Angin lembut menghadirkan kesejukan, sesekali bertiup kencang bergemuruh, membawa hawa dingin pada pakaian bau keringat yang sudah kebasahan. Sore itu, seperti hari-hari sebelumnya, satu per satu turun bergantian melalui tali fix, melewati pitch demi pitch menuju perkemahan, yang kemudian akan kembali dinaiki keesokan harinya untuk melanjutkan pemanjatan.
Alpin Taktik untuk Mencapai Puncak
Selama ekspedisi kami selalu menyempatkan berkomunikasi dengan tim yang sebelumnya harus pulang ke Bandung. Melalui sinyal internet yang hanya tersedia lewat kartu Telkomsel, dan hanya didapatkan dengan baik setelah lewat stasiun Pitch 2.
Setelah satu minggu di sisi utara dan 10 hari memanjat secara langsung di sisi selatan, kami memberi kabar kepada tim di Bandung bahwa pemanjatan telah sampai di Pitch 10, hari ini kami pergunakan untuk beristirahat total sambil mempersiapkan rencana pemanjatan.
Tali statis sudah habis, tinggal tersisa dua rol tali dinamis sebagai bekal untuk menyelesaikan pemanjatan dengan taktik alpin. rencananya bakal kami lakukan keesokan hari. Sebagai interpretator yang bertanggung jawab menentukan arah pemanjatan, Freden menduga, kurang lebih 200 meter lagi jarak vertikal menuju puncak. “Kira-kira empat sampai lima Pitch lagi, lah” katanya yakin.
Hari pemanjatan pun tiba, inilah pertaruhan apakah kami bisa mencapai puncak, harus terhenti ditengah jalan lalu mengulangi pemanjatan, atau paling sial adalah gagal dan merelakan pulang tanpa menggapai puncak. Meniti tali selama 3 jam, sampailah kami bertiga di stasiun Pitch 10, titik terakhir pemanjatan sebelumnya.
Bang Indra menunggu dengan sabar di Perkemahan. Dari sana kami harus memanjat dengan alpin, memanjat tanpa meninggalkan tali yang terhubung ke basecamp.
Menjelang gelap kami berhasil memanjat hingga stasiun Pitch 14, namun karena kondisi teras yang kurang memungkinkan, akhirnya turun dan menginap di Stasiun Pitch 13, terasnya lumayan memungkinkan untuk kami bertiga meski harus tidur berjejal dengan menekuk kaki. Pikiran soal apakah kami akan berhasil mencapai puncak masih berlarian dalam kepala.
Pagi menjelang, mentari muncul membawa cahaya kehangatan. Setelah sarapan beberapa potong roti dan cemilan, satu per satu kembali meniti tali. Freden, Fikor dan terakhir Saya. Menerobos semak-semak sambil menarik tali, Saya berbelok ke kanan menyeberangi rekahan untuk sampai di Stasiun Pitch 14.
Angin bertiup agak kencang, sayup terdengar teriakan Freden dan Fikor “Bos cepet Bos!”, sesekali juga terdengar gurauan-gurauan diselingi tawa-tawa kecil. Ketika sampai, Saya menambatkan tali pengaman, kemudian mendongak ke arah sisa jalur pemanjatan: Tinggal beberapa puluh meter, satu bentangan tali lagi. Setelah 2 minggu bekerja, baru di hari itu Saya yakin bahwa kami benar-benar akan menggapi Puncak Batu Daya.
Beberapa waktu saling lempar akhirnya diputuskan Freden sebagai perintis jalur di Pitch terakhir. Freden bersiap, sesaat kemudian mulai memanjat, memasang 4 buah bolt dan hanger yang tersisa lalu hilang ditelan rapatnya pepohonan.
Sejak awal kami memang berencana memanjat sekaligus membuat jalur dengan menanam bolt dan hanger menggunakan bor. Kondisi medan sangat minim cacat batuan, menyulitkan pemasangan pengaman sisip, membuat hampir seluruh pemanjatan dilakukan dengan bor to bor.