanjatan brutal, selama sebelas hari terus memanjat dengan alpin dan tidur di muka tebing, namun karena kekurangan logistik, terutama air, akhirnya harus terhenti sekitar 2 pitch menjelang puncak.

Setelahnya, menurut kabar ada 1 sampai 2 tim ekspedisi tim lokal yang mencoba, meski Saya kesulitan menemukan catatan tentangnya. lalu di tahun 2011, Mike Libecki, Pria asal Amerika bersama pemandu asal Pontianak bernama Herry berhasil menggapai puncak melalui sisi tenggara. 

Meski singkat, Mike berhasil menceritakan pengalamannya menggapai puncak Batu Daya yang kemudian Saya temukan melalui internet (Dimuat di halaman AAC, American Alpine Club, salah satu club panjat tebing terbesar di Amerika). 

Jalur yang dipanjatnya kemudian ia beri grade 5.10a A1. Dalam ceritanya, Mike memanjat di jalur dengan beberapa semak dan pepohonan yang cukup rapat, sehingga jalur tenggara yang disebutkan Mike, kemungkinan besar bukanlah jalur yang kami lalui, tapi jalur trad mengikuti rekahan dan vegetasi.

Mike Libecki, berfoto bersama keluarga Pak Liong pada kunjungannya di tahun 2011 (Sumber: Laman American Alpine Club)
Mike Libecki, berfoto bersama keluarga Pak Liong pada kunjungannya di tahun 2011 (Sumber: Laman American Alpine Club)
Setahun kemudian datang tim Jepang, namun tak sempat melakukan pemanjatan karena musim hujan yang tak mendukung. Tahun berikutnya, 2013, mereka kembali ketika musim kemarau yang cerah.

Berhasil mencapai puncak –yang Saya duga- melalui jalur yang sebelumnya dipanjat Mike Libecki. Kabarnya, saat itu mereka juga berhasil memanjat tebing tetangganya, Kuwang Kande (980 Mdpl) dan beberapa jalur lain di sana. Setelah itu, tak ada lagi catatan pemanjatan yang berhasil Saya dapatkan.

Angga Resgiana Direza, Alumni Sekolah Panjat Tebing SKYGERS, Tim IBEX (Indonesia Bigwall Expdition) Pernah belajar di JANTERA (Perhimpunan pencinta Alam Geografi FPIPS UPI)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun